Genta tidak bisa menjamin bahwa dia akan berhasil melawan para perundung, tetapi setidaknya, kini dia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, semacam pemahaman yang bersumber dari nasihat Judy.
"Sampai kapan, sih, lo mau terus-terusan dijadikan mangsanya mereka?"
"Ini udah tahun ketiga lo di sekolah, loh. Apa lo nggak kapok dirundung terus sama mereka?"
"Lo nggak capek ya, Ta, ditertawain sama dibegoin?"
"Gue rasa kalau Genta mau nurunin berat badannya, gue yakin bisa menumbuhkan rasa percaya dirinya."
'Keberanian akan tumbuh seiring bertambahnya rasa percaya diri'. Genta kini mengerti bahwa dia-lah yang harus menghadapi traumanya menghadapi para perundung dan dia jugalah yang harus memaksimalkan kepercayaan dirinya.
Maka, Genta yang pertama melangkah, diikuti Rinto yang memerlukan sedikit waktu untuk mencerna aksinya. Jujur saja, dia clueless dengan keberanian Genta yang entah dari mana asalnya, padahal sejauh yang dia tahu, teman karibnya ini selalu menghindar setiap melihat mereka.
Ketiga preman sekolah tampak tercengang dengan perubahan Genta, bahkan Vino terang-terangan menunjukkan ekspresi kagum atas perubahan fisiknya. Ketika jarak di antara mereka menipis hingga tidak lebih dari satu meter, tubuh jangkung Genta seolah-olah mempertegas keberadaannya.
Seperti yang bisa diduga, beberapa murid yang melewati lokasi tersebut spontan menghentikan aktivitas sementara sisanya memanggil teman-temannya untuk mengerumuni mereka persis seperti insiden terakhir kali saat Genta dipaksa menyerahkan buku PR-nya.
"Genta Harvey," panggil Billy dengan senyum seringainya seperti biasa. "Lo berubah banyak."
"Kita kalah, nih." Jason menimpali sambil menepuk bahu Genta dengan tenaga yang dilebih-lebihkan. Sengaja.
Vino ikut menepuk bahu Genta di sisi yang lain. "Gue salut sama lo."
"Gue anggap itu sebagai pujian," respons Genta dengan nada dingin. "Terima kasih."
Vino terbahak, disambut tawa dari kedua temannya seakan Genta sedang melontarkan candaan yang sangat lucu. Meskipun demikian, baik Genta maupun Rinto tidak bereaksi akan hal itu.
Rinto melepas kedua tangan yang sejak tadi masih nangkring di bahu Genta, lantas berkata pada Genta, "Kita cabut, yuk. Rapat udah mau mulai."
"Eits, nggak usah buru-buru, dong. Gue masih belum selesai sama Genta," protes Jason.
"Yoi. Hitung-hitung peresmian," timpal Billy dengan ekspresi kecewa.
"Sori, gue buru-buru," kata Genta dengan nada menutup pembicaraan. Ekspresinya mungkin datar, tetapi tidak munafik, jantungnya serasa meluncur ke usus. Tidak bisa dipungkiri, dia mulai merasakan keringat dinginnya mulai bercucuran lagi.
Genta melangkah, bermaksud meninggalkan mereka, tetapi Billy memblokir akses jalannya.
"Kalau gitu, gue mau ngomong sesuatu sama lo. Ini pesan dari kami bertiga," kata Billy dengan suara pelan, tetapi justru membuat suasana menjadi lebih mencekam dari sebelumnya. Ekspresinya lebih serius dan mendadak Genta merasakan firasat buruk.
Rinto hendak melerai, tetapi sia-sia saja karena Jason dan Vino menghadangnya.
Lagi-lagi apa yang dikatakan Judy benar adanya; tidak ada satu pun di antara keramaian yang berinisiatif untuk menolong. Oleh karena itu, dia-lah yang harus berusaha dan membuang rasa takutnya.
Billy meremas kedua bahu Genta seraya menatapnya intens, sementara yang ditatap hanya bisa diam. Warna di wajahnya seolah-olah disedot oleh kekuatan tak tampak sementara sepasang tangannya refleks mengepal untuk menutupi tremor. Kemudian seakan belum cukup, dia merasakan seakan jatuh dari ketinggian gedung pencakar langit ketika Billy menipiskan jarak hingga tersisa tidak lebih dari sejengkal tangan.
Sepertinya Billy sangat menikmati situasi tersebut karena dia belum mengatakan apa pun selama beberapa menit, kecuali menatap Genta dengan sorot tajam.
Ketika akhirnya Billy bersuara, Genta nyaris saja pingsan.
"Kami semua boleh panggil lo 'Bro', nggak?"
Lutut Genta serasa tak bertulang dan dia hampir saja oleng. "A-apa?"
Jason-Vino melepas Rinto dan keduanya bergegas mendekati Genta. Masing-masing meraih dan menyalami tangan Genta dengan kilat mata yang herannya tampak berbinar.
"Plis...." Jason memohon dengan nada memelas.
"Kami janji nggak akan buli lagi, asal lo mau berteman sama kita-kita. Plis... jangan aduin kami ke guru-guru, ya." Gantian Vino memohon sambil mengedipkan matanya berkali-kali, sukses mengundang seruan jijik dari sebagian kerumunan yang mengelilingi mereka.
"Setidaknya kami panggil lo 'Bro' boleh, 'kan?" tanya Billy lagi dengan nada penuh harap.
Genta melepas tangannya dari cengkeraman mereka dan mendadak merasa salah tingkah sendiri dengan tatapan yang mengingatkannya dengan tatapan memelas dari komik yang sering dibacanya. Jika dikonversi ke dalam dunia itu, mata ketiganya pasti berkaca-kaca.
"Hmm... boleh, kok." Genta pada akhirnya menjawab, meski terdengar pelan dan setengah hati. Sebenarnya tidak ada niatan lain, hanya saja, dia masih belum mempercayai apa permintaan trio preman sekolah.
Rasanya seperti terlalu halu untuk menjadi nyata. Genta sama sekali tidak menduga akan ada peristiwa semacam ini, momen di saat dia benar-benar berbaikan dengan para perundung. Awalnya dia mengira, penindasan ini masih akan berlanjut sampai dia menyelesaikan studinya.
"Thanks, Bro!" pekik Billy, seperti mau menangis.
"Lo memang the best, deh, Bro!" timpal Jason dengan nada parau sambil memeluk Genta, disusul pelukan lain dari Billy dan Vino.
"Lebay banget, deh." Rinto menyeletuk dari belakang selagi menyaksikan pendramaan dengan tatapan datar. Lantas setelahnya, dengan gestur mengusir, suara lantangnya membahana selagi mengedarkan pandangan ke kerumunan, "BUBAR SEMUANYA!!!"
*****
"Jes, gue denger Genta dicariin, ya, sama Billy cs?" tanya Judy sembari berjalan bersama Jessie dan Tomari sepulang sekolah. Genta tidak ikut serta karena rapat OSIS sesi kedua.
Jessie mengangguk. "Iya. Tapi tenang aja, ini bukan kabar negatif kok. Mereka nyari Genta karena mau ajak berteman. Genta cerita sama gue sampai ngakak karena awalnya dia kira mereka nyari gara-gara, ehhh... tau-taunya Billy nanya, 'kami boleh panggil lo 'Bro' nggak?' kayak gini...."
Jessie memberi contoh dengan menarik tangan Judy, tidak lupa menunjukkan tatapan memelas yang dibalas dengan tatapan risi.
"Ih, lebay banget! Apaan, sih!" protes Judy, bertepatan saat ketiganya sudah sampai di luar gerbang sekolah dan hendak menyeberang jalan.
"Bagus, dong, kalau gitu," kata Tomari sebelum menoleh ke kiri dan ke kanan jalan. Lantas setelah mereka sudah berada di jalur yang aman, cowok itu menggunakan tubuh Judy untuk mendorong Jessie ke kiri agar terhindar dari lalu-lalang kendaraan yang sangat ramai.
Teknisnya, posisi Tomari yang paling dekat ke jalanan. Tindakan kecil yang tidak disadari Judy karena asyik mengobrol dengan Jessie, tetapi kakaknya jelas tahu sebesar apa perhatian Tomari pada adiknya itu.
Meski awalnya Jessie merasa kalau Tomari tertarik pada dirinya, tetapi dia bisa merasakan seiring berjalannya pertemanan mereka berempat, sebenarnya perhatian Tomari lebih condong ke Judy. Wajar saja, mengingat intensitas pertemuan yang lebih sering, juga perdebatan absurd yang justru membuat keduanya semakin dekat. Sama kasusnya seperti dia dan Genta, meski tidak seheboh duo Judy dan Tomari.
Oleh karena itu, melihat perhatian kecil dari Tomari membuat Jessie tersenyum diam-diam sementara Judy masih menyerocos di sebelah dan sesekali terlibat adu mulut dengan Tomari.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Novela Juvenil[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...