Drrrt. Drrrt.
Ponsel itu sudah bergetar di saku celana seragam Ipda Petra selama setidaknya lima belas menit terakhir. Ipda Petra tetap memusatkan pandangannya ke podium depan, di mana sang Wakapolda sedang memberikan pidatonya yang sepertinya tidak akan pernah usai. Bertele-telenya bukan main. Padahal, Petra sudah gatal sekali mengecek dari siapa telepon itu berasal. Dia khawatir ada sesuatu yang gawat.
Biasanya, firasatnya tidak pernah salah soal hal seperti ini.
Namun sayang, upacara dalam rangka ulang tahun Bhayangkara yang tengah diselenggarakan di lapangan kantor Polda Jakarta Barat itu tidak mengizinkannya untuk sekedar melirik ponselnya, apalagi untuk keluar dari barisan.
Petra sedang mempertimbangkan apa dia harus pura-pura sakit perut supaya bisa angkat kaki dari situ ketika akhirnya panggilan di ponselnya itu berhenti.
Ya sudah lah. Nanti saja kutanggapi, pikirnya, sembari menahan kuap yang memaksa kelar dari mulutnya karena pidato pemimpinnya masih saja belum usai.
*
Gigi Kael menggeretak gusar. Padahal dia sudah diultimatum sejak awal. Jika sosok yang selama ini dia jadikan target mulai dicurigai berada dalam bahaya, dia harus segera menelepon Petra.
Ini malah tidak ada respon sama sekali meski sudah belasan kali Kael menghubunginya.
Dulu juga seperti ini, Kael menghela napas sebal. Saatnya Kael, lagi-lagi, bertindak sendiri. Toh kasus justru akan lebih cepat selesai jika dia yang turun tangan langsung tanpa harus menunggu instruksi.
Kael mulai menyalakan motor yang tadi dia parkir sekitar lima puluh meter dari gerbang apartemen Ophe. Selama ini memang lebih mudah mengatakan bahwa dia tidak punya kendaraan dan hanya sekali-kali pinjam, agar Ophe tidak mencurigai motor yang kerap dia pakai untuk membuntuti gadis itu ke mana-mana.
Bahkan, sebelum pertemuan pertama mereka malam itu, ketika Wisnu mengajaknya untuk ikut serta bertemu teman-teman Katja.
Sejak korban pembunuhan berantai kedua, Kael yang diberitahu segala detailnya oleh Petra sudah mulai mencurigai area sekitar sekolah tempat Ophe bekerja. Foto-foto yang dia ambil di sana di setiap waktu pengintaiannya, beserta data diri setiap karyawan yang bekerja di sana yang dia dapatkan dengan cara menyuap salah satu staf tata usaha, membuat firasatnya bangkit dan menyalak kencang.
Tidak mungkin ciri fisik setiap korban begitu mirip dengan Ophe jika itu hanya kebetulan.
Tadinya alasan Kael menyanggupi ajakan Wisnu di malam itu murni karena dia penasaran. Kael tahu Wisnu selama ini menjadi temannya hanya untuk menjadikannya bahan olokan bagi teman-temannya yang lain. Kael membiarkannya karena itu sungguh tidak mengusiknya. Lagipula, dia tahu bagaimana Wisnu yang sebenarnya, sebelum dia jadi Wisnu yang sekarang.
Kael rasanya sungguh-sungguh ingin tertawa kepada semesta ketika ternyata, teman Katja yang katanya mau dikenalkan kepadanya itu adalah orang yang Kael duga akan menjadi korban selanjutnya.
Tentu saja dia tidak boleh terlalu menampilkan keterkejutannya, apalagi ketertarikannya. Dia tidak ingin membuat cewek ini--Ophelia Andaresta Wiguna, lahir 28 Desember, dia ingat betul data gadis itu--curiga akan maksudnya yang sebenarnya. Kael pun memilih untuk bersikap secuek mungkin. Setengah agar Ophe tidak menaruh perhatian terlalu besar padanya, setengah lagi agar dia jangan sampai benar-benar tertarik pada gadis itu.
Sayangnya, dia gagal.
Di malam hari, Kael biasa mencuci foto-foto hasil pengintaiannya, yang biasa dia setorkan ke kantor polisi tempat Petra di dalam amplop untuk membantu penyelidikan mereka. Di beberapa foto itu, sosok Ophe sering tidak sengaja tertangkap.

KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...