23). Speak Up

17 17 4
                                    

Tadinya, Genta merasa tidak akan baik jika terus berada di sana meski di satu sisi, dia penasaran mengapa Judy menangis. Cewek itu tipikal tegar, yang hampir mustahil menunjukkan sisi lemahnya pada orang luar, tidak terkecuali Tomari.

Atau... apakah keduanya sudah lebih dekat dari yang seharusnya? Genta tidak tahu, tetapi kini batinnya mencelus saat menyadari sesuatu yang lain.

Ekspresinya berubah menjadi tidak senang, terlihat dari sepasang alisnya yang beradu. Lantas tanpa berpikir dua kali, dia maju dengan langkah lebar dan menarik Tomari dengan sekali sentakan hingga pelukan keduanya lepas.

Genta memang belum pernah menunjukkan ekspresi murka sebelumnya, sehingga tidak heran jika aura yang ditunjukkan terasa dua kali lebih mengerikan.

"Oh, jadi... gini, ya, maksud lo selama ini?" tanya Genta dengan nadanya yang sangat dingin di telinga Tomari. "Lo berhasil, Tom. Gue berhasil dikelabui sama lo."

Ekspresi Tomari jadi kacau sekarang karena usai menunjukkan kekagetan karena amarah Genta, dia juga sukses dibuat bingung. Sedangkan Judy, dia refleks menghapus jejak air mata seraya mencerna apa yang sedang terjadi.

Walau masih sedih, logikanya tetap waspada. Jika Genta bisa menunjukkan kemurkaan yang hampir tidak pernah dia tunjukkan sebelumnya, bisa jadi ada suatu alasan kuat yang membuatnya berani speak up.

"Maksud lo apa, Genta?"

"Nggak usah pura-pura, deh! Jelas-jelas lo tau perasaan gue ke Judy. Lo bilang, lo bakal deketin Judy supaya bisa comblangin kami berdua, begitu pula gue akan deketin Jessie supaya bisa comblangin lo berdua. Tapi apa? Itu tujuan lo supaya bisa memenuhi sumpah yang pernah lo ungkapin, 'kan?"

Tomari mulai serba salah. Dia menatap Judy dan Genta secara bergantian. Mulutnya membuka sejenak sebelum kembali menutup karena canggung, melakukannya berkali-kali hingga stres sendiri karena tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin menjelaskan, tetapi pikirannya telanjur kacau.

"G-gue...."

"Seperti apa sumpah yang dia ucapin?" tanya Judy pelan, hampir berbisik. Walau demikian, Tomari bisa merasakan aura dinginnya yang sangat kentara.

Sejujurnya, Genta hanya terbawa emosi sesaat. Namun, persepsinya jadi berbeda saat Judy membuka suara, membuatnya merasakan penyesalan. Awalnya, dia hanya takut jika Tomari sengaja mempermainkan perasaan Judy, tetapi setelah melihat ekspresinya yang tampak patah hati, Genta jadi memahami sesuatu;

[Apa... apa Judy udah suka pada Tomari?]

Kesadaran tersebut membuat Genta bungkam meski Judy masih menodong penjelasan dengan tatapan yang sarat akan tuntutan. Akan tetapi, Genta telanjur berasumsi kalau ada arti lain dari tatapannya itu. Mungkin saja, Judy mengharapkan kepastian kalau apa yang dia tuduh tidaklah benar, jadi dia tidak perlu merasa kecewa.

Judy tertawa getir, terkesan menyindir dan penuh ironi. Lantas, setelah yakin bahwa Genta tidak akan mengucapkan sepatah kata pun, matanya yang sangar menoleh pada Tomari.

"Ini nggak seperti yang elo pikirin, Judy. G-gue...."

"Gue sebenarnya udah tahu Genta suka sama gue, tapi gue anggap itu wujud kekaguman semata karena gue sering nolongin dia. Soal lo suka sama Jessie, gue juga tahu—–hei, siapa, sih, yang sebego itu sampai nggak bisa rasain setertarik itu sama kakak gue?Intinya, terlepas dari apakah Jessie bales perasaan lo atau nggak, itu bukan urusan gue." Judy maju selangkah, berhadapan dengan Tomari dalam jarak dekat. "Gue juga nggak peduli; mau lo mainin perasaan gue atau hanya sekadar coba-coba ngetes—–itu nggak ada efeknya, asal jangan ke Jessie. Kalo lo sampai nyakitin dia, lo berurusan sama gue! NGERTI?!"

"Judy! Tunggu! Dengerin dulu penjelasan gue!" teriak Tomari, menyusul Judy yang menjauh.

Genta juga bertindak impulsif, kakinya turut tergerak untuk mengejar Judy, tetapi mendadak ada sebuah tangan yang menahannya untuk melangkah. Cowok itu menoleh dan kaget dengan ekspresi Jessie yang turut mendung, berbeda dari biasanya.

"Gue lagi sedih sekarang. Bukankah seharusnya lo menghibur gue?"

*****

Genta memberikan sebungkus tisu seukuran saku pada Jessie. Mereka menempati bangku panjang yang berada di koridor dekat Ruang Auditorium SMA Berdikari yang merujuk ke toilet. Seharusnya daerah itu sepi, tetapi sekolah sedang ramai-ramainya gegara persiapan pensi.

Genta tahu sedikit banyak tentang jadwal di sekolah. Itulah sebabnya, dia yang menyarankan untuk mampir ke sini, untuk menghibur Jessie sesuai permintaannya.

"Lo nggak usah khawatir karena gue yakin Judy itu kuat," hibur Genta usai mendengar curahan hati Jessie. Meski cukup kaget atas fakta keduanya tidak memiliki hubungan darah, dia tetap menepuk bahu Jessie sebagai perwujudan rasa empati. "Hanya aja yang namanya rahasia tetap akan terbongkar suatu hari. Jadi, walau misalkan Judy hari ini belum tahu kebenarannya, suatu saat rahasia itu akan tetap terbongkar juga."

Jessie tersenyum. "Lo bener. Rahasia itu sebenarnya ada untuk dibongkar."

Mereka terdiam selama beberapa saat. Keduanya sejenak terlena dengan pemandangan di atas yang penuh dengan gemintang. Setidaknya, langit sedikit banyak telah memberi hiburan.

Jessie yang pertama mengalihkan tatapannya ke Genta. "Tapi gue denger kayaknya ada salah paham, ya, antara lo sama Tomari?"

Genta menoleh pada Jessie dan ekspresinya berubah menjadi muram. Lantas, dia juga mencurahkan semua isi hatinya pada Jessie.

"Wajar kalau lo marah." Gantian Jessie menepuk pundak Genta. "Gue juga bakal gitu kalau berada di posisi lo. Cuma... gue bilang ini dalam sudut pandang objektif, ya. Gue yakin kalau Tomari nggak pernah mewujudkan sumpahnya itu."

"Kenapa lo bisa yakin?"

"Karena gue bisa rasain kalau Tomari sejak awal udah suka sama Judy."

"Bukannya lo bilang lo mau jelasin dalam sudut pandang objektif? Gue rasa ini sudut pandang subjektif," protes Genta dengan kernyitan di alisnya.

"Subjektif kalau gue suka sama Tomari. Misalkan gue suka sama dia, otomatis gue akan berusaha semampunya untuk membela cowok yang gue suka. Tapi kenyataannya... gue udah sadar, bukan Tomari yang gue suka."

Entah kenapa Genta menelan ludahnya berkali-kali. "Oke. Kalau gitu... terusin asumsi lo. Gue coba denger."

"Gini, ya. Kalau Tomari mempermainkan perasaan Judy, buat apa juga dia belajar keras demi menarik perhatian gue? Cara gampangnya, ya, tinggal pedekate sama Judy dan nggak usah bawa-bawa gue. Jadi, dari situ gue ambil kesimpulan kalau awalnya dia cuman sebatas tertarik sama gue, trus seiring berjalannya waktu, dia suka sama Judy. Dan gue yakin Judy juga suka sama dia."

Mendengar Judy menyukai Tomari membuat Genta merasa sesuatu yang berkedut dalam jantungnya, tetapi rupanya sudah tidak sesakit di awal-awal saat melihat Tomari berpelukan dengan Judy barusan.

Entahlah, Genta tidak tahu apa alasannya.

"Dan sekarang mungkin lo perlu berpikir dengan tenang dan tanya pada diri lo sendiri; apakah lo bener-bener suka sama Judy? Maksud gue, bukan semata-mata dia sering nolongin lo sampai lo merasa berterima kasih sama dia," lanjut Jessie sambil tersenyum lebar.

"Kalau lo sendiri, gimana? Lo udah yakin, ya, kalau itu bukan perasaan suka ke Tomari? Lo udah seyakin itu?" tanya Genta balik.

Jessie mengangguk. "Iya... karena gue sukanya sama lo."

Satu kalimat itu sukses membuat Genta lupa bernapas selagi matanya dan mata Jessie bertemu. Ekspresi Jessie tampak malu-malu, tetapi Genta tahu, matanya tidak berbohong. Dia jelas serius dengan ucapannya.

Genta tidak tahu harus merespons apa, terlebih ada banyak hal yang membuat fokusnya bercabang hingga beranak-pinak karena selain sistem pernapasannya tidak teratur, jantungnya juga tidak bisa diajak kerja sama gegara berdetak lebih cepat dari seharusnya.

Genta jadi dejavu dengan rutinitasnya berolahraga tiap pagi bersama Jessie. Ah, ralat, sepertinya ritme jantungnya bernilai dua kali lebih heboh.

Entahlah, Genta lagi-lagi tidak tahu apa alasannya.

Bersambung

Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang