Tomari sedang sibuk mengusap layar ponsel, yang lumrah ia lakukan pada jam-jam sore menjelang makan malam. Tadinya, dia sempat kepikiran main ke rumah Genta untuk membunuh kegabutan—–berhubung masa ujian yang super sibuk telah berlalu dan digantikan oleh persiapan pensi yang dianggap masa 'rehat' oleh para siswa, tetapi kemudian diurungkan saat ide jail nangkring dalam pikirannya.
Ibu jarinya menemukan icon Whatsapp yang identik dengan gambar telepon berwarna hijau. Ujung bibirnya tertarik, membentuk seringai usai menemukan kontak Judy, tetapi alisnya mengerut sejurus kemudian.
Namun, dia belum kunjung mengetikkan pesan untuk Judy padahal ruang obrolan beserta keypad sudah terpampang di hadapannya, menunggunya mengetik pesan.
Hmm... mau bilang apa, memangnya? Bisa berabe kalau dia sangka gue caper.
Ah, coba lihat status WA-nya dulu.
Tomari memilih opsi kolom status, lantas ibu jarinya mencari nama Judy. Jumlah kontak di aplikasinya memang tidak banyak, sehingga dia lebih suka mencari dengan cara scroll ketimbang mengetik nama Judy pada kolom pencarian.
Nggak ada rupanya, nggak ada topik yang bisa gue julid-in.
Eh, tunggu. Gue tahu harus ngetik apa.
Sepasang jempol Tomari bergerak cepat di atas keypad usai kembali ke ruang obrolan, tetapi sebanyak apa pun yang dia ketik, sebanyak itu pula dia menghapus apa yang telah diketikkan.
Ck, apa nanti dia bakal sangka gue modusin dia?
Ya, kagaklah! Maji ka yoooo (tidak mungkin)! Gila, kali! Jangankan gue, sikap Genta yang terang-terangan modusnya, aja, nggak dianggap modus sama dia—–eh, nggak juga, sih.
Ah, dou demo ii (masa bodo). Sejak kapan gue mikir gituan? Dia, kan, bukan cewek. Lagian, udah biasa gue jailin dia.
Hei, lagi online, ternyata.
Ibu jari Tomari mengetik satu kata;
Tomari: "Ehem!"
(Centang biru)
Tomari: "Ehem!"
(Centang biru)
Tomari: "JUDY MELINE!"
Judy: "Ya?"
Tomari: "Apa gue harus teriak baru lo jawab?"
Judy: "Lebih tepatnya, nama gue bukan 'Ehem' jadi gue rasa nggak perlu dijawab. Nama gue Judy, bukan Ehem."
Tomari: "Kalau Judy mancung, boleh nggak?"
Judy: "Gue nggak ganti nama. Dan juga kalau lo nggak ada kerjaan, tolong jangan ganggu. Udah dibilangin juga, gue paling benci yang namanya basa-basi! Ck!"
Tomari: "Lo nggak penasaran, ya, kenapa nama lo lebih cocok Judy Mancung ketimbang Judy Meline?"
Judy: "Karena hidung gue mancung? Terima kasih pujiannya."
Tomari: "Kelewat pede, deh! Mancung itu karena gigi lo mancung!"
Judy: "Lo nggak punya mata, ya? Jelas-jelas gigi gue rapi!"
Tomari: "Denger, ya, Judy Chan! Teknik merapikan gigi itu udah terkenal dari dulu. Jangankan kawatin gigi, mau operasi plastik juga bisa. Tapi wajah lo jangan dioperasi, deh, soalnya kalau punya wajah jelek, mau perawatan mahal kayak gimana, tetap aja nggak bisa diperbaiki. Lo sabar aja, ya, sama cobaan ini."
Judy: "Males ngomong sama lo."
Tomari: "Kalau lewat chat bukan ngomong namanya, Judy Chan, tapi ini pake ketik."
Judy: "Semerdeka lo aja, deh, Tom. Gue lebih milih sibuk ngerjain soal online daripada ladenin lo. Udah dulu, ya."
Tomari : "Jangan ngambek, dong. Atau gini aja, gimana kalau lo nunjukin foto lama? Gue baru percaya setelah liat foto masa kecil. Gue janji habis ini nggak manggil lo Judy mancung lagi, tapi jadinya manggil Judy Chan. Oke?"(Makna panggilan akhir -Chan, adalah salah satu panggilan yang digunakan oleh orang Jepang untuk memanggil teman dekat mereka).
Tomari mendecak tidak sabar saat mendapati Judy tidak kunjung membalas hingga setengah jam berikutnya. Merasa tidak puas, dia menyimpan ponsel ke saku celana dan sedang berpikir untuk berpura-pura mengunjungi toko serba ada supaya bisa melewati rumah Judy. Siapa tahu, keduanya tidak sengaja berpapasan dan betapa menggelikannya jika dia bisa menjaili cewek itu. Tomari merasa terhibur membayangkan ekspresi Judy kalau lagi marah dan jujur saja, dia merasa ketagihan karenanya.
Tomari membuka pagar rumah dan menyusuri jalanan di gang dengan santai. Ketika kakinya hampir mendekati rumah Judy, siapa sangka tepat sesuai yang diharapkan, dia melihat cewek itu keluar dari pagar dan berjalan cepat.
Kepalanya ditundukkan selagi berjalan, memberi Tomari ide untuk mengerjainya. Dia mengejar Judy, lalu menarik rambutnya yang diikat ekor kuda dari belakang hingga kepalanya ikut tertarik dan otomatis menghadap ke atas.
Terdengar ringisan, tetapi siapa sangka sepaket dengan isakan yang semakin lama semakin keras. Tomari kontan dibuat syok atas situasi ini.
Tomari mendekati Judy yang kini menunduk dengan bahu yang bergetar dan membenamkan wajahnya ke dalam tangan. "L-lo kenapa? Apa gue nyakitin lo?"
Judy mengangkat wajah tiba-tiba, lantas menghapus air matanya dengan kasar sebelum mendelik ke Tomari. "Iya! Rambut gue sakit sampai keluar air mata! Kenapa, sih, lo selalu gangguin gue? Pergi sana!"
"Masa, sih, hanya narik gitu aja udah nangis bombay kayak gitu," gerutu Tomari pelan, tetapi tentu bisa didengar oleh Judy. Situasi di sekitar gang memang cenderung sepi, padahal banyak rumah yang dibangun di kompleks itu. "Ohhh... gue tahu. Lo nangis setelah lihat foto masa kecil lo, ya? Jadi, udah ketemu fotonya, 'kan? Sini, gue mau lihat! Pasti bener dugaan gue, 'kan? Gigi lo semancung itu, trus lo syok sampai nangis."
Judy berusaha menahan jatuhnya air mata dengan menengadahkan kepala ke atas, diiringi helaan napas yang berat. Kentara sekali dia sedang kesal, tetapi Tomari juga bisa melihat sorot tatapannya yang sarat akan luka. "Gue memang lihat foto masa kecil gue, tapi gue juga liat sesuatu yang nggak pernah gue harapkan sebelumnya. G-gue...."
Judy mau menangis, tetapi dia gengsi menunjukkan kelemahannya di depan Tomari dan menyayangkan mengapa dia harus bertemu dengannya di saat seperti ini. Namun, sebelum dia memutuskan apakah sebaiknya dia kabur atau masa bodoh atas penampilan kacaunya, Tomari sudah menarik Judy ke dalam pelukannya.
Aksi tanpa aba-aba sebelumnya tentu membuat Judy syok. Matanya membola maksimal. Dia ingin sekali mendorong dan menghardiknya seperti yang biasa dia lakukan, tetapi entah kenapa, raganya seolah diatur untuk membantah segala perintah dari dalam otaknya. Terlepas dari rasa gengsi yang selama ini dia junjung tinggi setiap berada di sekitar Tomari, untuk pertamanya dia membutuhkan pelukan dan dia sadar bantuan yang cowok itu berikan benar-benar berguna pada saat ini.
Pelukan tersebut terasa nyaman dan mengayomi, itulah sebabnya Judy akhirnya mengeluarkan semuanya tanpa sisa. Mengeluarkan semua kesedihannya yang membuatnya terluka sedalam ini. Sebuah kebenaran yang diketahuinya membuat dia tiba-tiba teringat kalau Tomari juga pernah merasakan hal yang sama dari masa lalu kedua orang tuanya dan untuk pertama kalinya dia merasa senasib dan menemukan teman curhat yang tepat.
Cewek itu sadar ketika tangannya terulur untuk membalas pelukan Tomari hingga kebersamaan di antara mereka semakin terjalin erat. Namun, mereka tidak menyadari akan eksistensi seseorang yang lain, yang memperhatikan keduanya tepat di depan rumah hijau bernomor 12.
Dia adalah Genta. Cowok itu terperangah atas pemandangan di hadapannya, melihat Judy—–cewek yang dia sukai—–berpelukan dengan Tomari, teman terdekat yang dia punya selama masa hidupnya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Novela Juvenil[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...