Sejak Maya merintis karier dari nol sebagai karyawan di salah satu kantor bergengsi pasca kepindahannya tiga tahun yang lalu, wanita itu memang sadar atas konsekuensi yang harus dia terima, yaitu kedekatannya dengan Tomari pastilah akan jauh berkurang.
Awalnya Maya kira, kedekatan antara Tomari dengan Genta sedikit banyak akan teralihkan di saat dia sibuk bekerja, berhubung anak tunggalnya lebih sering menghabiskan waktu di rumah Genta. Namun, Maya yakin ada sesuatu yang tidak beres terutama sejak setahun belakangan.
Pertama, secara tidak terduga, Tomari memilih mendaftar di SMA yang berbeda dari Genta. Padahal di masa kepindahannya yang pertama, dia tidak berpikir dua kali saat ditanya. Lantas, Tomari juga yang akhirnya mengajukan permintaan lagi untuk dipindahkan ke SMA Berdikari pada tahun keduanya.
Okelah, ya, saat itu Maya berpikir positif mungkin saja Tomari memilih sekolah yang dekat dari rumah, tetapi kemudian menyesal setelah mencoba setahun penuh tanpa Genta di sisinya. Akan tetapi, Tomari jadi jarang mengunjungi rumah Genta dan selalu menghindar setiap Maya menyarankan dia untuk makan di rumah Kristo. Ada saja alasan yang mendukungnya untuk berdalih, tetapi insiden semalam benar-benar menegaskannya bahwa memang ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuannya.
Maya jadi teringat kata-kata Tomari saat dia baru saja pulang dan kaget karena lampu rumah tidak dinyalakan.
"Kamu kenapa nggak buka lampu, Nak?"
"Lupa."
"Lupa? Malas nyalakan, kali. Oh, ya, kamu nggak jadi makan di rumah Genta, ya?"
"Om Kristo yang nelpon?"
"I-iya, Tom. Om kamu khawatir karena nggak seperti biasanya kamu nggak berkabar. Jadi, Mama cepat-cepat pulang. Mama telepon kamu berkali-kali tapi nggak angkat."
"Maaf, Ma, aku lagi nggak mood. Aku masuk kamar dulu, ya."
Nada bicara Tomari terkesan menyindir, tidak seperti biasanya. Maya khawatir, itulah sebabnya dia merogoh ponsel dan mencari nama Genta di daftar kontak untuk meneleponnya. Waktu menunjukkan pukul satu siang, seharusnya Genta sudah pulang dari sekolah.
"Ya, Bibi Maya?" sapa Genta ramah.
"Hmm... ada sesuatu yang mau Bibi tanyain ke kamu. Apa bisa mampir ke kantor Bibi sekarang?"
Terdengar ada suara dalam pria dari kejauhan yang Maya yakini adalah suara Kristo. "A-apa? Oh... hmm... oke—–halo, Bi? Iya boleh, Bibi Maya. Sekalian kata Papa mau nitip bekal makan siang untuk Bibi. Aku ke sana sekarang, ya?"
"Oke, Nak."
Tut. Panggilan berakhir. Dari percakapan singkat tadi, Maya jadi mempunyai firasat bahwa Genta juga tahu sesuatu. Biasanya jika disuruh mengantar bekal ke kantornya, cowok itu akan mengajukan protes dan spontan mengalihkannya pada Tomari karena dia kurang suka berada di tempat umum.
Setengah jam kemudian, Maya mendapat telepon dari admin kantor yang mengatakan bahwa ada seseorang yang hendak menemuinya.
"Hai, Bi," sapa Genta begitu melihat siluet Maya yang mendekat di tengah keramaian. Wanita itu lalu mengajak Genta mampir ke cafe dekat kantor dan memesan dua gelas kopi.
"Genta." Maya memulai. "Hmm... gimana, ya, Bibi mau nanya sama kamu. Kamu merasa nggak kalau Tomari kayaknya... kayaknya agak sensitif akhir-akhir ini?"
Alih-alih menjawab, Genta malah lebih tertarik melihat isi cangkir di hadapannya seolah-olah ingin menguji bagaimana rasanya mempunyai tubuh super mini dan menenggelamkan diri di sana. Namun, apa pun itu, yang jelas, dia menghindari tatapan Maya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Teen Fiction[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...