7 : Karakter (3)

725 252 134
                                    

Manusia yang adil dan beradab, wajib komen usai baca. 😂🌹
.
.
.



"Kalau laki-laki yang kamu harapkan jadi pasangan, seperti apa, Ra? Maksudnya yang lebih spesifik gitu?"

Pertanyaan Kainan sontak membuat jantung Inara berisik tak keruan. Andai lelaki di seberangnya itu tahu, kalau laki-laki yang diharapkan Inara adalah Kainan Nayaka. Ah! Lagi-lagi semua kata yang ingin terucap harus tertahan di bibir. Lidahnya seperti kelu saat rangkaian kata yang tertahan di hati itu ingin meledak keluar. Inara diserang gugup menanggapi pertanyaan spontan Kainan.

"Yang seperti ...." Inara menjeda kalimat. Matanya bergerak menatap tegel bercorak mozaik tempat kakinya berpijak, lalu memandang ke arah meja kasir, di sana matanya beradu dengan manik Mbak Hanim--yang mengerling lucu seolah menggodanya dari jarak yang agak jauh. Inara reflek menggeleng samar. Bibirnya kembali terbuka ingin melanjutkan kata yang terjeda, tapi ....

Allahuakbar .... Allahuakbar

"Kak, adzan Maghrib." Inara urung menjawab pertanyaan saat suara adzan Maghrib menginterupsi obrolan seriusnya dengan Kainan.

Helaan napas Kainan terdengar menguar panjang. Inara menggigiti bibirnya sendiri. Antara bingung ingin menjawab apa, tapi juga merasa lega, karena jeda adzan memberinya ruang untuk merangkai jawaban yang dirasa tepat.

"Yasudah, Ra. Saya mau salat dulu sebentar ke masjid yang enggak jauh dari sini." Kainan berdiri dari duduknya. "Nanti bakda magrib Mama sama Dyah mau ke sini, Ra." Sambungnya masih terpaku dan menatap Inara.

"Oh, iya Kak, Kak Kai hati-hati," sahut Inara singkat. Kainan masih belum beranjak. Keningnya beradu dengan mata menatap Inara seolah menyiratkan tanda tanya. "Ke-kenapa, Kak?" Inara sampai tergagap karena salah tingkah ditatap dari jarak dekat oleh Kainan.

"Kamu enggak mau bareng ke masjid, Ra?" Kainan pikir tidak ada salahnya mengajak bareng Inara. Sebelum benar-benar nge-date---ah, bukan dating, Kai,  tapi jalan bareng nanti. Batin Kainan mengimbuhi. Pikirnya, tidak ada salahnya mencoba mengajak berangkat untuk salat sama-sama ke masjid yang tidak jauh dari kafe.

"Maaf Kak, aku lagi periode," jawab Inara dengan wajah memerah menahan rasa malu. Kainan manggut-manggut paham.

"Oh, sorry, Inara." Wajah Kainan agak salah tingkah saat merapal maaf. Inara tersenyum tipis menanggapinya. Sejurus Kainan pamit melenggang meninggalkan area kafe.

Usai kepergian Kainan, Inara melangkah menghampiri Mbak Hanim yang tadi tertangkap matanya sedang menuju ke arah kitchen. Inara langsung memindai sosok perempuan bertinggi sedang dengan perut buncit sedang menata sesuatu pada kotak-kotak persegi panjang.

"Mbak, lagi apa?"

Mbak Hanim sontak menoleh adik sepupunya. "Cieeee, yang lagi berbunga-bunga, habis ngobrol sama Bang Kai." Godaan itu langsung memberondong Inara.

"Apa sih, Mbak. Cuma ngobrol, kok." Bibir Inara tertarik menanggapi godaan Mbak Hanim. Senyum Inara saat ini mengembang besar, melebihi adonan bomboloni yang sedang ditata Mbak Hanim pada kotak-kotak bening berbahan plastik food grade di meja kitchen.

"Halah seneng toh, Ra. Ngaku bae, Ra usah ngapusi." Ternyata godaan Mbak Hanim masih berlanjut. Senang, kan, Ra. Ngaku aja, enggak usah bohong. Begitu kira-kira kalimat Mbak Hanim jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Inara masih mengulum senyum yang enggan tandas.

"Seneng, Mbak. Baru kali ini bisa ngobrol banyak banget sama Kainan." Inara tidak menampik rasa senangnya. Apalagi Kainan tidak sependiam dulu. Sekarang lelaki itu lebih ekspresif dan banyak merespon kalimatnya.

ONE MORE TIME (TAMAT-TERBIT NOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang