"Kak Jess, Kakak cantik banget hari ini," puji seorang cowok yang berdiri berhadapan dengan Jessie. Lima menit lalu, dia mengajak Jessie berbicara berdua di koridor dekat aula ketika acara pensi hampir usai.
Rona merah merambat ke bagian tengkuknya sekarang. Kentara sekali dia menaruh minat yang besar pada Jessie, yang sebaliknya direspons biasa-biasa saja. Gadis itu tentu bisa menebak kalau cowok yang mengaku bernama Leon itu akan menyatakan perasaannya sebentar lagi.
Benar saja. Leon sedang berusaha menyampaikan isi hatinya walau dilakukan dengan susah payah.
"G-gue... hmm... sebenarnya gu-gue... gue ajak Kak Jessie ngobrol.... I-itu ka-karena... karena g-gue...."
Jessie tersenyum sebelum menyentuh pundak Leon dengan lembut. "Santai aja, Dek Leon. Lo pasti bisa ungkapin isi hati lo. Gue akan denger sampai selesai."
Jessie memang sebaik dan sesabar itu. Itulah sebabnya walau sudah mengetahui akan ditolak pada akhirnya, cowok-cowok yang telanjur mengagumi Jessie tidak menyesal untuk menyatakan perasaan. Bahkan jika mereka menyatakannya berkali-kali, Jessie tetap sabar mendengar semua itu karena dia paham, semua orang berhak mengagumi seseorang dan akan tidak pantas jika ditolak dengan kejam. Setidaknya, hargai dengan membiarkan mereka mengungkapkan perasaan sampai selesai. Seperti itulah prinsip Jessie.
"Makasih, Kak," ucap Leon dengan pancaran mata yang berbinar. "Kakak memang dewi sekolah. Hmm... sebenarnya gue suka sama Kakak. Walau gue tahu pasti bakal ditolak, tapi trims, ya, Kak, karena mau memberikan perhatian, padahal Kakak udah tahu gue mau bilang apa."
Jessie tersenyum. "Thanks, Leon. Makasih karena udah suka sama gue."
"Kalo boleh tahu... Kakak nolak gue karena udah suka sama Kak Genta, ya? Soalnya gue denger katanya Kakak deket banget sama Kak Genta, padahal sebelumnya belum pernah deket sama cowok mana pun."
Tepat pada saat itu, tanpa sepengetahuan mereka, Genta telah mendekat karena sejak tadi posisinya tidak jauh dan sejujurnya dia sudah mendengar percakapan keduanya. Tadinya, dia sedang mencari Jessie dan Judy barusan melapor bahwa ada adik kelas yang mengajak kakaknya berbicara.
Tepat seperti dugaannya, Jessie pasti sedang di-'tembak' oleh seseorang. Genta bermaksud melabrak langsung, tetapi tidak jadi ketika dia mendengar namanya disebut dalam percakapan itu. Genta memutuskan untuk bersembunyi di balik pilar untuk menguping.
Jessie tersenyum dan entah mengapa nadanya terdengar agak sinis. "Gue memang dekat sama Genta, tapi nggak seperti yang lo pikirin, kok."
"Kalau gitu... Kakak nggak pacaran sama Kak Genta, ya? Maaf, Kak, soalnya gue--"
"Nggak apa-apa, kok, Leon," potong Jessie. "Kami nggak pacaran. Kami hanya teman dekat aja."
Leon tersenyum simpul. "Itu berarti... gue punya kesempatan, dong! Kak, kalau gue pedekate sama Kakak... boleh, nggak?"
"Pedekate? Hng...."
"Siapa bilang boleh?" Terdengar suara Genta menimpali dari belakang, sukses menarik otot leher duo Jessie dan Leon untuk menoleh ke sumber suara.
Jessie tampak kaget sekaligus bingung dengan kemunculan mendadak Genta sementara Leon menunjukkan ekspresi tidak senang dengan kehadirannya seolah-olah terganggu.
Secara tidak terduga, Genta mengalungkan lengan di bahu Jessie dan mengabaikan ekspresi penuh kekagetan yang tidak hanya ditunjukkan Jessie saja, tetapi semua murid yang kebetulan melewati koridor.
"Gue nyari lo, Jes. Rupanya lo di sini," kata Genta dengan nada datar sekaligus dingin. Tatapan tersebut ditujukan pada Leon yang sarat akan tatapan penuh celaan seolah-olah mengusir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Roman pour Adolescents[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...