17). Aim The Goals! (2)

29 23 2
                                    

Tidak hanya Genta Harvey yang berusaha mendapatkan rasa percaya diri dengan menurunkan berat badan, Tomari juga berniat untuk meningkatkan prestasi akademisnya di sekolah. Sejak mengetahui seperti apa tipe idaman Jessie, jujur saja dia merasa terpanggil untuk memenuhi standar itu dan beruntung, Judy bersiap sedia untuk mengajarinya.

Lantas, sama seperti Genta yang merasakan sulitnya berdiet pada tahap awal, Tomari juga mendapatkan tantangan yang kurang lebih sama ketika dia diharuskan untuk fokus dalam menyerap materi yang tidak kunjung dipahaminya. Juga, berhubung Judy memiliki watak yang cepat emosi dan suka meledak-ledak, tidak heran dia sering berteriak gegara ketelmian Tomari.

Dari semua orang yang pernah dibimbing Judy, Tomari adalah yang paling payah dalam menyerap materi. Entah sudah berapa kali cewek itu menggeram frustasi di balik kesabarannya yang mendekati ambang batas.

Judy mengetuk sisi kepala Tomari dengan pulpen disusul erangan keras sebagai reaksinya.

"ITAI (SAKIT)! Apaan, sih, lo?" teriak Tomari seraya mengelus kepalanya dengan sayang dan mendelik ke pelaku. "Bisa nggak, sih, nggak usah kasar sama gue?"

"Jangankan dilembutin, dikasarin gini aja otak lo masih nggak bisa nerima materi yang gue ajarin! Ibarat kata bukannya masuk, tapi memental keluar. Paham, nggak?"

Tomari mengeluh kesal. "Kalau IQ lo memang setinggi itu, seharusnya lo bisa, dong, ajarin gue sampai bisa!"

"Yang bener itu, IQ lo terlalu rendah buat bisa nerima pelajaran ini! Gue heran, deh, kok lo bisa naik kelas, sih? Rumus dasar aja masih hancur gini!" Judy misuh-misuh sebelum teringat sesuatu. "Oh, iya. Lo, kan, pernah sekali nggak naik kelas. Nggak heran gue!"

"Apa lo bilang?" pekik Tomari dengan nada terhina. "L-lo!"

"APA?" tantang Judy. "Nyesel gue karena udah dukung lo. Memangnya nggak bisa, ya, lo usaha dikit gimana caranya supaya bisa nangkep materi? Yaaa... minimal hapal rumus dasarnya, kek! Inisiatif, dong, inisiatif! Sebenarnya nggak ada siswa yang bodoh. Yang ada, siswa malas yang mau pinter tapi nggak ada usaha!"

Bisa ditebak yang terjadi selanjutnya adalah mereka berantem. Situasi tersebut bertahan selama kira-kira dua minggu sebelum akhirnya Genta menunjukkan progress dengan terbiasa mengurangi porsi makan tanpa perlu dibujuk atau diperingatkan terlebih dahulu. Sedangkan Tomari yang seakan termotivasi oleh Genta, pada akhirnya berinisiatif ikut membiasakan diri untuk belajar dan rajin bertanya sehingga pada akhirnya turut membuahkan hasil. Prestasinya meningkat bahkan kemampuan menyerap materi sudah lebih baik dari sebelumnya.

Ujian Tengah Semester tidak terasa telah tiba. Untuk pertama kalinya Tomari merasa lebih percaya diri dan dalam hal ini, dia berterima kasih atas jasa Judy meski sisi kepalanya harus kebal oleh benturan pulpen setiap kali melakukan kesalahan.

"Gimana? Lo bisa, kan, ngerjainnya?" tanya Judy suatu sore ketika mereka tidak sengaja berpapapasan di toko serba ada. Setelah membayar di kasir, keduanya membawa serta barang belanjaan dan berjalan bersisian.

Kantong yang dijinjing Tomari hanya berisikan beberapa camilan ringan, sedangkan Judy ternyata membeli bahan mentah yang beratnya tidak sepele, terbukti dari urat yang menonjol di sepanjang lengan bawahnya.

Ketika mereka hendak menyeberang jalan, cowok itu mengambil semua kantong yang dibawa Judy tanpa aba-aba, membuatnya sukses terpaku di tempat.

"Nggak usah, kali, gue bisa bawa sendiri," protes Judy. Tangannya terulur untuk merebut kembali kantong belanjaannya, tetapi Tomari sudah telanjur memperlebar langkah dan dalam waktu singkat, dia berhasil sampai ke seberang. Beruntung, arus lalu lintas sedang dalam situasi sepi.

Judy menyusul. Dari bibir bawahnya yang sengaja dicibirkan, kentara sekali dia takjub akan kepekaan Tomari. Entah disengaja atau tidak, tetapi cowok itu biasanya memperlakukannya seperti pria yang tidak perlu diperhatikan atau dibantu. Insiden tempo hari saja bisa menjelaskan seperti apa perlakuan Tomari ke Judy, yang lebih memprioritaskan belanjaan Jessie padahal isinya hanya camilan.

"Nggak usah sok kuat. Ini jelas berat buat lo bawa," kata Tomari dengan senyum di bibir dan keduanya berjalan lebih pelan sesampainya di mulut gang.

"Tumben diam aja," lanjutnya ketika melihat tatapan Judy tampak seperti melamun. "Jangan bilang lo terpesona sama gue."

Kalimat itu kontan membuat Judy tersadar dan memasang ekspresi galak seperti biasa. "Sori, ya, gue masih waras."

Tomari terkekeh dan tampaknya sangat menikmati situasi ini. "Tapi setidaknya otak gue udah lumayan berbobot, jadi lo nggak bisa lagi menghina tentang gue cuma punya tampang cakep doang, tapi nggak punya otak alias tong kosong nyaring bunyinya. Tadi gue bisa banget ngerjain soal ujiannya dan itu berkat lo. Thanks, ya."

Judy menaikkan sudut bibirnya. "Seperti yang lo bilang, itu udah jadi tugas gue karena tujuan lo dipindahkan itu demi peningkatan nilai-nilai lo. Jadi, nggak usah sungkan, oke?"

"Kalau gitu, anggap aja ini sebagai bentuk balas budi gue," kata Tomari sembari menggerakkan kantong-kantong yang dibawanya, mengisyaratkan bukti atas apa yang dia sebut sebagai balas budi.

Judy mendecakkan lidahnya. "Semerdeka lo, deh, Tom."

Mereka sampai di depan rumah Judy. Cewek itu mengulurkan tangan untuk mengambil kembali kantong belanjaannya, tetapi Tomari mengabaikannya. Tatapannya diarahkan ke sisi jalan di depan, tepatnya menuju rumah Tomari.

Tidak jauh di sana, Jessie sedang berdiri di hadapan dengan seseorang yang terlihat familier.

"Itu bukannya Genta, 'kan?" Judy yang pertama menebak setelah memicingkan matanya. "Tapi ada yang beda dari dia."

Dalam hal ini Tomari setuju karena tidak biasanya dia melihat penampilan Genta yang tanpa kacamata dan rambutnya juga sudah berubah, tepatnya ditata oleh ahli styling—–setidaknya. Karena penasaran, mereka mendekati duo Jessie dan Genta yang kelihatannya sedang mengobrol seru.

"Eh, kalian baru habis belanja, ya?" tanya Jessie berbasa-basi ketika mereka sudah berada dalam jarak pandang.

Genta menoleh ke samping dan ketika Tomari serta Judy melihat penampilan barunya, ekspresi keduanya sama-sama terkejut hingga syok dadakan.

"Bener, kan, yang gue bilang, Ta? Mereka aja hampir nggak ngenalin lo," kata Jessie dengan nada bangga.

Genta Harvey jelas berubah banyak. Meski beberapa hari terakhir ini mereka sudah terbiasa dengan penurunan berat badan Genta yang turun drastis, mereka tidak menyangka jika dia melepas kacamata dan memperbaiki gaya rambut akan membuatnya dua kali lebih mempesona. Pakaiannya juga sudah diganti dengan setelan yang lebih pas di tubuhnya, tidak seperti sebelumnya yang memberi kesan kedodoran seolah-olah mengenakan pakaian orang lain.

"Gila, rupanya lo bisa cakep juga," puji Judy. "Gue yakin besok sekolah pasti bakal gempar. Good job, Bro!"

Jessie mengedipkan sebelah matanya pada Genta ketika mendengar pujian dari Judy, sedangkan Tomari tampak masih tidak percaya dengan penampilan perdana Genta.

"Ini beneran lo, ya, Ta?" tanya Tomari sembari memegang bahu Genta dan menyensornya dari atas ke bawah dengan tatapan kaget seakan dia baru saja kembali dari planet Mars hidup-hidup.

Genta tersenyum. "Gue aja masih nggak percaya kalau ini adalah gue."

"Selamat, Bro! Lo udah berhasil turunin berat badan. Jadi, lo jangan sampai dibuli lagi, ya, sama mereka?"

"Thanks, Tom. Lo juga selamat, ya. Gue denger dari Jessie, lo bisa ngerjain soal ujiannya dengan lancar. Akhirnya lo bisa tingkatkan nilai lo."

Genta juga mengedipkan sebelah mata penuh arti pada Jessie di sampingnya, yang dibalas dengan senyuman manis hingga terkesan malu-malu.

Bersambung

Perfect Siblings [END] | PERNAH DITERBITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang