Acara pensi yang ditunggu-tunggu akhirnya tinggal 3 hari lagi menuju hari H. Sebagian besar murid tampak bersemangat. Selain mengenakan pakaian bebas, mereka juga dibebaskan dari kegiatan belajar-mengajar. Setidaknya, mereka bisa melepas stres dengan menonton berbagai pertunjukan yang dipastikan seru.
Ketika kabar tentang Rinto si Ketua OSIS, Genta, dan Tomari akan berkolaborasi dengan Billy dan Jason dalam acara pensi segmen modern dance menyebar, semua takjub dan semakin tidak sabar untuk menonton. Maka tidak heran, topik tersebut menjadi viral dalam kurun waktu sehari.
Bagaimana tidak? Berita ini berasa mustahil untuk menjadi nyata mengingat Genta sebagai korban yang bertahan diam-diam selama dua tahun bisa bergabung dengan Billy-Jason yang notabenenya adalah tersangka utama pembulian. Banyak yang berbisik-bisik seru, bahkan tidak sedikit yang bertanya secara langsung kepada personil yang berpartisipasi, seolah-olah berharap ada yang menyeletuk kalau ini semua hanyalah hoax semata. Namun, ternyata yang terjadi malah semakin memperparah kabar tersebut dan berujung pada penantian yang sangat ditunggu-tunggu, melebihi acara excited lainnya yang pernah eksis di SMA Berdikari.
Judy sudah memutuskan untuk tidak mengorek sejarah lama antara orang tua kandungnya dengan orang tua Jessie, bahkan sudah bersikap seperti biasa seolah-olah insiden waktu sore hari itu tidak pernah terjadi. Dalam hal ini, di satu sisi, Jessie merasa bersyukur karena Judy tidak membuat cemas semua orang dengan melakukan hal-hal yang buruk—–misalnya. Gitu-gitu waktu Judy meninggalkan rumah usai mendengar penjelasannya, sempat tersirat dalam pikiran kalau adiknya mungkin akan menyakiti diri sendiri atau yang terburuk, mentalnya terganggu.
Sudah banyak kasus yang bisa menjadi pembuktian pasca mendengar kabar yang terlalu mengejutkan bagi si penerima informasi, apalagi usia Judy masih remaja dan bisa saja dia sulit menerima kenyataan itu.
Meskipun demikian, Jessie juga dirundung rasa cemas oleh reaksi adiknya. Walau Judy bersikap ceria seperti biasa, tetap saja, tidak menutup kemungkinan, luka yang sudah tergores di hatinya tidak akan sembuh secepat itu.
Oleh karena itu, Jessie berencana untuk mencari Tomari dan meminta pertolongannya pada saat jam istirahat pertama, tetapi sayangnya dia sedang berbicara serius dengan Genta di koridor dekat ruang OSIS. Berhubung acara pensi sudah dekat, Genta selaku anggota OSIS jadi lebih sering menghabiskan waktu di luar kelas daripada biasanya.
"Ta, gue mau ngomong sama lo." Jessie mendengar ucapan Tomari dari balik pilar, sedikit membungkuk agar bisa menguping lebih jelas. "Sejak kejadian itu, gue tahu lo hindari gue."
"Bagus kalau lo tahu." Genta menjawab. Meski pelan, tetapi Jessie tahu kalau dia sedang menyindir.
"Gue tahu gue salah, tapi ada sesuatu yang mau gue akuin ke lo."
"Soal lo suka sama Judy?" tebak Genta to the point. "Kalau itu yang mau lo akuin, gue udah tahu."
Jessie memutar tubuh untuk mengintip. Dari sini, dia bisa melihat ekspresi keduanya dengan jelas. Tomari berusaha menjelaskan, terlihat dari bibirnya yang bergerak untuk menuturkan kata demi kata, tetapi dia urungkan pada akhirnya. Sedangkan Genta, sikapnya kalem, tetapi Jessie lebih dari mengerti kalau Genta sedang dirundung emosi.
Sejujurnya menurut Jessie, akan sangat wajar jika Genta meledak-ledak atau yang terburuk, memukul Tomari hingga babak belur. Bukankah pertengkaran sesama cowok untuk memperebutkan cewek sudah menjadi hal biasa, bukan?
Namun, Genta berbeda. Mungkin hanya dia satu-satunya cowok tersabar yang pernah Jessie temui. Apakah ini semua berkat 'latihan'-nya berhadapan dengan perundung, menjadikannya terbiasa bersabar?
Mungkin, pikir Jessie selagi memperhatikan Genta yang memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Dari sini visualnya begitu optimal, tetapi entah kenapa, sesekali dia masih mengimajinasikan Genta yang dulu, ketika dia masih gemuk dan berkaca mata, yang melangkah dengan kakinya yang berukuran lebih besar dari kaki remaja umumnya.
Dih, apa-apaan, sih? Kenapa gue jadi bucin banget sama Genta? Ck, kenapa, ya, gue nggak bisa rem mulut gue waktu itu? Mana nembaknya di sekolah, lagi!
"Waktu itu gue hanya kelewat emosi aja karena gue benar-benar berpikir lo memang sengaja mempermainkan Judy untuk mewujudkan sumpah itu. Jadi... yang mau gue bilang... gue percaya sama lo. Dari awal gue udah punya firasat lo tulus ke Judy dan wajar jika lo bisa suka sama dia." Genta akhirnya berkata duluan, memecahkan kesunyian dan berhasil membuyarkan lamunan Jessie.
"Trus kenapa lo hindarin gue?"
"Soalnya—–gimanapun—–lo pernah ucapin sumpah bego itu, jadi anggap aja sebuah pembelajaran. Lagian, lo pernah sengaja diemin gue, jadi nggak ada salahnya gue diemin lo juga," jawab Genta kalem. Amarahnya kini berganti dengan kepolosan tanpa rasa bersalah sama sekali. "Jadi, gimana dengan Judy? Apa dia sempat nampar lo? Kalau ada, bagus sekali."
"Sialan lo," omel Tomari kesal meski dia tidak bersungguh-sungguh melakukannya karena pada detik berikutnya, cowok itu menghela napas panjang sebelum berkata, "Tapi jujur gue lega setelah ngomong sama lo. Thanks, ya, udah ngertiin gue. Kalau gitu gue cabut dulu."
Jessie lupa kalau dia sedang bersembunyi dan menguping, sehingga batinnya mencelus saat ekor mata Tomari mengarah pada dirinya usai menepuk bahu Genta.
"Jessie? Lo nguping, ya?" Pertanyaan Tomari membuat Jessie berjengit kaget lagi, berhasil memunculkan semburat merah di wajah karena menahan malu. Dia terpaksa menunjukkan diri dan berharap mempunyai kekuatan magis supaya bisa berteleportasi atau kalau perlu, melebur bersama angin saat ini juga.
Genta juga kaku menatap Jessie. Mereka tidak tahu saja bahwa alasan utama dia menghindari Tomari adalah karena ada kemungkinan dia akan bertemu dengan Jessie. Dan jujur saja, Genta belum siap dengan hal ini.
Sejak Jessie mengutarakan perasaannya, cowok itu merasa serba salah dan tidak tahu harus merespons apa. Sejujurnya, Genta tidak bisa memungkiri kalau dia merasa senang meski belum menemukan jawaban dari alasan yang membuatnya menanggapi rasa suka Jessie sepositif itu.
Lalu, apakah itu artinya dia juga suka pada Jessie? Entahlah, rasanya tidak mungkin, apalagi konteksnya, dia pernah mengatakan suka pada Judy dan kesal saat melihatnya berpelukan dengan Tomari. Itulah sebabnya, mengapa dia belum kunjung menjawab dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi adalah jalan ninja yang mampu dia lakukan.
"Hmm... hai," sapa Jessie dengan kaku, lantas memusatkan perhatian pada Tomari. "Gue boleh ngomong sama lo nggak, Tom?"
Genta salah paham karena sempat percaya diri kalau Jessie mencarinya, bukan Tomari. Mendadak dia jadi kesal meski lagi-lagi clueless mengapa harus bereaksi seperti itu. Dia sendiri yang menghindari Jessie, lantas mengapa dia juga kesal saat mendapatinya menemui cowok lain?
"Kalau gitu gue duluan," kata Genta dan heran sendiri dengan nada bicaranya yang berubah menjadi dingin. Dia yakin Tomari sadar akan perubahan itu, tetapi Genta tidak peduli. Bahkan, dia meninggalkan lokasi itu tanpa melirik pada Jessie. Lebih tepatnya, menghindari tatapannya.
"Hmm... kenapa, Jes?" tanya Tomari, memilih untuk mengabaikan situasi sedingin es antara Jessie dan Genta yang menurutnya cukup aneh.
"Hmm... gue mau ngomong soal Judy. Gue mau minta tolong sama lo."
Jessie lantas menceritakan semua isi hati dan kecemasannya pada Tomari.
"Lo tenang aja. Gue bisa hibur dia, kok." Tomari merespons dengan senyuman, membuat Jessie merasa sangat lega.
"Thanks, ya, Tom. Ohya... dari yang gue denger, lo sama Genta juga udah kelar, kan, masalahnya?"
Tomari menggangguk. "Iya. Seperti yang lo denger tadi. Lebih tepatnya... nguping, ya? Eh, tapi... lo sama Genta nggak ada masalah, 'kan? Soalnya gue rasa ada yang aneh sama situasi tadi. Lo ngerasa nggak?"
Jessie menggeleng, berusaha menetralkan ekspresi wajah meski di dalam hatinya, dia ingin sekali berteriak untuk meluapkan kekesalan. "Gue balik ke kelas dulu, ya, Tom. Makasih sekali lagi."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Fiksi Remaja[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...