Prolog

44.2K 5.3K 2.2K
                                    

-Dio Adhinatha-

"Peringkat pertama? Gue udah bilang kan kalau lo harus bisa berada dibawah gue, Dio. Lo mau mempermalukan gue di depan Keluarga Besar, kita?"

Dio-- pemuda tampan itu mengusap wajahnya frustasi. Ia menatap sang Kakak Laki-laki dihadapannya dengan rumit. "Apa yang salah sih, Kak? Harusnya lo bangga kan kalau gue peringkat pertama?"

"Dimana-mana, seorang kakak ingin adiknya sukses! Bukan malah mau ngejatuhin kayak gini."

Pemuda yang lebih tua setahun dari Dio itu menatap sang adik dengan tajam. Ia tak suka tentang perkataannya barusan. "Harusnya lo ngerti posisi gue! Gue gak sepinter lo, Dio! Semua saudara-- bahkan Kakek selalu bandingin gue sama lo dan gue gak suka itu!"

"Dan sebagai seorang adik-- harusnya lo ngalah. Karna pada akhirnya nanti gue yang akan ngurusin perusahaan Papa."

"Ambil, Kak Dewa! Ambil!" sentak Dio keras. "Gue gak peduli soal Perusahaan atau warisan apapun! Gue cuma mau lo hargai pencapaian gue! Ini kemampuan gue-- harusnya lo bangga!"

Dewa menatap Dio dengan tajam. Tak peduli bahwa seseorang di depannya ini adalah adiknya sendiri. "Gue akan hargai pencapaian lo-- kalau lo bisa dibawah gue!" tekannya lantas pergi begitu saja.

Dio mengacak rambutnya frustasi. Mengapa ia ditekan seperti ini?!

"Lo egois, Kak. Lo mau gue ngalah supaya gue terlihat bodoh-- dan dibandingkan, begitu?"

****

-AdiBara-

"Bang? Lo beneran gak mau hadir di acara ulang tahun Papa?"

Bara menoleh menatap adiknya-- Nevan dengan sekilas. Lantas ia kembali memasukkan beberapa barang yang akan ia bawa ke Apartementnya. "Lo mau gue dihina dan diusir lagi kayak tahun lalu?"

"Tapi Bang--"

"Gak, Nevan." Bara menyela cepat. "Gue bukan siapa-siapa disini, jadi siapa yang ngarepin gue dateng?"

"Papa!"

Bara tertawa hambar. "Gila lo!"

Nevan berdecak. Pemuda itu menyusul Bara yang telah berlalu keluar dan menuruni tangga.

"Bang, gue serius! Lo bagian keluarga ini jadi orang-orang harus tau! Lo gak bisa sembunyi terus kayak gini, Bang! Bahkan lo juga gak mau nyandang nama keluarga kita!"

"Diam Nevan! Napa lo jadi berisik gini sih! Kayak cewek tau gak?!"

"Ya makanya nanti lo hadir--"

"Ada apa ini? Nevan, kenapa belum siap? Nanti kita terlambat."

Keduanya menoleh mendengar suara berat itu. Mereka menatap Pria paruh baya yang kini melihat keduanya dengan bingung.

Bara berdecak. Melirik Pria disebelahnya itu sesaat lalu kembali menatap Nevan. "Tuh, lo dengar kan?! Jangan terlambat." tekan Bara pada adiknya.

"Kalau gue dateng, bisa-bisa kue sepotong disuruh bayar lagi. Buang-buang duit aja!"

****

-Andra Adira-

"Andra? Kamu belum pulang?"

Andra menoleh sejenak. Pemuda bergigi kelinci itu menggeleng dengan kunyahan di dalam mulutnya.

"Ehh-- jangan dibawa semua wortelnya, Ibu!" tegur wanita itu menggelengkan kepalanya. Sudah biasa memang.

"Pulang, gih."

"Ibu usir, Andra?"

Wanita itu menggeleng. Tangannya mengusap pelan rambut Andra. "Bukan gitu, nak. Tapi kamu udah nginep disini selama seminggu. Kamu gak kangen Mama sama Papa? Nanti mereka nyariin."

LISTENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang