HMT 13 - Kesedihan Di Musim Hujan

2.1K 121 2
                                    

Saat itu pukul enam pagi, saat Alice menarik kenop pintu kamarnya dari luar. Dia sudah rapi dengan seragam sekolahnya dan tas ransel di punggung.

Alice berjalan seraya menyapu pandangannya mencari sosok lelaki yang biasa memarahinya. Ya, Martin. Dimana dia? Alice tak punya uang sepeser pun untuk menaiki kendaraan umun yang akan mengantarnya ke sekolah.

Namun sepertinya kali ini dia harus berjalan kaki lagi sampai ke sekolah. Martin tidak ada, mungkin sudah berangkat kuliah. Alice menghembuskan napas kasar, lantas melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.

Mata Alice berbinar saat melihat Martin berada di halaman. Lelaki itu sedang mencuci mobilnya. Dia tampak gagah dengan kaus putih oblong dan celana boxernya saja.

Alice mulai berpikir, bagaimana caranya agar dia bisa mendapat uang dari Martin. Tak apa meski sedikit, asalkan dia bisa menaiki angkot untuk menuju sekolahnya.

Meski ragu Alice memberanikan diri untuk maju. Menghampiri Martin yang sedang mencondongkan tubuhnya sembari membersihkan bagian dalam mobil.

"Hm, Kak Martin," ucap Alice sangat pelan namun penuh tekad.

Tapi Martin tidak menoleh apalagi menyahut padanya. Lelaki itu tampak acuh dan sibuk sendiri. Alice menelan ludahnya. Dia tak sanggup bila harus berjalan kaki lagi ke sekolah.

"Kak Martin," ucapnya lagi. Kali ini cukup lirih dan menekan, karena gedeg dengan sikap kakaknya itu yang pura-pura tidak mendengar.

"Apa?" Akhirnya Martin bersuara juga.

Alice mengulas senyum. Dia mulai berkata lagi, "Aku mau berangkat ke sekolah, Kak," tukasnya dengan nada agak memancing, berharap Martin mengerti maksudnya.

"Yaudah, sana." Martin berkata tanpa menoleh dan tetap asik dengan pekerjaannya.

Alice memejamkan matanya menahan emosi. Mengapa Martin tidak peka juga? Dia tak mungkin jalan kaki lagi ke sekolah, bahkan sekarang pun lututnya terasa sangat lemas.

"Kak, aku boleh nggak, minta onggkos buat naik angkot?" Terpaksa Alice melontarkan maksudnya. Tidak ada pilihan lagi. Dia tak mau jalan kaki lagi.

Martin menghentikan aktivitasnya sejenak, lantas dia menoleh pada gadis yang sedari tadi berdiri di belakangnya itu. Wajah sinis segera dipasangnya.

"Jadi lo mau minta ongkos sama gue?" tanya Martin dengan nada sinis.

Alice mengangguk satu kali.

"Enak banget mau minta duit sama gue. Emangnya gue siapa lo?" ucapan Martin membuat Alice terdiam mematung di tempat.

Dahinya berpeluh dingin. Lelaki di depannya itu sedang menegaskan bahwa mereka tak ada hubungan apa pun. Hati Alice sangat sakit mendengarnya.

"Kalo lo mau duit, lo mesti kerja! Ngerti lo?!" Martin berkata ke wajah Alice dengan tatapan yang sangat menusuk.

Alice bergetar hebat, tangannya mengepal kuat. Dan air matanya pun mulai berjatuhan. Martin tersenyum sinis dan segera pergi. Mau menangis sampai keluar darah pun Martin tak akan peduli. Itu kenyataannya.

Fuuh ...

Alice menghela napas berusaha menetralkan emosinya. Dia segera mengusap kedua pipinya dengan kasar. Lantas mulai melanjutkan langkahnya menuju gerbang rumah Martin.

Benar, dia hanya sendiri. Lantas kenapa dia masih berharap pada Martin? Dia bukan kakak kamu Alice! Sadar! Alice menasehati dirinya sendiri sambil berjalan cepat menuju sekolahnya.

"Hai, Alice!"

Suara Galang yang sudah menepikan motornya di depan Alice. Gadis itu segera menoleh ke kanan dan ke kiri seperti sedang memastikan sesuatu.

HOLD METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang