"Korban kelima, terkonfirmasi."
Inspektur Dua Petra Sihaenenia menggaruk dagunya yang belum dicukur. Janggut-janggut pendek kasar mulai tumbuh subur di sana, padahal dia biasanya memastikan wajahnya licin tanpa sehelai rambut pun. Belum lagi, kantong matanya ikut menebal selama beberapa bulan terakhir. Semua berkat kasus pembunuhan berantai yang mengakibatkannya harus lembur hampir tiap hari.
"Bangsat," umpatnya.
Di sebelahnya, Ajun Inspektur Satu Yorga bangkit dari posisi jongkoknya semula.
"Makin ke sini, gue makin ngerasa kita lagi ada di plot cerita klise di serial-serial TV Barat, Bos," Yorga melanjutkan sembari mengawasi Petra, atasannya, menekuri tubuh korban yang tengah telentang di hadapan mereka. "Bos tinggal kurang pake kacamata hitam saja, terus lihat ke arah kamera. Jreng, nanti diikutin sama opening credits sama theme song-nya."
Yorga menyenandungkan lagu tema pembuka dari salah satu serial kriminal dari Amerika Serikat yang paling dia hapal.
"Bisa nggak lo serius sedikit?" balas Petra kesal. "Lama-lama gue cabut juga langganan Netflix lo, biar lo nggak kebanyakan nonton serial-serial begituan dan lebih fokus sama kerjaan lo."
"Yah Bos, suram amat. Canda, Bos," Yorga masih berusaha mencairkan suasana, seolah lupa bahwa masih ada kasus pembunuhan berantai yang belum terpecahkan yang tengah mereka hadapi. "Ngomong-ngomong, istri apa kabar? Masih dibolehin pulang setelah berhari-hari lembur gini?"
Petra memilih untuk mengabaikannya. Kalau saja dia tidak mengenal Yorga dari sejak mereka sama-sama di Akpol, mungkin dia akan langsung melaporkannya agar dipecat atas alasan 'kurangnya profesionalisme ketika di lapangan'.
"Di sekitar sini ada CCTV?"
"Di gang perkampungan gini? Sayangnya, tidak. Paling dekat adanya di minimarket sekitar dua ratus meter dari sini. Kalau CCTV di pintu masuk kantor korban sih sekarang sedang dianalisis sama tim siber. Teman-teman kantor korban sedang dimintai keterangannya, terutama office boy yang shift di malam korban terakhir terlihat masih hidup."
"Hmm," Petra bersuara untuk menandakan dia mendengarkan. Dia menyipitkan matanya ke sebuah tanda di leher korban.
"Pelakunya punya fetish sama leher, kayaknya. Tapi sekarang dia ceroboh. Kita sekarang jadi punya bayangan senjata yang dia pakai apa."
"Melihat dari bekasnya yang kayak gini, menurut Bos apa? Sejenis benang layangan?"
"Gue rasa sih sesuatu yang lebih tebal, kayak kawat. Tapi daripada asumsi, kita lebih baik tunggu laporan tim olah TKP," ujar Petra, sementara beberapa orang dari tim forensik berlari mendekat.
Yorga menghela napas. "Mantap, lembur lagi malam ini. Kudu kasih tau nyonya dulu," katanya sambil mengeluarkan ponselnya. Petra lanjut mengamati mayat di dekat kakinya. Dia berjanji kepada dirinya sendiri, nanti akan menelepon rumahnya untuk memberitahu bahwa dia lagi-lagi harus pulang terlambat.
Itu juga, kalau dia ingat.
***
Sekitar satu kilometer dari tempat kejadian perkara, beberapa jam sebelumnya, Ophe sedang menarik-narik gaun yang menempel ketat di dadanya untuk kesekian kalinya sambil menggerutu. Gaun itu milik Katja, yang memang lebih tinggi darinya dan jelas lebih ramping. Katja bersikeras bahwa gaun ungu gelap ini yang paling pas buat Ophe, meskipun itu membuat Ophe merasa seperti stabilo.
Tapi setidaknya make-up-nya on point. Tidak menor, tapi jelas bisa menutupi kekurangan wajahnya. Kalau ada Katja, Ophe tidak perlu susah-susah ke salon atau menyewa jasa MUA, mengingat Ophe tidak bisa dandan. Sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls Like You (TAMAT)
Romance[Rated 18+ for non-explicit mature themes and language] [TW: Psychological trauma] Ophelia atau Ophe merasa hidupnya happy-happy aja tanpa cowok. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka, di mana dia bisa menyalurkan hobinya membanting-banting orang...