LM : 27

867 119 21
                                    

“Beberapa hari yang lalu, teman Om memberitahu kalau Daejung sudah kembali ke sini.”

Taehyung tengah duduk di bangku taman belakang yang disirami sinar rembulan, memisahkan diri dari orang-orang yang datang pada jamuan makan malam yang diadakan sebulan sekali kala sosok pria dewasa yang dikenalnya menghampiri. Lelaki itu tersenyum samar, tak membutuhkan izin untuk duduk di samping Taehyung sembari menyerahkan sekaleng minuman yang disambut baik Taehyung.

“Dia sekolah di Angkasa High School. Kamu tahu hal itu?”

Taehyung mengangguk. “Seminggu yang lalu, saya sama Daejung bahkan udah tanding Sepak Bola di AHS.”

“Oh, ya?” Pria itu membelalak kaget. “Wah, berarti di sini saya yang terlambat mengetahui.”

Taehyung tersenyum tipis, merespon ringan pada pria itu. Beliau bernama Yoon Sungmin, tangan kanan sekaligus sahabat dari mendiang ayahnya. Orang yang selalu menemani ayah dari nol bahkan sampai ayah menduduki jabatan tertinggi di Kepolisian. Meski dua tahun lebih muda dari sang ayah, lelaki yang acapkali dia panggil ‘om’ itu punya pembawaan santai dan nyaman saat diajak bicara. Berbeda dengan mendiang ayah Taehyung yang menurunkan sifat kaku namun memiliki sifat hangat pada keluarganya.

“Kalian baik-baik saja, kan?” tanya lelaki itu lagi. “Kamu pasti tahu maksud Om. Atau kalian malah---”

Selain pada malam dimana keduanya pertama kali bertemu, “Saya dan Daejung baik-baik aja.” jawab Taehyung kemudian. Sejak Taehyung membalikkan kata-kata Daejung di AHS, Daejung tak menunjukkan tanda-tanda akan melakukan apa yang selama ini diucapkannya.

“Kamu yakin?”

“Dia cuma ngasih ancaman aja.”

“Kamu tahu kenapa dia begitu? Karena dia masih marah. Masih belum bisa menerima kenyataan kalau penyebab abangnya ditangkap itu ya karena kesalahan abangnya sendiri, bukan karena kamu yang membocorkan seperti apa yang Daejung katakan.” tutur Sungmin tegas. “Bagaimana dengan Heejin? Apa dia baik-baik saja seperti yang Om lihat malam ini?”

Kali ini, Taehyung tak menjawab sama sekali.

“Kenapa? Ada hal yang kamu pikirkan?”

“Heejin selalu ngomong kalau dia udah baik-baik aja ke saya. Apa menurut Om itu benar?” tanya Taehyung seraya menoleh, menatap pada sosok Sungmin yang menaruh atensi padanya. “Om tau kalau trauma yang Heejin alami nggak ringan. Saya cuma ... nggak yakin Heejin udah sepenuhnya baik-baik saja.”

“Terlepas dari benar atau nggaknya, kita harus percaya sama apa yang Heejin katakan saat ini. Terutama kamu. Kamu harus percaya sama dia.” ujar Sungmin sembari menepuk pelan bahu Taehyung. “Oke, begini saja. Soal Heejin, biar Om yang urus. Kamu hanya perlu menemani dia saja. Jangan larang atau batasi geraknya, karena pada dasarnya Heejin itu anaknya bebas, nggak suka dilarang-larang.”

Taehyung tidak yakin dia bisa menurut pada opsi terakhir.

“Kamu sendiri bagaimana? Are you okay?

“Saya baik-baik aja.” Taehyung berbohong.

“Nggak ada hal lain yang mengganggu kamu, kan?”

“Nggak ada, Om.” Lagi, Taehyung tidak jujur.

“Sekolah kamu gimana? Lancar? Ada cewek yang disukai, nggak?”

“Lancar, Om.”

“Pertanyaan terakhir Om nggak dijawab?”

Sudut bibir Taehyung tertarik sedikit. “Saya pengecut, Om.”

“Lho, kenapa gitu? Apa yang kamu takutkan?”

“Saya nggak mau dia dijadikan target sama orang-orang yang masih dendam sama saya.”

“Tapi Om yakin kalau kamu nggak bakalan biarin mereka nyakitin orang yang kamu sayang, kan?” tanya Sungmin lagi. “Kamu udah kasih tau cewek itu kalau kamu sayang sama dia?”

Taehyung menggeleng kaku, mendadak malu.

“Lho, belum? Oke, dengar baik-baik apa yang Om bilang. Kalau kita suka sama orang, sayang sama dia, usahakan utarain perasaan kamu. Bilang kalau kamu suka sama dia, sayang sama dia.”

Taehyung tahu itu, hanya saja, “Dia udah punya gebetan, Om.” Taehyung terkekeh. “Udah, nggak usah dibahas lagi.”

“Masih gebetan, kan? Mendung belum tentu hujan. Gebetan belum tentu sampai jadian. Tahu peribahasa yang sering anak muda katakan itu?” Begitu Taehyung mengangguk, Sungmin melanjutkan, “Paling tidak, dia tahu kalau selain gebetannya, ada orang lain yang sayang sama dia. Atau, kamu takut ditolak?”

Taehyung tersenyum tipis.

“Kayak kamu pernah ditolak?”

“Om nggak percaya?”

“Lho, beneran ditolak, toh? Sama siapa? Om kenal nggak sama yang nolak kamu?”

“Ada lah, Om.”

Sungmin geleng-geleng kepala. “Ya sudah, ambil singkatnya aja. Ditolak sehabis nyatain perasaan itu lebih baik dibanding tidak ngungkapin sama sekali. Kamu pasti tahu karena sudah pernah merasakannya. Setidaknya kamu sudah jujur, hati kamu ngerasa plong dan nggak berujung pada penyesalan. Kalau kamu benar-benar sayang sama dia, kamu harus berani ngelawan apa yang kamu takuti dan ambil dia dengan penuh keberanian.”

“Om berpengalaman banget kayaknya.”

“Kebaca, ya?” Sungmin tergelak. “Tapi didengarkan lho petuah Om. Kamu nggak bakalan rugi.”

Taehyung mengangguk.

“Atau mau sama anak Om yang paling kecil?”

“Jaehwa maksud Om? Jaehwa masih 3 tahun Om umurnya.”

“Mana tahu kamu mau nunggu.” Sungmin membentang senyum, lantas menepuk-nepuk bahu Taehyung beberapa kali. Melihat kecemasan masih tampak di mata Taehyung, sorot mata pria dewasa itu menatap dalam kala berujar, “Taehyung, terlepas dari amanah mendiang ayah kamu yang meminta Om untuk menjaga kamu dan Heejin, Om juga sayang sama kamu dan Heejin seperti anak Om sendiri. Kamu harus ingat ya, kalau kamu itu berharga dan tidak salah. Jangan pernah salahkan diri sendiri. Kalau ada apa-apa, bilang pada Om. Kasih tahu. Jangan dipendam sendiri. Boleh Om minta itu sama kamu?”

Sesaat, Taehyung tertegun dalam diamnya. Kelebatan bayangan mengenai ayahnya melintas kala Taehyung melihat lelaki dewasa yang akrab di mata sejak dirinya kecil itu. Rekaman kejadian yang telah berubah menjadi kenangan akan apa yang biasa Taehyung dan sang ayah lakukan ikut menghampiri, membuat napasnya sedikit tercekat dan dada yang terasa penuh.

Taehyung ... rindu sang ayah.

Love Maze | VSOOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang