Hari ini menjadi hari yang bersejarah bagi Tomari karena untuk pertama kalinya dia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, tetapi dia tidak menduga duo bersaudari bergabung bersamanya termasuk Genta.
Soal Genta—–okelah, mereka sudah berbaikan. Namun, berbeda situasinya dengan Jessie dan Judy yang baru dia kenal selama beberapa hari. Meskipun pertemuan ini jelas bukan disengaja, tetap saja Tomari tidak menyangka basa-basinya kemarin sore akan terealisasikan. Bahkan yang tadinya dia merasa akan canggung selama perjalanan, nyatanya mereka cukup lancar mengakrabkan diri satu sama lain seolah-olah usia pertemanan mereka telah terjalin sejak lama.
Tomari jadi mempunyai firasat tidak lama lagi keempatnya akan membentuk geng solid.
Hei, kayaknya nggak buruk, deh, idenya.
"Ternyata asik juga, ya, punya teman sekompleks kayak gini. Kalau kemarin kita nggak ketemu, mungkin gue nggak bakal tahu lo berdua tinggal di dekat rumah gue."
Jessie tampak manis dengan rambutnya yang dikepang dua, berbeda dengan Judy yang selalu mengikat rambutnya jadi satu ke atas. Maka tidak heran, banyak yang mengira Judy adalah sang kakak gegara penampilannya yang simpel.
"Itu karena lo jarang keluar rumah," timpal Genta sambil tersenyum. "Dan tiap pagi lo hampir terlambat ke sekolah, jadi nggak pernah tahu saking buru-burunya."
Judy yang baru selesai mengikat tali sepatunya, berdiri dan ikut nimbrung, "Bahkan Genta aja tahu siapa yang paling molor."
Jessie melotot meski tidak kentara karena dia tidak benar-benar marah. Kesannya jadi gemas hingga Tomari tidak tahan untuk tidak menyeletuk, "Kalau memang seseru itu punya teman sekompleks yang bisa diajak bareng ke sekolah, lo mesti bangun lebih awal, kurang lebih berangkatnya di jam-jam kayak gini biar kita bisa berangkat sama-sama."
Sejenak, atmosfer canggung mulai berasa gegara menafsirkan kata-kata Tomari sebagai intensi untuk menyatakan perasaan pada Jessie. Untungnya, Judy yang pertama menetralkan situasi. Dia menyeringai sebelum menarik tangan Genta yang sejak tadi berada di samping Tomari. "Kita nggak usah ganggu kalau gitu. Yuk."
Genta yang tangannya ditarik oleh Judy, diam-diam tersenyum yang sepaket dengan rona merah di wajah. Sedangkan Tomari, yang memandang punggung mereka menjauh, merasa berbangga karena misinya mendekatkan mereka telah berhasil.
*****
Judy menggantung tas di bangku, disusul Tomari. Waktu menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit, tetapi masih banyak bangku yang belum diisi siswa karena belum datang.
Judy mengeluarkan sebuah buku setebal kamus yang belum pernah dilihat Tomari. Penasaran, dia spontan bertanya, "Itu buku apa?"
Cowok itu berusaha melirik bagian sampul, tetapi Judy telanjur membukanya sehingga dia tidak bisa melihat.
"Gudangnya soal," jawab Judy, telah bersiap dengan pulpen untuk mengerjakan soal-soal tersebut. "Gue pinjem dari perpus. Lumayan buat ngisi waktu."
Tomari tidak akan heran jika Judy menghabiskan waktu sepuluh menit yang tersisa untuk membaca novel. Oleh karena itu, dia merasa takjub sekaligus tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Mungkin dari semua murid di sekolah, hanya lo satu-satunya yang bisa menghabiskan waktu berharga buat mengerjakan soal."
Tomari bermaksud menyindir, tetapi Judy malah menanggapinya dengan santai seolah-olah mendapat pujian. Lantas, fokusnya berpusat pada soal-soal di hadapannya tanpa kernyitan di dahi seakan sedang mengerjakan soal berhitung level anak SD. "Iya, karena gue satu-satunya yang paling jenius. For your information, gue lompat kelas. Seharusnya gue beda 3 tahun dari lo."
"Eeeeee! Maji ka yoooo (yang benar saja)!" Saking kagetnya, Tomari merespons dengan bahasa Jepang. Dia tidak percaya bisa bertemu dengan anak jenius yang dia tahunya hanya eksis di balik layar televisi saja. "I-itu yang ngegosip pada bilang lo nggak jadi ikut program—–apa tuh, namanya? Gue lupa."
