1). That Newbie from Japan

157 36 43
                                    

Jika mendengar tentang murid pindahan di sekolah, bagaimana tanggapanmu?

Tentunya beragam, tetapi yang pasti alasan kepindahannya bukan gara-gara riwayat nama buruk sehingga di-drop out dari sekolah lamanya.

Tidak, itu adalah kemungkinan yang kurang dari nol.

Pasalnya, nama SMA Berdikari sudah mengalami peningkatan yang pesat terutama sejak menerima dua pewaris grup sultan sebagai murid, ditambah predikat yang sudah melekat sesuai nama sekolahnya—Berdikari. Lagi pula, jumlah muridnya sudah terlampau banyak sampai-sampai angkatan baru diatur ke gedung bagian barat demi mencegah populasi yang berat sebelah. Itulah sebabnya, tidak ada yang tahu meski ternyata ada juga yang cukup peka.

Name tag yang tersemat di dada seragam pada bagian kiri adalah Rinto Miguel. Dia menepuk bahu si murid pindahan, membuatnya spontan menegakkan tubuh dari posisinya membaca isi mading.

"Gue mau tebak. Lo pasti murid pindahan, 'kan?"

"Kok, tahu?" Yang ditanya malah bertanya balik. Sebenarnya tidak salah sih, karena sepanjang perjalanan hingga berakhir mondar-mandir di area papan pengumuman, tidak ada satu murid pun yang sadar kalau statusnya adalah murid pindahan.

"Woya jelas. Kalo lo belum tahu, gue ini ibarat mata-matanya SMA Berdikari." Rinto berujar somplak. "Oya, kenalin. Gue—hmm... masih calon, sih, sebenarnya, tapi nggak apa-apa. Pede dulu, ye kan? Gue Ketua OSIS selama setahun ke depan; Rinto Miguel."

Siswa baru itu membuka mulut untuk merespons, tetapi si calon Ketua OSIS berceloteh lagi, "Oke, gue bakal jelasin sejelas-jelasnya gimana gue bisa tahu lo murid pindahan. Pertama, gue memang segaul itu sampai-sampai bisa gercep menyensor yang mana murid baru sama pindahan. Lo jelas-jelas bukan angkatan kelas X. Kenapa? Lo tahulah kalau habis MOS itu biasanya udah pada dikasih tahu bakal masuk ke kelas mana, jadi mereka nggak mungkin kayak lo yang masih mondar-mandir santai di area mading begini. Mana udah bel dari tadi, 'kan.

Yang kedua," lanjut Rinto, sengaja mengabaikan mulut lebar Tomari yang membuka lagi untuk berbicara. "Gaya lo kentara banget bedanya sama yang baru bergabung jadi pelajar SMA. Kalo pelesetin ungkapan 'ahjussi rasa oppa', lo itu 'murid baru tapi rasa senior'. Eh, ngomong-ngomong... nama lo siapa, sih? Gue baru nyadar nggak ada name tag di seragam lo."

"Tomari Shinou."

"Hah? Apa tadi? Tamaki—apa? Shino... Tamaki Shinosuke? Nggak nyangka deh gue, nama lo unik banget kayak nama Korea."

"Nama gue Tomari Shinou." Kali ini, Tomari memperjelas namanya dengan pelafalan yang lebih lambat.

Risiko memiliki nama Jepang, ya, begini. Seharusnya dia menetap di sana, tetapi karena suatu insiden, dia tidak mempunyai pilihan selain pasrah dengan apa yang sudah diatur oleh mamanya.

Rinto mendengkus geli. "Ops, sori. Jauh bener, ya, sama Tamaki Shinosuke."

"Dan satu lagi. Lebih mirip nama Jepang, bukan Korea."

Dengkusan geli Rinto terdengar lagi. "Salah lagi, deh, gue. Maklum, gue bukan penggemar K-pop, tapi penggemar K-drama. Eh, gitu-gitu... kok, nama lo nama Jepang banget—oh, gue tahu. Nyokap lo pasti fans banget, kan, sama artis Jepang?"

Tomari hanya memberikan tatapan datar sementara Rinto cengengesan. "Jadi, lo bakal gabung di kelas mana? Apa kelas XII IIS-3? Bakal sekelas sama Jessie Mayline, dong! Arrgghhh! Iri, deh, sama lo! Siapa sih yang nggak mau sekelas sama dewinya Berdikari?"

Pekikan tersebut terasa konyol di telinga Tomari karena secara mengesankan kedengarannya seperti teriakan hawa yang berteriak histeris memanggil fansnya.

"Entahlah, tapi gue masih kelas XI." Tomari menjawab singkat dengan nada mengakhiri percakapan.

"Oh... kelas XI," ulang Rinto sebelum memekik lagi, "WHAT! Arrgghhh! Iri, deh, sama lo kalau bisa sekelas sama Judy Meline! Itu, loh, adiknya Jessie meski gue lebih demen sama kakaknya, sih!"

Kalimat Rinto belum selesai, tetapi Tomari sudah meninggalkan area mading untuk mencari ruang guru. Dia bahkan sengaja mempercepat langkah sebagai isyarat halus untuk memutuskan percakapan, tetapi sepertinya sang calon Ketua OSIS tidak sepeka itu untuk mengerti intensinya.

Padahal dia bisa menyadari Tomari adalah murid pindahan, bukannya murid angkatan kelas X.

"Nih, gue kasih tahu, ya, salah satu topik yang paling suka dibicarain seisi sekolah kalo nggak ada topik lain yang mau dibicarain. Lo mungkin belum tahu, tapi gue akan luangkan waktu buat kasih tahu."

Tomari menghentikan langkah saat keduanya tinggal beberapa meter sampai ke ruang guru. Suatu keputusan yang kurang tepat karena Rinto mengira cowok itu tertarik pada gosip yang hendak dia ceritakan. Ekspresinya lantas berubah menjadi lebih cerah, seolah-olah sedang menceritakan caranya memenangkan lotre.

"Perfect Siblings. Itu julukan gue buat mereka. Jessie Mayline dan Judy Meline, disebut perfect karena masing-masing mempunyai sisi kesempurnaan yang bisa bikin cewek-cewek insecure. Si Jessie itu cantik pake banget! Udah gitu seksi dan menawan pula! Pokoknya sekali lihat, lo pasti jatuh hati sama dia! Beda sama Judy—walau gue lihat sebenarnya dia cakep juga, sih. Cuman sayangnya, dia rada tomboy gitu. Sisi perfect dia tuh berasal dari otaknya. Katanya, sih, ya, saking jeniusnya dia bisa ikut program akselerasi biar bisa lompat kelas, tapi dia lebih milih ikut jalur biasa aja kayak kita-kita. Eh, iya, lo udah tahu, kan, dia kelas berapa? Bisa aja dia sekelas sama lo. Eh, Bro! Gue belum selesai ngomong!" Rinto berseru ketika langkah Tomari semakin dipercepat hingga sejengkal lagi sampai ke pintu ruang guru.

"Gue udah cukup denger," kata Tomari akhirnya setelah memberikan tatapan datar yang entah keberapa kalinya. "Thanks infonya, Bro! See you."

Pintu menutup begitu saja di hadapan Rinto, membuatnya mengeluh kecewa. Namun sebelum dia berhasil misuh-misuh, ada sebuah tangan yang menepuk bahunya dari belakang.

"Eh, Genta!" seru Rinto setelah melihat pelakunya. "Gue baru habis nganter murid pindahan ke ruang guru. Lo nggak masuk kelas? Jangan bilang lo sembunyi-sembunyi ke kantin trus alasan nyari gue biar nggak ketahuan? Perut lo tuh makin buncit, tahu nggak! Lama-lama nggak bakal muat, tuh, kemeja."

Yang diomeli hanya membalas dengan tarikan senyuman sebelum mengalihkan fokus ke pintu ruang guru. Durasinya hanya berlangsung selama sepersekian detik sebelum berpindah ke Rinto. "Nggak, kok. Gue baru selesai serahin data ke Tata Usaha trus ngelihat lo dari jauh, makanya gue samperin."

"Hehehe.... Lagi asik ngerumpi tentang duo perfect sih tadi. Ah... kapan, ya, gue bisa jadi gebetan mereka? Padahal lo beruntung bisa sekelas sama Jessie, mana duduk di belakangnya lagi! Kalau gue jadi lo, udah gue pepetin sampai dapet."

Genta memilih tidak berkomentar. Bukannya sok ganteng sampai jual mahal, tetapi fisiknya memang tidak mendukung dia untuk menciptakan plot asmaranya sendiri.

Jangankan gebetan, lemaknya saja sudah mengeluh untuk melepaskan diri dari kemeja yang dia pakai.

Ya, dia tahu diri kok.

Bersambung

Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang