TRASH ― Story : Side Story Of Pinocchio (1)

560 73 5
                                    

TRASH ― Story : Side Story Of Pinocchio (1)

.

.

[p.s : ini setting cerita pas setelah kejadian di kantor, yaa...]

Chimon terdiam―matanya hampir tidak berkedip memperhatikan bagaimana senyum Marc yang terus mengembang ketika berbicara dengan bayi Samuel.

Nafasnya terus terhela berat, entah kenapa perasaannya semakin memburuk setiap ia mengingat bagaimana Nanon memarahi Marc-nya tadi di kantor.

"Bayi Mueeeeel~ kalau sudah besar, bayi Muel jangan nakal. Kalau nakal, nanti seperti Marc, di marahi daddy, loh..."

Jagoan Kirdpan itu terus berkata hal yang sama, sementara respon bayi kecil Ohm Pawat itu juga tetap sama; hanya mengedipkan mata dan sesekali menguap.

Chimon tersenyum kecil. "First... kau tahu bagaimana sakit hati yang sesungguhnya saat kau sudah memiliki bayi kecil?" Satu pertanyaan ia layangkan pada First, ibu dari Samuel.

First menatap Chimon bingung. "Apa?"

"Ketika kau melihat suamimu membentak dan memarahi anakmu, kau akan merasakan sakit hati yang sesungguhnya." Chimon tidak mengalihkan pandangannya dari Marc yang masih sibuk mengobrol dengan Samuel. "...itu yang sudah Nanon lakukan pada Marc, sampai jagoanku takut untuk pulang ke rumah dan melihat ayahnya sendiri."

Lelaki Phuket itu diam mendengarkan. Ia merasa harus melakukan itu, untuk membuat Chimon merasa lebih baik. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.

"Sejak Marc lahir, Nanon tidak pernah memarahinya seperti tadi, apalagi sampai membentak dan menunjuk tepat pada wajahnya. Aku pikir, meskipun Marc adalah anak nakal yang tidak mau diam, Nanon tidak harus melakukan itu..." Kedua mata Chimon terasa panas seketika. Ia memilih untuk mendongak, menahan air matanya agar tidak jatuh saat itu juga. "...aku jadi merasa jika Marc bukanlah apa-apa untuk Nanon."

"Chimon, jangan berkata yang tidak-tidak!" First tampak terkejut atas cerita Chimon. "Nanon mungkin hanya sedang emosi, dia tidak mungkin menomor-duakan kau dan Marc."

"Tapi buktinya apa? Dia sudah berjanji untuk tidak memarahi Marc, dan dia malah melakukannya lebih dari sekedar memarahi."

First tidak tahu harus berkata apa untuk bisa membuat Chimon merasa lebih baik. Jadi, ia membawa Chimon untuk di dekap sebentar sekedar menenangkan. "Kau hanya sedang banyak pikiran jadi kau mengira Nanon tidak menyayangi Marc." Ia berkata lembut seraya mengelus punggung Chimon, membiarkannya menangis di bahunya tanpa suara. "Tenangkan dirimu, Chimon... karena jagoanmu sedang melihat ibunya menangis―"

"Mommy..."

Belum sempat Chimon menghapus air matanya dan pura-pura tersenyum, ia sudah melihat Marc berada di dekatnya dengan ekspresi yang tidak bisa Chimon tebak. Dengan cepat ia menghapus air matanya dan berkata, "Ada apa, hm? Jagoannya Mommy ingin apa?"

"Bayi Muel tidur..."

Bisa Chimon dan First lihat si bayi itu memang tengah memejamkan mata. Entah bagaimana caranya Samuel bisa tertidur tanpa meminum susu padahal sedari tadi Marc tidak berhenti bicara dan terus berisik.

"...mommy kenapa?" Suara Marc terdengar bergetar setelahnya. Dua tangan kecilnya terangkat, menyentuh pipi ibunya dan mengusapnya untuk menghapus sisa air mata disana. "Mommy jangan menangis."