"Akselerasi."
"Nah, iya." Tomari menjentikkan jemarinya. "Akse—–itu."
"Nggak banyak yang tahu soal itu. Lagian, gue nggak suka menyombong. Nggak ada yang sempurna di dunia ini termasuk kepintaran karena sifatnya yang berkesinambungan. Artinya; harus terus diasah sesuai perkembangan zaman."
"Ck, ngomong sama orang jenius memang beda, ya. Beda kalau ngomong sama cewek cakep soalnya lawannya pake gombalan dan rayuan, sih."
"Ck, nggak mempan sama gue."
Tampaknya Judy sama sekali tidak terganggu, terbukti dari caranya mengerjakan soal-soal tanpa hambatan. Namun, atensinya spontan beralih dan matanya mendelik saat mendengar celetukan Tomari.
"Unbelievable. Berarti... kita beda empat tahun, dong? Gue pernah satu kali tinggal kelas, soalnya. Woaaa... shinjirannai (tidak bisa dipercaya)! Ta-tapi... lo nggak nampak lebih muda."
"Lo pasti iri."
Tomari menyeringai. "Iri? Gue iri? Hmm... bisa dibilang gitu, tapi masalahnya gue lebih kaget dengan fakta lo lebih muda daripada fakta lo adalah siswi paling jenius di sekolah sampai bisa lompat kelas."
Judy mengembuskan napas kesal, tetapi Tomari menatapnya polos seakan tidak bersalah sama sekali. "Jadi... lo lompat 3 kelas, ya? Trus kenapa nggak sekalian aja langsung masuk perguruan tinggi? Kan beruntung banget lo nggak usah ikut banyak ujian. Tambahannya, bakal saingan sama bocah-bocah—–hmm, siapa, tuh, namanya? Gue lupa. Pokoknya usia bocah, tapi tahu-tahunya udah wisuda."
Judy tidak jadi melanjutkan aktivitas mengerjakan soal karena dia baru sadar, Tomari bukannya mengejek melainkan karena dirundung oleh rasa penasaran yang besar. Setelah menutup buku jumbonya, dia memutar tubuh menghadap Tomari, lalu menyorot intens. "Gue memang memenuhi kualifikasi untuk masuk perguruan tinggi tanpa hambatan, tapi gue memilih tetap karena ada alasan tertentu."
"Jangan bilang lo melompati tiga kelas karena Jessie?"
Mata Judy membelalak takjub. "Kok, lo bisa tahu?"
"Tebak doang. Eh, rupanya gue nggak bego-bego amat, ya."
Judy menaikkan sudut bibirnya. "Soal bego, mungkin lo lemahnya dalam bidang akademis, tapi kalau soal yang beginian, menurut gue, lo nggak bego-bego amatlah. Minimal telat mikir aja, palingan."
"Lo cewek paling terus terang yang pernah gue hadapin," sindir Tomari dengan nada tersinggung. "Apa gunanya pinter, tapi nggak bisa bergaul?"
"Siapa yang nggak bisa bergaul? Banyak, kok, yang mau temenan sama gue—–walau kebanyakan deketin gue setelah tahu gue sepinter itu. Apa pun itu, yang jelas, gue selalu diteladani oleh semua orang yang mengenal gue."
"Berarti bener, dong, sindiran gue. Soal lo nggak pandai bergaul."
"Kalimat lo salah. Walau mereka dekatin gue karena gue pinter, tapi kenyataannya gue bukannya nggak bisa bergaul, 'kan? Terlepas dari suka berteman karena gue pinter apa nggak, tetap aja banyak yang bergaul sama gue."
Tepat pada saat itu, beberapa teman kelas menghampiri meja Judy dan memberikan sebuah kantong.
Dari name tag yang tersemat di seragamnya, dia adalah Hans Junaidi. "Judy, diterima, ya. Mama gue buat ini khusus buat lo. Mama berterima kasih atas bantuan lo selama ini."
Judy tersenyum. "Nggak masalah, kok. Gue juga senang bisa bantu. Thanks, ya." Hans membalas senyumannya dan kentara sekali kalau dia bahagia dengan respons yang ditunjukkan oleh Judy.
Lantas, cewek itu menoleh ke arah Tomari dengan menaikkan sebelah alis dan tersenyum miring, jelas mengisyaratkan bahwa apa yang dikatakannya tadi telah terbukti.
Tomari tampak tidak senang dengan hal itu.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Novela Juvenil[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...