"Anak-anak, tolong jangan ribut, ya. Pak Piter sedang berhalangan, jadi pelajaran Matematika terpaksa ditiadakan hari ini, tapi Bapak akan kasih tugas supaya kalian bisa lebih tenang. Ketua Kelas, tolong bagikan, ya?" titah guru Bahasa Mandarin yang biasa disapa dengan Yan Laoshi. Beliau termasuk salah satu guru honorer yang bertugas mengisi kelas kosong jika ada guru yang berhalangan masuk.
Judy selaku Ketua Kelas segera berdiri dan menerima lembaran soal yang diberikan Yan Laoshi, lalu menyebarkannya ke teman-teman sekelasnya.
"Oya, kalian boleh diskusi sama teman sebangku asal tidak ribut, ya." Yan Laoshi melanjutkan, berhasil menarik seulas senyum lebar di bibir Tomari. Hal utama yang terlintas di pikirannya saat ini adalah dia bisa mengajak Judy mengobrol semerdekanya selama jam pelajaran kosong.
Judy kembali ke tempat duduk usai membagikan lembaran soal ketika tiba-tiba saja Tomari mendekat ke arahnya hingga jarak keduanya tidak lebih dari tiga sentimeter.
"Apa-apaan lo?" tanya Judy galak. "Mau gue laporin ke Yan Laoshi, ya?"
"Laporin apa? Kan, kata Laoshi, kita boleh diskusi bareng teman sebangku. Kalau lo lupa ingatan, gue kasih tau, ya. Kita ini teman sebangku alias seatmates. Oke?"
"Tapi apa perlu duduk sedekat ini?"
"Kita lagi diskusi, jelas harus duduk berdekatan." Tomari menjawab dengan nada seakan Judy adalah orang paling lemot yang pernah ditemuinya.
Judy menunduk, lalu berbisik usai memastikan wajahnya terlindung dari sensor Yan Laoshi. Gimanapun, dia tetap harus menjaga citranya dengan statusnya sebagai Ketua Kelas. "Kalau lo lupa ingatan, gue kasih tau, ya. Terkadang, gue bisa ngeluarin tenaga yang nggak perlu kalau ada yang duduknya terlalu dekat."
Tomari berdeham keras mendengar ancaman itu dan segera menjauhkan diri meski jarak keduanya masih tergolong dekat. Judy curiga kalau cowok itu memang sengaja menguji kesabarannya.
Semua mengerjakan soal-soal dengan lebih tenang meski sebagian masih mengeluarkan suara yang tidak perlu seperti menguap atau mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja untuk memancing perhatian.
Gitu-gitu, tingkat kenakalan mereka juga sebelas dua belas dengan kelas yang lain, terlepas dari predikat mereka sebagai penghuni kelas unggulan. Suasana yang awalnya sempat tenang, secara perlahan menjadi lebih ribut setengah jam berikutnya karena banyak dari mereka yang telah selesai mengerjakan soal-soal yang dibagikan, membuat Judy sempat kewalahan menenangkan teman-teman sekelasnya selaku Ketua Kelas.
"Lo mau denger saran gue, nggak?" tanya Tomari sambil melirik Yan Laoshi yang hampir nyerah menenangkan situasi kelas yang mulai kalang-kabut.
"Saran apa?"
"Biar kelas lebih bisa terkontrol."
"Memangnya ada solusi?" tanya Judy lagi dengan nada ragu.
"Ada. Gimana kalau gue nantangin lo? Kalau berhasil, lo harus penuhin satu permintaan gue."
Judy tertawa lebar dan menatap Tomari dengan tatapan meledek. Bukan bermaksud meremehkan, sih. Hanya saja, rasanya sangat mustahil untuk menenangkan kelas di saat seseorang tipikal galak seperti Judy saja sudah menyerah. "Oke. Gue mau liat rencana lo kayak gimana."
Lantas tanpa aba-aba, Tomari mengangkat sebelah tangan kepada Yan Laoshi. "Laoshi, karena semuanya udah selesai kerjain tugas, gimana kalo Laoshi cerita aja?"
"Heh, lo sebut ini saran?" pekik Judy dari sebelah Tomari, berusaha untuk berbisik tetapi gagal sehingga suaranya terdengar menggeram. Namun siapa sangka, Yan Laoshi tersenyum mendengar saran dari Tomari.
"Mau cerita apa memangnya?" tanya Yan Laoshi sementara kelas jadi lebih tenang karena mereka mendengarkan.
"Laoshi, kan, guru honorer, juga masih muda. Kenapa Laoshi nggak cerita pengalaman aja biar nggak ngebosenin? Yang saya lihat, banyak yang ribut karena pada bosan dan nggak ngapa-ngapain di kelas."
Tomari mendongak untuk mengecek waktu yang digantung di tembok. "Waktu juga masih tersisa 30 menit lagi. Kalau diisi dengan pengalaman hidup Laoshi, saya yakin waktunya jadi terasa lebih cepat berlalu."
Terdengar gumam setuju dari sebagian besar murid. Bahkan tanpa disuruh, mereka sudah menyimpan buku-buku ke dalam tas dan duduk menghadap ke depan kelas, bersiap mendengarkan.
Yan Laoshi tampak lebih gembira dari sebelumnya berhubung selama ini beliau hanyalah guru honorer yang jarang masuk kelas. Ditambah, usia Yan Laoshi yang tergolong muda cukup mengurangi wibawanya sebagai guru, sehingga untuk menggertak murid saja tidak akan mempan.
Siapa sangka saran Tomari berhasil. Ternyata mendengar pengalaman hidup Yan Laoshi benar-benar semenarik itu sampai-sampai waktu yang tersisa tidak cukup dan guru Bahasa Mandarin itu terpaksa mengakhiri kelas dengan berjanji bahwa beliau akan melanjutkan ceritanya pada kesempatan lain.
"Terima kasih, Tomari. Idemu bagus sekali," puji Yan Laoshi ketika kelas sudah bubar pasca bel pulang berdering.
"Sama-sama, Laoshi. Dulu waktu saya sekolah di Jepang, kami juga melakukan hal yang sama soalnya kami paham kalau guru honorer biasanya agak canggung sama murid-murid," jelas Tomari sambil tersenyum.
Yan Laoshi mengangguk. "Benar, Tom. Saya jadi punya trik pendekatan sama murid-murid. Ke depannya, saya akan meneruskan ide kamu."
Yan Laoshi pamit setelah menepuk pundak Tomari dengan penuh kebanggaan. Lantas pada detik berikutnya, cowok itu menoleh ke Judy yang menyusul di belakangnya. Kini, hanya tersisa mereka berdua di kelas.
Judy teringat janjinya untuk memenuhi permintaan Tomari dan seketika merasa agak menyesal. Tadinya, dia sempat mengira kalau Tomari tidak akan berhasil. Rupanya yang benar, dia terlalu meremehkan cowok itu.
"Ayo pulang," ajak Tomari, mendekati Judy.
"Bilang aja permintaan lo apa. Nggak usah basa-basi," sinis Judy usai menyampirkan salah satu tali tas yang sebesar gaban ke bahunya.
"Lo peka banget, deh." Tomari memuji, lalu memamerkan deretan giginya yang berbaris rapi. "Gue nggak minta aneh-aneh, kok, tenang aja."
"Kalau gitu apa?"
"Gue mau lo jujur sama perasaan sendiri."
Angin semilir tampak membelai rambut ekor kuda Judy sementara dia menatap Tomari tanpa berkedip, seolah-olah ada yang menahan dirinya supaya tidak bisa bergerak dan menguasai matanya sedemikian rupa hingga tidak bisa mengalihkan fokusnya dari Tomari.
"Gue tau dari Jessie kalau lo mutusin bersikap seperti biasa seakan-akan nggak ada yang terjadi dan lo nggak pernah denger fakta itu. Tapi sebagai teman yang setidaknya pernah merasakan posisi lo, gue yakin itu nggak gampang. Gue cuma berharap lo mau jujur sama perasaan sendiri dengan menjadi apa adanya di depan gue. Meski lo harus masang topeng di depan keluarga lo, lo bisa lepasin itu di depan gue. Gue bersedia jadi wadah buat lo lampiaskan karena sejak gue bisa berpikiran lebih terbuka dan berbaikan dengan Genta, itu semua berkat lo dan gue berterima kasih."
Kemudian usai mengucapkan semua itu, siapa sangka tangan Tomari terulur ke pipi Judy dan mencubitnya dengan pelan. "Jadi plis... jangan menanggung itu sendirian. Ada gue di sini."
Judy cukup lama membiarkan jeda tanpa mengatakan apa pun. Ekspresinya juga tak terbaca, membuat Tomari mendapat firasat buruk sampai membayangkan akan dibanting di lantai tanpa ampun. Namun yang terjadi adalah dia mengangkat tangan sebagai usaha unruk menurunkan tangan Tomari yang masih menempel di pipinya sebelum menjabat tangan cowok itu. Siapa sangka, sudut bibirnya tertarik untuk mengukir senyuman manis. "Mohon bantuannya kalau gitu, Tomari Shinou."
Piuhhh... hampir aja. Gue kira dia bakal ngebanting gue ke lantai. Ah, tapi, kenapa jantung gue masih degup-degup nggak keruan gini?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Teen Fiction[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...