Epilog

20.9K 1K 14
                                    

Salena tersenyum lebar menatap tulisan tangan Shalita yang rapi lalu menatap putrinya tersebut. Meski Shalita bukan putri kandungnya, tapi ia telah menganggap gadis kecil itu anaknya. Bahkan akta kelahiran Shalita tertera namanya sebagai ibu juga nama Rasya sebagai ayah.

Ketidakpedulian orang tua Shalita membuat mereka memutuskan untuk menjadikan Shalita anak mereka. Bahkan mengubah nama lengkap Shalita.

Yang dulunya Shalita Zahira Sabian menjadi Shalita Katyusha Salsya.

Meski begitu, baik Salena maupun Rasya tidak menutupi siapa identitas orang tua sebenarnya.

"Bunda, kapan Zidny datang lagi?" tanya Shalita usai merapikan buku-bukunya. Memasukkan buku pelajaran ke dalam tas miliknya sesuai pelajaran besok.

"Em... gak tau. Nanti Bunda telpon Aunty Odit terus nanya kapan mereka ke sini lagi." Shalita tersenyum lebar lalu memeluk lengannya. "Bunda, temenin Shali bobok, ya? Jangan sama Ayah terus."

Salena tertawa mendengar Shalita. Ia mengusap rambut sebahu gadis kecil itu yang sangat manja setelah mereka serumah. Setelah ia dan Rasya menikah kurang lebih tiga tahun yang lalu.

Pria itu menikahinya usai melamarnya di restoran waktu itu. Pernikahan yang mereka gelar kembali, hanya sebatas ijab kabul dan acara resepsi yang hanya dihadiri kerabat, tanpa adanya Mama Rasya karena memang menentang hubungan mereka.

Rasya pun tidak peduli lagi. Sesuai dengan perkataan pria itu. Pria itu benar-benar membuktikannya. Meski ada rasa bersalah dalam hati Salena, karena membuat hubungan Rasya dengan Mamanya tidak seperti dulu lagi.

Namun, mau bagaimanapun semuanya telah terjadi. Usia pernikahannya dengan Rasya telah berjalan tiga tahun. Pun Rasya rela pindah ke Bali, membeli rumah. Juga Shalita yang telah bersekolah di sini.

"Bunda, bobok bareng Shali, ya?" Bujuk Shalita.

"Nanti kalau Shali bobok bareng Bunda, adiknya gak jadi lho." Sahutan tersebut membuat mereka menoleh menatap Rasya yang sedang bersandar di daun pintu yang terbuka. Menatap geli Salena yang melotot tajam.

Melangkah mendekat, Rasya ikut duduk di tepi ranjang lalu meraih Shalita naik ke pangkuannya.

"Kata Om June gak enak punya adik. Nanti Shali gak disayang lagi." Shalita memeluk leher Rasya merengek enggan memiliki adik.

Rasya menatap Salena yang mendengus geli.

"Larang June bicara yang enggak-enggak sama Shali deh, Bun." Salena tersenyum geli seraya mengendikkan bahu. Temannya itu memang berkunjung empat hari lalu di rumahnya karena memiliki pekerjaan di sini.

"Ya udah Shali bobok sendiri, ya? Harus belajar. Kan Shali udah gede," ujar Rasya seraya mengusap lembut rambut Shalita.

"Tapi Ayah janji jangan bikin adik, ya? Shali gak mau." Dengan wajah serius Shalita menatap Rasya yang langsung tertawa.

"Tetap bikin kok, Nak. Tapi Ayah janji gak bakal jadi kok. Belum ya? Nanti kalau Shali dah masuk SMP baru deh punya adik."

"Ayah!" Tegur Salena seraya menepuk lengan Rasya karena sudah kelewatan bicaranya. Meski ia tau Shalita tidak cukup mengerti.

"Oke," sahut Shalita meraih kelingking Rasya menautkan jari kelingking mereka.

"Makanya Shali rajin ke sekolah biar cepet masuk SMP," ujar Salena pada Shalita yang kadang-kadang malas ke sekolah dengan alasan lelah menulis. Meski Shalita merengek, tapi Salena tidak membiarkan Shalita tidak sekolah. Salena memaksa bahkan mengantarnya, menunggu hingga pulang.

"Tuh dengerin Bunda. Harus rajin sekolah biar pinter. Nanti kalau Shali masuk rangking tiga besar Ayah beliin sepeda."

Kedua mata Shalita berbinar. "Kalau Shali rangking satu. Shali mau dibeliin hape!"

Bittersweet DivorceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang