Untunglah, Ophe bisa turun lebih dulu daripada para maniak bola yang jelas pada jarang mandi tadi. Dengan menghela napas lega, dia menginjakkan kaki di halte Cemara Indah, dan langsung celingak-celinguk.
Daerah ini sungguh asing bagi Ophe.
Menurut peta di ponselnya, dia hanya tinggal menyeberangi jalan untuk sampai di rumah Kael. Namun di sisi jalan raya di hadapannya, tidak terlihat sama sekali adanya pemukiman warga. Paling banter adanya ruko.
Ophe mendekati sebuah kios rokok di sebelah stasiun untuk menanyakan koordinat alamat Kael sekaligus membeli sebotol minuman ringan dengan uangnya yang tinggal sisa recehan. Penjaga kios itu, seorang bapak berusia lanjut dengan tiga gigi menguning yang tersisa di gusi depannya, mengiyakan bahwa tempat yang Ophe cari memang ada di seberang jalan raya.
"Memang rada nyempil sih Mbak, tapi kalau Mbak deketin pintunya pasti keliatan kok plangnya."
"Kok plang, Pak?"
"Lha iya. Mbak ke sana mau nyari anjing, kan?"
"Hah, anjing?"
Seberapa pun Ophe tergoda untuk menggunakan julukan kasar itu untuk Kael, dia memang belum sekurang ajar itu untuk bisa dicap begitu.
Barulah Ophe paham maksud bapak tadi setelah dia sampai tepat di hadapan salah satu ruko bercat kuning putih dengan arsitektur ala-ala Romawi KW itu. Dahinya mengerenyit saat membaca plang yang tertempel di dinding kacanya.
Shelter Sahabat Bulu
Jadi Kael tinggal di tempat penampungan anjing?
Darah Ophe hampir nyaris menggelegak lagi. Dia langsung otomatis menyangka bahwa dia lagi-lagi dikerjai oleh Wisnu dan Katja.
Tarik napas, Phe. Tarik napas dalam-dalam, biar pikiran lo jernih.
Ophe membiarkan sedikit oksigen yang tersisa dari udara panas pukul tiga sore membanjiri paru-parunya.
Tadi di telepon, Katja jelas-jelas terdengar menyesal setelah disemprot Ophe. Nggak mungkin kalau dia sampai berani-berani untuk langsung mengerjai Ophe lagi setelah prank-nya yang pertama tadi.
Setetes keringat mengalir ke dagu Ophe. Dia mulai menyesal mengapa tadi dia tidak membeli salah satu topi Persikarya yang dipajang di lapak di depan stasiun tadi. Setidaknya, dia bisa menyembunyikan rambutnya yang sekarang lepek bukan main gara-gara panas matahari.
Ngomong-ngomong, ngapain pula dia pake mengkhawatirkan rambutnya segala? Bukannya harusnya dia bodo amat? Kan cuma akan ketemu Kael.
Ophe mengabaikan perutnya yang entah mengapa serasa tiba-tiba dihuni serangga-serangga kecil yang merayap ke sana sini, dan memutar gagang pintu berbentuk telapak kaki anjing di depannya.
Serta merta, hidungnya diserang oleh bau menyengat yang otaknya langsung kenali sebagai aroma khas anjing. Tetangga apartemen yang kini Ophe dan Katja tempati memiliki seekor anjing setinggi lutut. Setiap pagi, hewan itu akan digiring oleh pemiliknya untuk jalan-jalan di luar gedung apartemen, meninggalkan sisa bau khas yang sering Ophe cium di sepanjang lorong depan kamarnya.
Otaknya kemudian mengingatkannya bahwa bau ini juga bau yang sama yang ada di tubuh Kael ketika mereka pertama berkenalan.
Sengatan bau itu disusul oleh berbagai jenis gonggongan yang seolah saling bersahut-sahutan. Mulai dari dengking melengking anjing kecil, hingga gemuruh membahana yang pastinya datang dari anjing-anjing berukuran besar. Namun terdengarnya sedikit samar, seperti datangnya agak jauh dari tempat Ophe berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...