HMT 19 - Ada Apa Dengan Martin

1.7K 97 1
                                    

Saat itu pukul tiga sore. Alice tengah bersiap di kamarnya. Benar, ini hari pertamanya bekerja paruh waktu di cafe Tante Dona.

Dia tak ingin terlambat datang ke sana, dan dia sangat senang bisa bekerja. Dia bisa punya uang sendiri tanpa harus mengemis lagi pada Martin.

Meski hanya bekerja paruh waktu saja, tapi Tante Dona memberinya upah yang lumayan besar tiap minggunya. Cukuplah untuk membayar uang sekolah dan menunjang kebutuhannya sehari-hari.

Baiklah, Alice segera meraih tas slempang kecilnya. Martin masih belum pulang, tapi dia harus segera berangkat.

Akhir-akhir ini kakaknya itu memang sangat jarang di rumah. Bahkan Alice mulai merindukan lelaki jangkung itu. Martin selalu mengomel padanya, tapi Alice tetap menyayanginya.

Setelah turun dari ojek online, Alice segera berjalan cepat memasuki cafe yang tampak baru saja mau buka. Dia melihat beberapa pelayan cafe lainnya yang sedang berbenah dan siap-siap. Alice segera menaruh tasnya dan bergabung dengan mereka.

"Alice, kamu sudah datang?" Dona langsung menghampiri Alice yang sudah mengenakan seragam cafe. Berupa kaus hitam jenis polo dengan rok pendek warna senada.

"Iya Tante," balas Alice sambil tersenyum.

"Kamu udah makan?" tanya Dona lagi.

Alice menggeleng. Dia memang belum makan apa pun, bahkan dari pagi tadi. Dona menatapnya simpati.
"Ya ampun, lebih baik kamu makan dulu sebelum bekerja. Nanti kena magh lho!" lanjut Dona panik

"Nggak pa-pa kok, Tante. Aku udah biasa," jawab Alice.
Dona tersentuh mendengarnya. Astaga, kasian sekali gadis ini, bathinnya.

"Alice, kamu makan dulu yuk!" ajak Dona sembari meraih lengan Alice.

"Nggak usah, Tante."

Alice tak enak hati pada pelayan cafe lainnya. Dia takut mereka akan berpikir buruk tentangnya seperti kebanyakan yang terjadi di lingkungan para pekerja.
Dona tersenyum, dia mengerti perasaan Alice.

"Baiklah, Tante ke dalam dulu ya!" tukas Dona.

Alice menganguk sambil tersenyum. Dona segera pergi, dan Alice mulai bekerja. Melayani para tamu yang mulai memadati bangku-bangku di sana.

Galang yang kebetulan memasuki cafe dimana Alice bekerja pada sore itu, tak sengaja melihat Alice yang sedang melayani para tamu.

Dia tidak ingin berkedip melihat gadis manis itu. Meski dengan stelan seragam pelayan begitu, namun Alice tampak sangat menarik seperti biasanya.

"Alice, kamu kerja di sini?" tanya Galang saat Alice menghampiri mejanya.

Gadis itu tersenyum padanya sembari menyodorkan buku menu. "Iya, Lang. Kamu mau pesan apa?"

"Sejak kapan? Aku sering lho kesini, tapi baru sekarang lihat kamu," tukas Galang lagi agak berbohong. Karena sebenarnya dia jarang datang ke cafe itu. Ini saja karena temannya yang bernama Robi ingin mentraktirnya. Makanya dia datang ke cafe yang cukup elit itu.

"Baru hari ini. Mau pesan apa?" jawab Alice. Dia tak ingin berlama-lama bersama Galang, dia tak enak hati pada rekan kerjanya yang lain.

"Oh. Aku pesan cream espresso aja," jawab Galang sambil tersenyum.
Alice membalas senyum kemudian dia segera meraih buku menu dan hendak pergi. Namun Galang berdiri menahannya.

"Alice, bisa nggak nanti kita ngobrol sebentar?" tukas Galang sambil menatap wajah cantik di depannya itu.

"Maaf, Galang. Kayaknya nggak bisa, aku ke sana dulu, ya!" Alice segera pergi. Dia tak ingin mencari masalah baru dengan mengikuti keinginan Galang. Bisa saja Devan melihatnya nanti, dan itu pasti akan sangat buruk.

Galang kembali duduk, dia agak kecewa karena Alice lagi-lagi menolaknya. Ada apa sebenarnya dengan gadis itu? Apa benar dugaannya, kalau Alice memang berpacaran dengan Devan? Entahlah, Galang sangat pusing memikirkan itu.

Di Meja lainnya yang agak jauh dari Galang, tampak Gery sedang duduk sendiri sambil menikmati minumannya.

Dia sengaja datang ke cafe itu untuk memastikan gerak-gerik Alice. Ya, seperti perintah Devan. Bahkan dia sudah mengambil foto dimana Galang menghadang Alice tadi. Dia harus mengirim gambar itu sesuai perintah Tuannya.

Hari mulai malam. Alice dan para pekerja cafe lainnya sedang bersiap untuk pulang. Dia ingin segera pulang karena tubuhnya sangat pegal-pegal dan lelah.

Wajar saja. Dia tak pernah menggerakkan tubuhnya untuk melakukan hal-hal yang berat, apa lagi bekerja begini. Alice sangat kelelahan. Namun dia harus bertahan demi bisa mendapatkan uang.

Sepatu flatsoes warna putih sudah ia kenakan. Alice melangkah meninggalkan cafe untuk mencegat ojek online yang dipesannya. Namun tiba-tiba saja Galang datang dengan motor balapnya. Menepi di depan Alice sembari membuka helmnya.

"Aku antar kamu pulang, ya?" ajak Galang penuh harap sambil menatap Alice.

"Nggak usah, Lang. Aku udah pesan ojol kok!" sargah Alice. Dia benar-benar kerepotan setiap kali Galang muncul.

"Ayolah, sekali ini aja. Please ...," rajuk Galang sambil melipat kedua telapak tangannya memohon.

"Nggak usah Lang, beneran." Alice masih menolak.
Galang tampak lesu.

Dari balik rindangnya pohon bunga Bugenvile tampak Gery sedang berdiri sambil memperhatikan Alice dan Galang.

Rupanya Gery masih belum pulang untuk memastikan apakah Alice akan pulang dengan Galang atau tidak. Karena sedari tadi dia melihat Galang yang tak juga meninggalkan cafe.

Benar dugaannya, Galang memang ingin mengantar Alice pulang. Tentu saja ini bisa membuat Devan marah. Meski dia tak tahu apa alasannya. Pokonya dia harus memastikan bila Alice tidak pulang dengan Galang malam ini.

"Maaf, Galang. Aku pulang duluan," tukas Alice yang segera menaiki ojek online yang menepi di depannya.

Galang hanya terdiam dalam kecewanya. Alice segera berlalu meninggalkan area cafe juga seorang lelaki yang masih berdiri di samping motornya. Syukurlah, dia bisa pulang tanpa harus diantar oleh Galang.

Gery tersenyum puas dan segera pergi meninggalkan lokasi.

Setibanya di rumah Alice melihat Martin yang tampak sedang duduk di bangku rotan yang ada di tepi jendela teras. Lelaki itu tampak sedang gelisah. Alice merasa cemas, dia langsung mengayunkan langkahnya menuju pada lelaki dengan kaus hitam itu.

"Kak Martin," sapa Alice yang sudah berdiri di samping Martin.
Lelaki itu tak menoleh apa lagi menjawabnya.

Alice sudah terbiasa dengan sikap dingin kakaknya itu. Tapi dia tak bisa membiarkan Martin tampak dilema seorang diri.

"Kak Martin kenapa?" tanya Alice dengan perasaan was-was kalaulah Martin akan bangkit dan membentaknya seperti biasanya.

Tapi tidak kali ini, Martin tetap diam seribu bahasa bagai seorang tunarungu. Alice semakin cemas padanya. Dia memberanikan diri untuk menyentuh bahu kakaknya itu.

"Kak," ucapnya pelan

Martin menepis tangan Alice dari bahunya, dan lelaki itu segera bangkit. Tanpa berkata apapun, dan hanya memasang wajah sebalnya.
Martin bergegas memasuki rumah.

Persetan dengan Alice yang masih berdiri mematung di teras. Ada apa ini? Kenapa Martin tampak sedih? Alice hanya bertanya-tanya dalam hatinya. Namun tak juga menemukan jawabannya.

Setibanya di kamar Martin membanting tubuhnya ke atas ranjang. Dia mengusap wajahnya dengan cemas. Ucapan Pingkan tadi sungguh membuatnya gelisah dan ini semua karena Alice.

Ya, anak haram ayahnya itu sungguh membuat hidupnya sial! Sudah bagus dia mau menampung hasil perbuatan buruk ayahnya itu. Tapi apa yang dia dapat?

Sekarang Pingkan justru malah marah padanya. Memangnya kenapa jika dia menjual Alice atau apalah, toh Alice hanya anak istri kedua ayahnya saja, bukan?

Bukan adiknya!

Martin menegaskan perasaannya sendiri. Sungguh dia sangat membenci Alice.

HOLD METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang