HMT 7 - Trauma

4.3K 160 2
                                    

Pagi itu Alice sedang memasukkan beberapa buku sekolah ke dalam tas sekolahnya. Matanya masih sembab akibat menangis semalaman.

Benar, sudah dua hari berlalu sejak kejadian itu, Alice baru akan masuk sekolah lagi. Dan Martin masih belum tahu hal ini. Alice masih enggan bercerita pasal perbuatan bejat Devan padanya.

Jangankan mau bicara dari hati ke hati, sudah dua hari ini Martin selalu membuang wajahnya pada Alice. Entah apa lagi yang sudah membuat Martin tak mau melihat wajahnya lagi. Alice hanya berusaha kuat untuk memikul bebannya sendiri.

Awalnya dia ingin bercerita pada Pingkan. Akan tetapi, setelah dipikir lagi Alice merasa malu pada pacar kakaknya itu. Dan dia tak ingin Pingkan akan ribut lagi dengan Martin nantinya. Alice memilih untuk menyimpannya sendiri.

"Lepasin aku, Kak! Biarin aku mati aja! Aku nggak mau hidup lagi!" Alice meronta pada Pingkan dengan histeris.

Pingkan masih kurang paham, dengan ucapan Alice. Namun dia langsung memeluknya erat.

Alice menghela napas mengingat kejadian malam laknak itu. Pingkan yang menolongnya, dan mengangkat tubuhnya dari bathtub.

Kenapa dia tidak mati saja saat itu? Alice meremas buku yang dipegangnya sekuat tenaga. Dia benci pada pemuda bejat yang sudah merenggut kesuciannya itu. Namun dirinya tidak berdaya.

Alice segera menyeka kedua pipinya yang basah dengan kasar. Tidak!
Dia harus kuat.

Setelah semuanya sudah beres, Alice segera melangkah keluar kamar sambil menggendong tas sekolahnya. Dia segera mengusap kedua pipinya saat mendapati Pingkan yang sedang duduk berdua dengan Martin di ruang tamu.

"Alice, kamu mau berangkat sekolah, ya?" tanya Pingkan yang langsung bangkit dari sofa dan segera menghampirinya.

"Iya, Kak."

Alice menjawab seadanya saja karena dia tak ingin berlama-lama bersama Pingkan. Sedangkan Martin tampak menatapnya dengan jengah.

"Kakak antar, ya?" tawaran Pingkan sambil meraih lengan gadis belia di hadapannya.

Alice melempar pandangan ke arah Martin yang sedang memalingkan wajah darinya.

"Nggak usah, Kak. Aku naik anggkot aja." Alice lebih memilih pergi daripada melihat tatapan Martin yang sangat menyayat hatinya. Apa lagi salahnya? Kenapa Martin seperti sangat membencinya.

"Loh kok naik angkot, sih? Kakak antar aja, ya?" kukuh Pingkan yang merasa khawatir jika Alice menaiki angkutan umum, mengingat banyak kasus asusila yang sedang marak terjadi.

"Nggak usah, Kak. Permisi." Alice memutuskan untuk segera pergi karena dia sangat sesak dengan respon Martin padanya.

"Alice!"

Pingkan memanggilnya, tapi Alice tetap melanjutkan langkahnya dengan cepat meninggalkan rumah Martin. Dia kembali mengusap kedua pipinya yang mulai basah lagi.

Sad!

Hatinya sangat sakit sekarang.
Kenapa saat dia butuh seseorang justru Martin tak pernah peduli padanya sama sekali. Ya, dia harus sadar jika dia memang sendiri.
Hanya sendiri!

Alice masih berjalan menyusuri jalan komplek menuju jalan besar di mana dia bisa mendapatkan angkutan umum untuk mengantarnya ke sekolah.

"Alice!"

Terdengar suara seorang pemuda dari arah belakang. Alice menoleh secara langsung dan melihat seorang cowok berseragam sekolah SMA Gumilang High School sedang menaiki motor sport warna merah.

Galang?

"Alice, kamu kok jalan kaki? Berangkat bareng yuk!" ajak Galang usai membuka helm-nya dan menepi di depan gadis manis itu.

HOLD METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang