Judy sedang antusias mengetik di laptop, terlihat dari jemarinya yang seolah-olah menari di atas keyboard. Namun, aktivitas tersebut hanya bertahan selama sepuluh menit pertama karena laptopnya berhenti berfungsi dan kemudian mati total.
"Argggh!!! Payah banget! Kenapa, sih, laptopnya harus mampus di saat seperti ini?" omel Judy seraya melipat layar dengan perasaan dongkol.
Pintu kamar dibuka dari luar dan kepala Jessie menyembul di baliknya. "Lo kenapa, sih? Lagi PMS, ya?"
"Laptop gue rusak! Argggh!!! Payah, payah, payah!!!" Judy misuh-misuh.
"Lo, sih! Udah gue ingetin ganti laptop baru, masih aja lo sayang-sayangin. Tuh laptop masih syukur bisa berfungsi seenggaknya sampai hari ini. Memangnya lo lagi ngapain? Ngerjain makalah?"
Judy menggeleng. "Bukan. Gue lagi iseng ngerjain bank soal online. Lagi seru-serunya—–ck. Padahal kalau gue menang, gue bakal dapet bingkisan lucu-lucu. Rencananya, sih, buat lo, tapi malah laptopnya mati di saat seperti ini. Mana waktunya tinggal lima belas menit, lagi!"
Jessie mendengkus geli, lalu tersenyum mendengar hal itu. "Pakai laptop Papa aja. Kebetulan Papa lagi baring di kamar. Punya gue lagi dipinjem Mama buat streaming."
"Oke. Mungkin masih sempet kalau dari sekarang ngejarnya. Lo harus ikut biar jadi saksi kemenangan gue kalau lo mau hadiahnya."
"Hmm... oke, deh."
Judy segera keluar kamar dan bertolak menuju ruang tamu di mana laptop papanya berada. Sesuai kebiasaan di jam-jam sore seperti ini, sang ayah lebih senang menyimpan tas kerja beserta laptopnya di sana.
Judy segera log in ke server usai menghubungkannya ke internet, diekori Jessie yang duduk di sebelahnya.
Jemari Judy menari lagi di atas keyboard sementara Jessie tidak bisa menahan diri untuk tidak melongo karena takjub dengan kehebatan adiknya mengerjakan soal-soal, padahal dia sadar ini bukan pertama kalinya dia melihat bagaimana kelincahan Judy mengerjakan tanpa hambatan. Adiknya memang sejenius itu dan bisa dipastikan Judy adalah pemenangnya.
"Yesss!! Gue menang! Hebat, kan, gue?" pamer Judy sembari menunjukkan deretan giginya pada Jessie.
Jessie merangkul pundak Judy dengan senyuman yang turut diperlebar. "Lo yakin, ya, hadiahnya buat gue?"
"Yoi, karena gue nggak suka sama boneka. Kalau hadiahnya lego, sih, gue baru demen."
Judy hendak memilih icon shut down untuk mematikan layar, tetapi mendadak tidak jadi sehingga gerakannya terhenti di tengah-tengah. "Eh, gue baru inget. Mumpung gue buka laptopnya Papa, gue mau sekalian ambil foto jadul kita. Lo masih inget, nggak, di folder mana?"
"Foto jadul? Buat apa?" tanya Jessie heran mengingat Judy tidak pernah peduli dengan hal semacam itu. Boro-boro foto jadul, foto terbaru saja tidak ada saking magernya dia berswafoto.
"Ceritanya agak ribet, pokoknya gue mesti buktiin ke Tomari kalau gue nggak punya gigi mancung pas kecil. Dia ngatain gue punya gigi tonggos, trus pasti dekil banget waktu masih bocah. Dia juga heran kenapa lo bisa jadi kakak gue."
Jessie terlihat membeku selama beberapa detik sebelum mendengkus samar dan berujar, "Lo nggak usah peduliin, kali. Biar gimanapun, lo adalah adik gue dan siapa pun nggak bisa mengingkarinya."
Judy tertawa. "Ya, iyalah. Gue pasti anak kandung Papa dan Mama, juga adik kandung lo satu-satunya."
Judy menggerakkan mouse dan menjelajah isi folder di laptop sang ayah. Lantas, di saat dia menemukan sebuah folder yang sepaket dengan gembok alias dikunci dengan password, keningnya tampak mengerut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
Roman pour Adolescents[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...