15 : Perca

559 222 76
                                    

Yang mau beli pdf One More Time silakan japri Kachan. Isi sama dengan novel ya. Harga lebih murah dan lebih fleksibel bacanya.

Perca: Sisa-sisa guntingan kain yang ada setelah membuat karya kerajinan tekstil---Ibarat sisa-sisa kenangan lampau yang melintas
.
.
.


"Gimana menurut Mbak Hanim?" Satu pertanyaan melompat dari bibir pink alami Inara. Setelah ritual makan siang bareng dengan Kainan, sekaligus menjadi ajang memperkenalkan laki-laki berbadan tegap itu pada Mbak Hanim si sepupu.

Jari Mbak Hanim melekat pada dagu  lancipnya, menegaskan gaya khas orang sedang berpikir. Kedua alisnya lalu saling menaut, "Bingung aku, Ra! Itu cowo nyemilnya apaan sih, bisa kebangetan gitu gantengnya," cetus Mbak Hanim.

Inara menyahuti, "Kan, cowo, Mbak, makanya ganteng."

Mbak Hanim kibaskan tangan ke udara, "Serius Ra, gnteng banget! Badannya itu lho, ga kukuh, tegap dan berotot." Indikasi kelebay-an Mbak Hanim selalu bereaksi jika sudah diminta menunjukkan perspektif-nya,  Inara tertawa pelan menanggapi review ala-ala sang sepupu.

"Lebay, ah, Mbak."

"Itu perut bisa kelihatan banget roti sobeknya, Ra. Astagaa, peluk-able banget keknya. Bahunya enak buat gelendotan manjah, Ra." Mbak Hanim hiperbolis. "Ibrahim mah lewaaat, Ra!" Masih lanjutnya.

Tawa Inara makin kencang, "Mbak, ih, awas kedengeran Bang Haris, nanti cemburu lho!" Haris adalah suaminya Hanim. Tidak dimungkiri bahwa yang dikatakan Mbak Hanim bukan hoaks semata. Dada bidang dengan perut ala-ala roti sobek membuktikan kalau Kainan selama ini rajin bermesraan dengan alat gym.

Memutar kembali penampilan lelaki dewasa 34 tahun itu, Inara seolah tidak menemukan celah ada pada diri Kainan. Senyumnya masih mengembang, sampai histori dalam otaknya memutar kalimat si lelaki kemarin yang membahas perihal hubungan masa lalu yang pernah dijalani.

Siang kemarin, usai menandaskan santap siang, bakso. Kainan membuka topik obrolan.
Manik cokelat legamnya menatap Inara penuh kelembutan. Yang ditatap sampai merasa salah tingkah sendiri akibat sorot tegas Kainan tanpa sadar membuat Inara merasa terperosok lebih dalam lagi pada pesonanya.

"Inara, masih ingat, kan, kemarin saya mengatakan ingin kenal kamu lebih dekat?"

Inara menjawab tanpa mengangkat pandangan. "Iya, Kak. Kenapa?"

"Itu artinya saya benar-benar ingin serius sama kamu." Kata-katanya terdengar penuh kemantapan saat berujar.

Inara rasanya ingin sembunyi seketika, saat merasai panas telah menjalari kedua tebing pipinya karena ulah Kainan. Pasti sekarang pipinya sudah berevolusi seperti tomat kematangan yang hampir busuk, saking merahnya.

"Masa lalu memang akan selamanya menjadi milik kita masing-masing, tapi saya ingin memulai semuanya dengan kejujuran, Inara." Masih lanjut lelaki itu. Kedua tangannya kini bertumpu ke atas meja, dengan pandangan mengunci pada lawan bicaranya.

"Jujur dalam hal apa, Kak?"

"Saya sudah tahu, kamu pernah menjalin hubungan dengan Ibrahim, bahkan sampai bertunangan. Sekarang giliran kamu yang harus tahu tentang saya, Inara."

Inara mendadak merasa gugup sendiri, "Dan, Kak Kai pernah bertunangan juga dengan Dyah, kan?" Tebak Inara sebagai refleksinya. Gelengan Kainan memecah fokus Inara. Apa itu artinya Kainan pernah menjalin hubungan dengan wanita lain, selain Dyah?! Inara masih belum mau menyimpulkan lebih jauh sebelum mendengar langsung.

"Saya pernah tiga kali menjalin hubungan dengan perempuan, sebelum dengan Dyah, tapi itu sudah lama sekali, Ra." Kainan membuka premisnya.

Sontak airmuka Inara berubah mendung. Mau diakui atau tidak, rasa tidak suka menjalari hati Inara mendengar pengakuan Kainan.

Sungguh wanita itu mampu menyembunyikan perasaan cintanya selama 40 tahun, namun tak sanggup sembunyikan rasa cemburunya meski sesaat.  (Ali bin Abi Thalib)

"Dulu sekali, saat masih kuliah, saya pernah punya pacar, Ra. Enggak lama juga, sekitar enam bulan, pada akhirnya kami sama-sama sibuk dengan organisasi dan tugas masing-masing, lalu putus baik-baik."

"Lalu, yang selanjutnya, Kak ...?" Nada bicara Inara melemah.

"Waktu awal-awal memasuki dunia kerja. Rekan satu kantor, yang kedua malah enggak lebih dari tiga bulan. Dunia kerja yang punya mobilitas tinggi, jadinya kami jarang bertemu. Interaksi kadang hanya urusan pekerjaan, sampai dia mulai tidak terima, banyak menuntut ini dan itu, kurang perhatian dan sebagainya. Jadi saya memilih mundur, Ra." Kainan mengambil tangannya dari atas meja, lalu melipatnya di depan dada saat bercerita pengalaman percintaan keduanya. "Itulah kenapa saya selalu memproteksi diri sampai sekarang ini kalau sama rekan kerja perempuan. Bagi saya love in the office is bad, " imbuhnya.

Kerutan tercetak di kening Inara. Dia agak tidak setuju dengan perspektif Kainan yang mengatakan kalau mantan pacarnya terlalu banyak menuntut. Bibirnya bergerak ingin menyela, "Tapi, Kak, bukannya wajar ya, perempuan pasti menuntut buat diperhatikan sama pacarnya. Kenapa, Kak Kai kesannya jadi kayak terbebani."

Lelaki itu menggeleng tegas, "No, Inara, bukan terbebani, di awal kami jadian, atau lebih tepatnya, dia nembak saya-"

Kali ini mata Inara membulat sempurna, "What? Kak Kai ditembak?"

Anggukan Kainan menjawab pertanyaan Inara. Tawa lelaki itu menggema pelan, sembari jarinya sibuk membenahi kacamata yang agak bergeser dari pangkal hidung. Iya tidak heran sih kalau malah Kainan yang ditembak sama cewe. Kainan memiliki semua kriteria yang diidamkan kaum hawa.

"Saya sudah tegaskan kalau masa itu adalah awal karir, jadi pekerjaan tetap nomer satu, Ra. Indikasi ingin mundur mencuat saat dia dengan terang-terangan ngajakin bolos kerja cuma karena ingin nonton berdua siang hari."

"Oh, kalau kayak gitu sih, emang udah di luar batas, Kak, enggak profesional dong namanya." Hela napas lega mencuat dari mulut Inara. Bathinnya merapal maaf karena sudah suudzon pada Kainan. Mengira lelaki itu tipe yang workaholic sampai-sampai menomorduakan kekasihnya. Eh, mantan kekasih. Ternyata memang si mantannya yang kurang tahu diri.

"Kalau yang ketiga, Kak Kai?" Pancing Inara. Namun kali ini Kainan tidak langsung menjawab. Lelaki itu tiba-tiba dirangkul geming mendengar kalimat tanya Inara. Kainan menegakkan tubuh, lalu matanya mengitari pergelangan tangan, mencuri lirik pada arlojinya.

"Ada banyak yang mau saya obrolin sama kamu, Inara. Tapi waktunya enggak cukup, saya harus balik kantor, jam makan siang sudah lewat beberapa menit." Suara Kainan meluncur akhirnya. Walau ada ganjal yang menimpuk perasaan Inara atas penjelasan Kainan yang harus terpotong.

Inara manggut-manggut, dia paham akan posisi Kainan saat ini, pasti disibukkan dengan banyak pekerjaan.

"Enggak papa Kak, kan, bisa kapan-kapan disambung lagi.

Kainan beranjak, lalu pamit kembali ke kantor.

"Inara Malika, bocah diajak ngomong malah ngelamun!" Tepukan Mbak Hanim mendarat di bahu Inara, membuyarkan lamunannya tentang Kainan.

"Iya, Mbak, dengar kok." Inara menjawab asal. Pasalnya ada satu hal yang mengusik hati, menginvansi ketenangannya. Cerita Kainan yang harus bersambung kemarin masih menjadi teka-teki yang terus berputar di otak Inara. Kira-kira yang ketiga itu siapa? Kalau Dyah, sepertinya bukan, karena Kainan mempertegas dari pernyataan kalau dia pernah dekat dengan tiga gadis sebelum mengenal Dyah. Inara rasa polah Kainan berubah saat membahas yang ketiga ini, buktinya waktu mendengar tanya Inara, matanya sontak teralih ke sudut lain. Seperti menghindari tatapan Inara.

🌹🌹🌹

Maafkan pendek ...

Beberapa hari ini lagi overtinkhing banget. Mood agak down. Sampai ngerasa pengin berhenti nulis. 😷


ONE MORE TIME (TAMAT-TERBIT NOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang