"Judy, dengerin gue!" teriak Tomari setelah berhasil menarik lengan Judy ke arahnya.
"Lepasin, nggak?" Alih-alih membalas dengan teriakan, Judy menjawab dingin.
Reaksinya berhasil membuat Tomari melepaskan cekalannya, tetapi dia tidak mau menyerah untuk meyakinkan Judy. Entahlah, rasanya lebih tidak enak ketimbang saat dia salah paham atas persepsi Genta tentang masa lalu orang tua mereka.
"Ayo, kita ngomong di rumah gue," ajak Tomari, lantas menarik tangan Judy lagi untuk berbalik arah menuju rumahnya. "Nyokap gue masih ngantor, jadi baliknya pasti malem."
Judy spontan menyentakkan lengannya hingga lepas dari cengkeraman Tomari. "Lo gila, ya? Justru lebih bahaya, dong, kalau nggak ada nyokap lo di rumah!"
Tomari terperangah sebelum mendengkus kesal. "Lo nggak usah mikir aneh-aneh, deh! Kita, kan, cuma perlu tempat yang tenang buat ngobrol. Kalau lo secemas itu, gue buka pintunya lebar-lebar, oke? Lagian, lo kan jago judo, jadi gampanglah salto-in gue semerdeka lo."
"Gue lagi mau sendiri. Lagian lo, kan, permainkan gue, jadi lo harusnya udah puas sekarang."
"Gue mau ceritain semuanya biar nggak ada salah paham. Gue nggak mau kehilangan kepercayaan dari lo."
Gantian Judy mendengkus kesal usai melongo sesaat. "Memangnya ada salah paham apa? Bukannya yang dibilang Genta udah jelas, 'kan? Informasinya udah lebih dari cukup mengerti karena lo pernah cerita tentang orang tua lo. Genta itu anaknya sahabat bokap sama nyokap lo, 'kan? Jadi, gue rasa nggak ada yang perlu kita bicarain lagi."
Tomari menarik tangan Judy, tetapi kali ini dengan cara yang lebih lembut. Siapa sangka, emosinya langsung surut padahal dia sudah memasang kuda-kuda untuk membantingnya. "Ada. Ada yang perlu gue bicarain. Setidaknya dengerin dulu, setelah itu lo boleh banting gue kalau perlu."
Nada bicara Tomari juga sarat akan permohonan, bukannya menuntut. Dia menarik tangan Judy lagi, menipiskan jarak di antara keduanya, membuat gadis itu merasa tidak nyaman. Terselip rasa canggung disertai keanehan di dalam perutnya, serasa ada yang bergerak. Jantungnya juga dirasa berpacu dua kali lebih cepat, membuatnya bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan padahal dia tidak pernah memikirkan reaksi lawan bicaranya.
Untuk pertama kalinya pula, dia bersedia menuruti permintaan Tomari. Seolah disetel layaknya robot, dia mendudukkan bokongnya di sofa dengan canggung, begitu pula saat menerima segelas cokelat hangat yang dibuatkan khusus untuknya. Bahkan saking gugupnya, dia tidak berani meneguk isinya.
"Kenapa lo kaku begitu? Gue nggak tambahin obat tidur di dalamnya, kok, tenang aja. Betewe, rumah kita juga sekompleks, jadi bisa dipastikan gue bakal jadi tersangka utama kalau lo sampai kenapa-kenapa."
"Lo ngomong apaan, sih?" protes Judy, mulai kembali ke dirinya yang biasa. "Gimanapun, ini pertama kalinya gue ke rumah cowok, makanya... jadi rada aneh situasinya."
Tomari tertawa keras. "Masa, sih? Jadi, ini rumah pertama yang lo datangi? Wah, gue harus adain acara peresmian kayaknya."
Secara ajaib, suasana hati Judy membaik. Bisa jadi, ini semua berkat candaan Tomari yang sengaja dia lakukan untuk memecah kesunyian dan untuk itulah—–walau masih kesal, cewek itu turut merasa berterima kasih.
Judy akhirnya meneguk cokelat hangat yang dibuat Tomari, lantas terbatuk-batuk heboh usai mencicipi, disusul tawa lepas dari Tomari menjadi backsound-nya.
"Ini apa, sih?" tanya Judy dengan nada satu oktaf lebih tinggi.
Tomari meremas sisi perutnya saking hebohnya dia tertawa. Ekspresi tengil tergurat jelas di wajahnya. Jelas, tawanya tidak akan berhenti secepat itu. "Lo lucu banget kalau kesal. Hahahaha... kayaknya malam ini gue bakal mimpi indah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKAN
أدب المراهقين[Berhasil mendapat logo best seller dari Penerbit LovRinz] Please vote if you enjoy 🌟 Genre: School, Teenfiction, Romance, Comedy (60%), Sad (40%) Cover by @hopeless_wipugallerry_initialw Blurb: Mendengar kata 'sempurna', apa tanggapanmu? Sejatinya...