Ya ampun, betapa Chimon sangat merasa bersalah saat ini. Marc Pahun-nya, jagoannya memang anak nakal, tapi melihat ia di bentak oleh orang lain ataupun oleh Nanon rasanya ia tidak akan pernah rela. Wajar, kan, jika Chimon merasa seperti itu? Ia adalah ibunya Marc!

"Tidak, mommy tidak menangis, kok." Chimon berbohong. Ia tersenyum lebar demi menutupi kesedihannya. "Mommy hanya kelilipan."

Chimon menggerakkan tangan untuk mengambil tangan kecil jagoannya yang masih setia mengusap pipinya dengan lembut. Ia genggam tangan itu penuh kehangatan dan berkata, "Marc anak baik... Marc kesayangan momny... Marc yang tidak boleh menangis, ya?"

Anak itu mengangguk saja. "Tapi... Marc tidak mau pulang..." Ucapnya lirih.

First seperti merasakan apa yang Chimon rasakan saat ini. Ia tidak akan bisa membayangkan jika suatu saat Samuel akan mengatakan hal yang sama; tidak ingin pulang ke rumah setelah di marahi oleh ayahnya sendiri. Itu terdengar menyakitkan.

"Kenapa? Di rumah tidak ada siapa-siapa."

Marc menggelengkan kepala. Ia melompat untuk masuk ke pangkuan ibunya dan berlindung disana. "Marc takut daddy. Marc tidak mau pulang ke rumah..."

Chimon diam.

"...Marc anak nakal. Daddy marah sama Marc. Marc tidak mau pulang."

Dan anak itu terus menggumamkan hal yang sama sampai ia lelah, kemudian tertidur lelap.

"Kau tidak memberitahu Ohm kalau aku dan Marc ada disini, kan?" Chimon menoleh, menatap First yang masih dalam posisinya. "Aku bilang padanya kalau aku akan pulang ke rumah."

Istri Ohm Pawat itu tersenyum merasa bersalah. "Maafkan aku, Chimon."

Ibu dari Marc Pahun itu menghela nafas panjang. Jika First sudah memberitahu Ohm tentang keberadaannya, tidak menutup kemungkinan jika Ohm juga akan memberitahu Nanon. Dan...

"Nanon sedang dalam perjalanan kemari untuk menjemput kalian."

...ini yang sedang Chimon hindari sekarang.

.

.

.

Dan benar saja, Nanon datang limabelas menit kemudian.

Di depan First, Chimon mencoba untuk baik-baik saja. Ia terlihat biasa saja pada Nanon, seraya menggendong Marc yang tertidur, Chimon berpamitan pada First dan bayi Samuel.

Tapi di dalam mobil selama perjalanan, keheningan benar-benar tidak bisa di pungkiri. Nanon canggung untuk mengangkat pembicaraan, sementara Chimon tampak menghindari kontak apapun dengan suaminya itu.

Sampai mobil mereka tiba di garasi rumah pun, keduanya tetap diam.

Nanon mematikan mesin dan segera meraih satu tangan Chimon untuk ia genggam sebelum istrinya itu keluar dari mobil.

"Apa?"

Nanon membuang nafas panjang mendengar nada bicara Chimon yang sangat jelas akan kemarahan. "Biar aku yang membawa Marc ke kamarnya." Ucapnya lembut, berusaha memberi penawaran.

"Dia takut padamu." Masih dengan nada yang sama Chimon menjawab. "Jadi lepaskan tanganmu dan biarkan aku menidurkannya di rumah."

Tidak ada yang bisa Nanon lakukan selain melepaskan tangan Chimon dan membiarkannya masuk ke dalam rumah sambil membawa Marc yang masih tertidur.

Satu penyesalan merasuki diri Nanon―bahkan ia menyadarinya sejak masih di kantor, dimana ia menunjuk wajah anaknya sendiri dan memarahinya sampai menangis.

"Maaf."

.

.

.

.

Next?

The Little Prince [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang