5). What's Exactly The Matter

41 28 21
                                    

"Tomari? Sejak kapan lo di situ?"

"Kamu udah pulang, ya, Genta? Papa yang suruh Tomari ke rumah buat makan siang bareng kita karena Bibi Maya lembur hari ini." Kristo berkata, menginterupsi pertanyaan yang diajukan Genta pada Tomari.

"Iya, Pa." Genta menjawab singkat selagi Kristo mengalihkan atensinya pada Tomari. "Tunggu bentar, ya, Nak. Makan siang sebentar lagi siap."

Tomari menganggukkan kepala dengan sopan, tetapi saat Kristo menutup pintu kembali, tatapannya berubah menjadi datar. Fokusnya kemudian beralih ke Genta.

"Pertanyaan lo tadi udah dijawab, 'kan? Sekarang gantian lo jawab pertanyaan gue."

"Yang mana?" Genta bertanya sambil lalu menuju kamarnya.

Merasa tidak puas, Tomari menyusul ke kamar Genta, tetapi mendadak berhenti di ambang pintu saat mendapati sang pemilik kamar sedang mengganti seragamnya dengan setelan rumahan.

Meski keduanya sama-sama berjenis kelamin laki-laki, tetap saja rasanya aneh jika terus memperhatikan tubuh Genta yang tidak ada menariknya sama sekali. Jangankan melihat bentuk tubuh Genta yang bergelambir, Tomari saja tidak berminat memperhatikan bentuk tubuh lain yang berotot.

Wong, dia sudah punya sendiri.

"Tadi gue bilang, 'ada yang lagi jatuh cinta, kayaknya'."

"Itu bukan pertanyaan." Genta berdalih. Sebenarnya, dia sudah mulai mengerti ke mana arah topik yang dibicarakan oleh Tomari. Hanya saja, dia memilih untuk berpura-pura tidak peka.

"Tapi seharusnya lo tahu ada pertanyaan di baliknya," balas Tomari, tidak mau kalah.

"Kalau gitu, gue balik; lo juga lagi jatuh cinta, kayaknya."

"Atas dasar apa lo mengambil kesimpulan begitu?" tanya Tomari, terselip nada tidak terima. "Buktinya mana?"

"Lo duluan yang nuduh gue jatuh cinta. Gue juga perlu bukti."

"Gue lihat lo di sudut lapangan tadi sama Judy Me... Me.... Ck, gue lupa nama belakangnya."

"Judy Meline."

"Nah, itu. Tuh, lo aja tahu nama lengkapnya."

"Siapa sih yang nggak kenal duo julukan perfect siblings di sekolah? Lagian gue anggota OSIS, jadi otomatis udah hafal banyak nama."

"Iya, ya. Kalau gitu, bener, 'kan?"

"Apanya?"

"Lo suka sama Judy?"

"Lo sendiri? Suka sama Jessie, kan?"

"Kok, tahu?" Tomari mendelik spontan. "Lo stalking gue?"

"Sama, dong. Kesimpulannya; lo juga stalking gue."

"Gaje banget sih topik ini." Tomari menggerutu. "Ck, ya, udah. Intinya, ada alasan gue ke sini. Gue mau meluruskan sesuatu biar lo nggak salah paham. Pertama, jangan kira gue masuk SMA Berdikari karena lo, ya! Pokoknya, gue nggak ada pilihan lain. Trus yang kedua, lo masih inget sama sumpah gue, 'kan?"

Genta terdiam. Dia tentu tidak akan melupakan asal muasal sumpah yang terjadi usai pertengkaran itu. Tatapannya ditujukan kepada Tomari yang balas menatapnya dengan tatapan yang masih sama; datar dan dingin.

"Genta! Tomari! Ayo kita makan siang!" Teriakan Kristo yang lantang dari luar kamar berhasil memecahkan kesunyian.

Meski sepertinya tidak ada harapan untuk berdamai, Genta selalu berharap semoga suatu saat mereka diizinkan untuk berbaikan kembali. Namun mirisnya setiap harapan itu muncul dalam benak Genta, pemikiran bahwa Tomari membencinya turut memenuhi isi pikirannya, seakan sudah dikemas dalam satu paket.

Karena sifat Tomari memang sekeras kepala itu sementara sifat Genta yang gengsian semakin memperparah keadaan.

Termasuk momen ini. Mengatakan kepada Tomari 'yuk, kita makan' saja sesulit ini.

*****

"Eh, Jes! Gue denger lo mampir ke kelas waktu jam istirahat, ya?" tanya Judy usai menutup pintu kamar di belakangnya. Judy baru pulang sekolah, terlihat dari pakaian yang masih lengkap dengan seragam sekolah. Sedangkan Jessie, dia sudah selesai mandi dan berganti pakaian rumahan.

Jessie memang semodis itu, yang tentu saja sefrekuensi dengan wajahnya yang mempesona. Terbalik dengan sang adik yang pakaiannya serba gampang dan terkesan tidak peduli, Jessie sangat memperhatikan sedetail mungkin segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya; entah dari pakaian, aksesoris, pokoknya semuanya. Bisa ditebak, dia tipikal perfeksionis.

Menurut Judy, yang paling penting adalah rasa nyaman. Tidak hanya dalam artian nyaman berbicara dengan seseorang, tetapi juga nyaman dalam hal apa pun. Dia tidak suka berbasa-basi untuk sesuatu hal yang tidak perlu. Lain halnya dengan Jessie yang selalu berpikir terlebih dahulu apakah perkataannya akan melukai perasaan orang itu atau tidak. Itulah sebabnya, banyak yang menilai kalau Judy tipikal cewek yang cenderung tomboy.

Selain itu, banyak yang mengira Judy adalah si kakak dan Jessie adalah sang adik. Sejujurnya, Judy bisa saja mengikuti program akselerasi dan melompati kelas, hanya saja dia tidak mau. Alasan satu-satunya adalah karena dia menghormati kakaknya.

Jessie mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel. "Oh, iya. Emangnya si Tomari yang lapor, ya?"

Judy menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan takjub. "Emang, ya, kalo jadi bunga sekolah pasti cepat kenalan sama anak baru. Lo udah kenalan sama dia?"

"Alasannya karena dia teman sebangku lo. Kalo bukan, nggak mungkin gue langsung kenalan sama dia."

"Oh, gitu. Nah, balik lagi ke topik tadi. Ngapain lo ke kelas gue? Mau minjem sesuatu?"

"Tahu, aja. Sebenarnya nggak terlalu penting, sih. Cuma lo taulah kalo jam istirahat gue udah biasa dengerin lagu pake earpods dan sayangnya ketinggalan di rumah. Mau nanya ke lo, kali aja lo punya."

"Berarti penting bagi lo, dong." kata Judy sambil nyengir. "Eh, iya. Hampir lupa gue. Genta Harvey sekelas sama lo, kan?"

"Iya. Kenapa emang?"

"Gue sempat ketemu dia, tapi malah lupa," ujar Judy sambil menepuk jidatnya ringan. "Tadi dia hampir dikeroyok sama preman kacung dari kelas XII IPA-5—–ada si Billy Lauren Febrian, Jason Effendy, sama Alvino Surya Purnama. Untung gue ada di dekat sana waktu kejadian. Setelah gue kasih pelajaran ke mereka bertiga, gue malah lupa serahin fotokopian jurnal."

"Jadi, intinya serahkan jurnal, 'kan? Berarti seharusnya nama-nama panjang yang lo sebutkan tadi sama sekali nggak penting, dong." Jessie tidak tahan untuk tidak mengomentari kelebihan Judy yang sangat pandai menghafal nama panjang di luar kepala. Jangankan nama, daftar nomor handphone saja bisa dihapal Judy dalam sekali baca.

Judy terkekeh malu. "Iya, maap, Kak Jessie. Kebiasaan."

"Oke. Kalo gitu jangan lupa serahin ke gue, ya, besok pagi supaya nggak lupa. Eh, tapi... kasihan juga, ya, sama Genta. Sering dirundung, padahal dia anggota OSIS."

"Mungkin karena badannya gemuk, Jes. Gue paham karena target perundung kebanyakan orang gemuk. Bagi mereka, orang yang gemuk pasti mentalnya lemah karena sering diejek.

Dari buku yang gue baca," lanjut Judy yang mulai bereksplorasi dengan hal yang ada dalam otaknya. "Ada enam tipe korban buli yang sering ditargetkan, tapi gue singkat jadi tiga tipe karena ada beberapa tipe yang kurang lebih sama menurut gue. Pertama, siswa pintar. Karena gue bisa bela diri dan gue galak, otomatis  mereka nggak bisa buli gue. Kedua, siswa yang tidak punya teman. Lo nggak punya teman, tapi lo punya gue jadi mereka nggak berani macam-macam. Yang ketiga—–"

"Wait!" potong Jessie sebelum mendengkus kesal. "Kok, lo jadi nyindir gue, sih? Gue bukannya nggak punya teman, tapi mereka aja yang nggak bisa beradaptasi sama hobi gue."

"Yang ketiga, siswa yang mempunyai keunikan fisik. Keunikan di sini dalam artian yang negatif di mana contoh kasusnya adalah Genta," lanjut Judy seakan tidak ada interupsi sementara Jessie memanyunkan bibir. "Karena Genta gemuk, jadinya gampang dirundung. Satu-satunya solusi menurut gue kalo dia nggak mau dirundung, dia harus ngurusin badan atau lebih memberanikan diri. Biasanya ada perundung yang kalah sama gertakan doang."

"Oke. Gue paham. Mungkin gue akan coba sampaikan ke Genta besok."


Bersambung

Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang