Beberapa Minggu berlalu, kini Mentari sudah kelas 12. Ia pun sudah benar-benar lebih fokus dengan pendidikannya. Dirinya sudah hampir benar-benar terbiasa tanpa adanya Devan. Akhirnya ia berhasil melewati fase yang cukup sulit tersebut. Ada banyak keinginan yang ingin mentari wujudkan. Salah satunya adalah kuliah di universitas-universitas impiannya, dan bukan di Indonesia.
"Assalamu'alaikum Tari," ucap seseorang.
"Wa'alaikumussalam," jawab Mentari. Mentari menoleh ke arah orang yang memanggilnya. "Eh, Farhan, kenapa?" tanyanya.
"Gapapa, cuma mau nanya doang. Kamu udah putus sama Devan?"
"Kenapa emangnya?"
"Aku perhatikan, akhir-akhir ini kamu aneh saja. Kerudungnya udah mulai syar'i, jaga batasan sama yang bukan mahram, intinya beda dari biasanya."
Mentari tersenyum, "alhamdulilah, Allah masih kasih aku hidayah."
Muhammad Farhan Adnan, laki-laki yang notabenenya adalah ketua rohis. Laki-laki yang dikagumi kaum hawa karena kepintarannya dalam hal agama. Menentang keras hubungan pacaran sebelum menikah, menjaga batasan dengan yang bukan mahram, selalu diandalkan guru dalam hal agama. Selain tampan, laki-laki itu juga pintar. Sebenarnya Mentari sudah cukup tau tentang Farhan. Mentari pernah kagum pada Farhan, sebelum ia mengenal Devan. Tapi itu dulu, berbeda dengan sekarang.
"Alhamdulillah ... Kalo gitu aku permisi. Wassalamu'alaikum," ujarnya.
"Wa'alaikumussalam." Setelah Farhan benar-benar menjauh, Mentari melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sebelumnya ia barusan dari perpustakaan.
Entah mengapa, beberapa hari belakangan ini Farhan sering kali memperhatikan Mentari. Ia heran mengapa seperti ada yang berbeda dengan gadis itu. Setahunya, Mentari begitu dekat dengan Devan yang berstatus sebagai pacarnya. Tapi ia mendengar kabar jika Mentari dan Devan sudah tidak ada hubungan lagi. Karena tidak mau termakan gosip, ia tanyakan itu langsung pada Mentari.
Tidak lama lagi jabatan Farhan sebagai ketua Rohis akan digantikan. Tapi sepertinya Farhan menemukan sesuatu yang baru. Ia sudah sering melihat siswi-siswi hijrah, tapi rasanya berbeda saat melihat Mentari. Farhan tak mau berpikir yang tidak-tidak, ia berusaha meyakinkan diri bahwa dirinya hanya kagum pada gadis itu saja. Wajar jika ia bahagia melihat seseorang hijrah.
"Abang Farhan, minta uang dong," ucap seorang wanita yang diketahui adalah adiknya Farhan.
Widya Khairunnisa Adnan, adik satu-satunya Farhan. Widya adalah orang yang ramah, friendly, pintar, dan juga ceria. Meskipun friendly, ia tetap menaati aturan untuk menjaga batasan dengan yang bukan mahram. Jika tidak, satu keluarga akan menceramahi dirinya, terutama Farhan. Jika Farhan tau Widya melanggar aturan, laki-laki itu duluan yang menegur dirinya. Widya baru saja memasuki kelas 10. Itu artinya, Widya adalah murid baru. Ia memang cantik, namun tak ada laki-laki yang berani mendekatinya karena tau Widya adalah adiknya Farhan. Mereka kenal sekali siapa Farhan. Bahkan mereka sampai menyebut Farhan itu Ustadz muda.
"Gak bawa uang jajan emang?" tanya Farhan.
"Bawa sih ... Tapi tadi sumbangan gitu lima ribu, habis itu bayar uang kas Mingguan sepuluh ribu, sama bayar uang untuk kerja kelompok sepuluh ribu, sisa lima ribu. Dy cuma bawa tiga puluh ribu doang. Lima ribu mah gak cukup buat jajan di kantin," jelas Widya.
"Udah mau bel, baru mau ke kantin?"
"Habis ini jamkos, jadi bisa bawa makanannya ke kelas."
"Gak dikasih tugas? Setau Abang, meskipun jamkos, tetap dikasih tugas."
"Ada, tapi nanti ngerjainnya sambil makan."
"Emang boleh?"
"Boleh dong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari [TAHAP REVISI]
Короткий рассказPertemuan memang merupakan awal dari sebuah cerita. Tapi perpisahan, bukan akhir dari sebuah cerita. Kau dapat mengambil pelajaran dari setiap pertemuan atau perpisahan. Cahayanya sama-sama indah, namun sulit untuk bersatu. Cahaya itu tampak pada s...