Sama seperti kemarin, Tomari memilih menghabiskan waktu istirahatnya di dalam kelas. Dengan posisi menelungkup, dia membaringkan kepala di atas tas, menjadikannya sebagai bantal.
Meski kedua matanya terpejam, nyatanya dia tidak benar-benar tertidur. Banyak hal berseliweran di dalam otaknya, mirip benang kusut yang menggumpal dan sulit diurai, tetapi yang mendominasi adalah ekspresi Genta saat senyam-senyum sendiri.
Walau Tomari belum berbaikan dengan Genta, mau tidak mau dia merasa heran mengapa cowok itu bisa-bisanya memendam rasa pada Judy. Gimana, ya. Paras dan bentuk tubuhnya tidak menarik, sangat jauh bila disandingkan dengan Jessie. Malah sebenarnya, Tomari masih sulit mempercayai kalau keduanya mempunyai hubungan darah.
Rasa-rasanya tidak ada kelebihan yang cewek itu miliki selain kapasitas otak yang melebihi normal. Ya, Tomari akui, Judy memang sejenius itu.
Tomari membuka mata saat mendengar bel masuk berdering, kemudian mendelik secara impulsif ketika sadar bahwa si pemilik bangku sebelah telah kembali. Wajar saja jika dia kaget berhubung Judy yang sedari tadi ada dalam pikirannya, tiba-tiba saja sudah muncul di hadapannya seolah-olah sedang melakukan transmigrasi.
Judy yang melihatnya spontan terbahak. Baginya, itu adalah reaksi umum bagi siapa saja yang sudah mengenalnya sebagai pembuli teladan di sekolah, tetapi harus dia akui kalau reaksi Tomari jauh lebih mengesankan.
"Kenapa, lo?" tanya Judy dengan nada geli. "Kayak lihat hantu, aja."
"Iya, lo hantunya, sih." Tomari misuh-misuh dengan intonasi nada rendah usai berhasil menenangkan jantungnya.
"Apa? Lo bilang apa?"
"Tuli rupanya," goda Tomari yang mulai menikmati momen ini. Ternyata beginilah ekspresi Judy kalau marah-marah. Lucu juga.
"Heh, lo mulai berani, ya, sama gue?" ancam Judy, mulai memanas. Para siswa tidak mau repot-repot berkomentar atau pun melerai karena semua pada segan dengan Judy meski di sisi lain, juga terselip rasa hormat berkat kemurahan hatinya menjelaskan setiap ditanya tentang materi pelajaran.
Tomari memperpendek jarak dengan mendekatkan wajahnya ke arah Judy, mengabaikan ekspresinya yang menunjukkan tanda-tanda mau meledak. "Gue baru tahu rupanya ekspresi lo lucu juga kalo lagi ngamuk. Nggak usah sensi gitu, kali. Kalau ketahuan guru, gimana? Malu, dong, siswi paling jenius di sekolah rupanya emosian?"
Secara tidak terduga, Judy memilih untuk tidak berkomentar, tetapi matanya menyorot galak. Mungkin dia sedang menimbang-nimbang kapan waktu yang tepat untuk menonjok Tomari tepat di hidung.
"Sini, deh, gue bantuin lo hilangkan amarah. Tadi Pak Piter jelasin tentang materi ini, bisa lo ulang lagi, nggak? Berhubung gue disuruh untuk duduk sama lo, berarti gue harus nanya dan diajarin sampai bisa."
Benar dugaan Judy, Tomari tidak sesinting itu untuk menguji kesabarannya. Gila saja, di awal-awal kepindahannya yang baru dua hari, cowok itu berani menantang dirinya.
Yahhh... setidaknya tidak ada korban lain yang berakhir di lantai hari ini. Sedangkan bagi Tomari, setidaknya ada yang berhasil mengalihkan dia dari pikiran mumet yang selalu mengekorinya sejak saat itu.
*****
Tomari melempar tasnya asal sebelum melemparkan bokong ke sofa. Seperti biasa, keadaan rumah selalu bersih dan rapi sebelum mamanya keluar untuk bekerja.
Atau... apakah lebih tepat dikategorikan sebagai situasi yang saking jarangnya ditinggali, hingga terasa seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan?
Menurut Tomari, lebih cocok definisi yang kedua karena sejak kepergian Arata Shinou—–papa Tomari, yang meninggal di tanah kelahirannya di Jepang tiga tahun yang lalu, dia diajak mamanya kembali ke Indonesia dan merintis usaha dari nol. Itulah yang menjadi alasan mengapa Tomari terpaksa pindah sekolah meski di awal sangat sulit baginya untuk beradaptasi di lingkungan yang sama sekali baru. Untungnya, bahasa Indonesia termasuk salah satu bahasa ibu yang diajarkan Maya sehingga dia tidak memiliki kendala saat berkomunikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Teen Fiction[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...