3 : Motif

1.2K 286 177
                                    

Motif : Gambaran bentuk yang merupakan sifat dan corak suatu perwujudan --- ibarat gambaran perasaan.
.
.
.

Semilir angin menerpa wajah cantik dengan pipi halus kemerahan---bukan karena efek blush on ---akan tetapi karena pertemuan tak terduga dengan laki-laki yang pernah menawan hati. Inara Malika tersenyum sendiri, mengingat obrolan singkat dengan Kainan, walau hanya sejenak, mampu membuat gelenyar aneh di hati kembali mencuat. Apalagi saat kupingnya mendengar sendiri penuturan Kainan, bahwa laki-laki itu tidak jadi menikah dengan Dyah. Makin berisik rasanya jantung Inara.

Duduk di office kafe, Inara bahkan tidak menyadari kedatangan Mbak Hanim- sepupunya. Mbak Hanim adalah pemilik kafe yang saat ini dikelola berdua dengan sepupunya, Inara.

Perempuan dengan perut buncit ala-ala baby bumb karena sedang hamil tujuh bulan itu langsung menghampiri tempat adik sepupunya--- yang duduk sembari menatap awang-awang serta rahangnya tertarik membentuk senyum tipis.

" Hei, guyah-guyuh Dewe, Lapo koen, Cyak?" Sapaan--atau lebih tepatnya sebuah interupsi menggunakan dialek bahasa Jawa timuran sudah menjadi kebiasaan Mbak Hanim. Satu tangannya menyambar lengan Inara, menampar tangan sepupunya itu pelan---tapi mampu membuat Inara terpekik kaget.

"Mbak Hanim iki, kaget lho aku!" Protes Inara. Mbak Hanim tertawa lebar mendapati wajah kaget Inara. Perempuan yang lebih tua tiga tahun di atas Inara itu langsung mendaratkan tubuhnya pada sofa abu-abu. Duduk bersandar pada punggung sofa tepat di sebelah Inara.

"Mbak, tak ceritani talah," ujar Inara. Airmukanya sangat antusias, duduk miring menatap Mbak Hanim. Tinggal selama dua tahun di Surabaya, tanpa sadar Inara juga mulai hapal dan ikut-ikutan berbicara dengan dialek bahasa Jawa. Walau tidak sepenuhnya lancar, tapi kosakata tertentu dia bisa.

"Ceritain opo?"

"Aku ketemu sama Kainan, masa, Mbak." Inara menatap Hanim dengan mata membulat saat bibirnya melafalkan cerita. Alis Hanim menukik, seolah sangsi dengan cerita adik sepupunya tersebut, sejurus tawanya pecah.

"Hahaaaa, Ra, tangio Ndhuk, turu-mu kemiringen. Ya Allah, ngakak aku, Ndhuk. Ojok halu talah, Nara Sayang."

"Ish! Tenan lho, Mbak!" Inara mencebik. Mengatakan jika memang benar dia baru saja bertemu Kainan. Tawa Mbak Hanim mulai mereda, lalu matanya menatap penuh atensi pada Inara.

"Ora halu, Koen?" Tanyanya sekali lagi. Inara menggeleng keras. "Yowes, aku percoyo. Terus gimana, kok bisa tiba-tiba ketemu sama Kainan?" Wajah Mbak Hanim memancar penasaran. Dari beberapa orang yang tahu tentang perasannya pada Kainan, Mbak Hanim salah satu yang sering dicurhati oleh Inara. Makanya Mbak Hanim sempat tidak percaya Inara mengatakan ketemu Kainan di sini.

Inara mulai bercerita, bahwa tadi sore Kainan datang bersama Zio ke kafe ini. Inara juga mengatakan kalau lelaki itu ternyata gagal menikah dengan Dyah.

"Wes cocok tenan, Ra. Joko ketemu Siti. Jadian aja-lah kalian ini."

"Joko, Siti, siapa sih, Mbak Hanim ini?" Kening Inara beradu. Dia tidak akan lupa satu hal, bahwa Mbak Hanim itu suka lebay kalau soal improvisasi kalimat.

ONE MORE TIME (TAMAT-TERBIT NOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang