19 : Benang (2)

687 224 97
                                    

Assalamualaikum, rindu, enggak?
Absen dulu kuy!
Happy baca and Calangeyo 💞
.
.
.

"Maaf, ya." Rapalan maaf terlontar dari bibir Kainan pada Inara. Bagaimanapun dia merasa dijejali sedikit bersalah--karena tidak seharusnya mengatakan ungkapan hati dan niat pada Inara langsung. Padahal dalam angan sudah merangkai harap, kalau nanti dia akan datang langsung pada orangtua Inara, lalu menyatakan keinginannya di depan papanya si gadis yang diam-diam mencuri hati, kalau dia sangat serius ingin meminang Inara Malika.

Mata Inara bergerak menoleh Kainan, "Maaf buat apa, Kak?" detik berikut iris hazel itu membeliak dengan telapak tangan menyapu mulut. "Jangan-jangan Kakak nge-prank aku ya tadi? Pakai bilang segala mau meminang! Kak Kai cuma bercanda?" Terjadi perubahan raut di wajah Inara. Ronanya mendadak pucat, takut kalau-benar dugaannya Kainan hanya iseng.

Jemari Kainan melayang-menyentil kening Inara pelan, "Suudzon kamu, ya," ucapnya lalu tertawa pelan.

"Lha, terus apa dong?"

Helaan napas terlepas, Kainan berkata lembut, "Bukan itu, Ra, maksudnya maafkan saya, karena mengatakan semuanya di tempat kayak gini. Enggak ada bunga atau cincin kayak di novel-novel romansa yang biasa kamu baca. Maaf kalau enggak sesuai ekspektasi kamu, ya." Ada raut sesal terpancar di mata cokelat gelap milik Kainan saat kalimatnya meluncur.

Gelengan Inara mencuat, menandakan kalau dia sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan Kainan malam ini.

Kai lirik jam tangan di tangan. Pukul sebelas lebih beberapa menit. Waktunya mengantar Inara kembali ke rumah dengan selamat. Agak cemas sebenarnya-tentang reaksi orang rumah nanti. Bukan mencemaskan diri sendiri-tapi Inara. Dia tidak mau sampai Inara kena marah Budhenya, atau mendapat tanggapan buruk.

"Maaf ya, sampai jam sebelas lebih." Lagi-lagi kata maaf meluncur. Inara sampai mendengkus pelan, andai kata 'maaf' Kainan bisa ditukar hadiah, mungkin lelaki itu sudah mendapat satu buah mobil-akibat terlalu seringnya mengucap maaf.

"Enggak pa-pa, Kak. Udah sih, maaf terus dari tadi. Lebaran masih lama ..." Inara jeda kalimat. Bibirnya mengulum senyum mengingat kata-kata Kainan beberapa waktu lalu. "Yang hampir mendekat ... lamaran, Ka-kak!" Sambungnya dengan rahangnya melengkung tipis.

Tawa Kainan menggema, tangannya terasa gatal untuk mengacak-acak pucuk kepala Inara saking gemasnya. Lihat saja, nanti setelah mereka disatukan dalam ikatan halal, bukan hanya pucuk kepala yang ingin diacak-acak---tapi bibirnya sekalian. Halah!

Duduk di sebelah Kainan-yang fokus pada setir kemudi, Inara merasa ingin malam melambat dari biasanya. Akan tetapi, justru semua di luar keinginan. Saat ingin waktu bergulir cepat, biasanya malah terasa sangat lambat, pun sebaliknya, ketika ingin waktu melambat, nyatanya lima belas menit perjalanan menuju rumah sangat tidak terasa, tahu-tahu mobil Kainan sudah terparkir di dengan pagar bercat hitam-rumah Budhe Endah.

"Kak, enggak usah ikut turun ya, kamu langsung balik aja."

Kainan menggeleng tegas, "Mana bisa begitu, Inara, kamu perginya sama saya, pulang sampai ke depan pintu rumah juga harus saya antar, sebagai bentuk tanggung jawab saya." Usai berkata, gegas Kainan turun, lalu menuju sebelah mobil-membukakan pintu untuk Inara.

Inara melangkah cemas. Pasalnya lampu ruang tamu menyala terang. Jangan-jangan Budhe Endah sudah menanti dengan amunisi nyinyiran full delapan oktafnya.

Kainan melangkah agak di belakang Inara, karena tadi sempat balik ke mobil mengambil oleh-oleh yang sengaja dia beli dan bawakan untuk orang rumah, martabak dan ikan bakar.

Mengucap salam, Inara dibuat merinding saat suara Budhe yang membalas salamnya. Kainan menyusul, turut merapal salam.

"Maaf Tante, saya telat nganterin Inara balik." Wajah Kainan memancar bersalah saat berhadapan dengan Budhe.

ONE MORE TIME (TAMAT-TERBIT NOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang