Jika kamu ingin dihargai, cobalah untuk bisa menghargai orang lain. Jika kamu ingin didengar, jangan abaikan yang bicara padamu. Bukan mereka yang tak peduli padamu, namun kamu yang tak pernah menghargai kepedulian mereka.
~Fathia Maharani
•••
Pagi ini, Devan menjemput Mentari dengan menggunakan mobilnya. Sejak kejadian kemarin, Mentari lebih banyak diam dan akan bicara jika pertanyaan yang ditanyakan itu penting. Devan tak tau apakah Mentari marah padanya, atau syok dengan kejadian kemarin. Devan merasa bersalah karena telah mengizinkan Mentari ikut dengannya. Seandainya ia tak mengizinkannya, kejadian itu tak akan terjadi. Namun apa boleh buat, semuanya sudah terlanjur terjadi.
"Kamu boleh pukul aku, boleh marahin aku sampai kamu puas. Tapi, kamu jangan benci aku," lirih Devan. Kali ini ia benar-benar merasa bersalah pada Mentari.
Mentari melihat ke arah Devan. Tampaknya Devan benar-benar merasa bersalah padanya. Sejujurnya ia kesal pada Devan, ingin marah namun sulit. Ia lebih memikirkan perjuangan Devan menyelamatkannya dari laki-laki menyeramkan itu, daripada kejadian diluar gedung sebelum mereka pulang.
"Jangan tinggalin Tari lagi, Tari takut," ucapnya. Sebenarnya ia tau waktu itu Devan tak meninggalkannya. Hanya saja Devan terlalu fokus berkelahi sampai-sampai tidak tau jika Mentari dibawa oleh geng Alexander.
"Kamu gak marah karena aku udah--"
Dengan cepat Mentari menggelengkan kepalanya. "Aku kesal karena kamu berani lakuin itu, sangat. Tapi kalo kamu gak datang waktu itu, pasti cowok yang kemarin bakal hancurin hidup aku. Tatapan dia seakan mau makan aku hidup-hidup."
"Selama dengan aku, kamu bakal baik-baik aja. Aku bakal jagain kamu semampu aku, meskipun nyawa taruhannya." Ya, itulah Devan. Tak ada yang boleh menyakiti orang yang berarti dalam hidupnya, yaitu keluarga dan gadis cantiknya. Mentari sudah seperti separuh hidupnya. Mungkin terdengar lebay, tapi bodo amat akan hal itu. Mentari miliknya, tak ada yang boleh mengambil Mentari dari Devan.
Mentari perlahan mulai berusaha melupakan kejadian itu. Devan merasa lega karena tak ada perdebatan antar mereka. Ia juga takut Mentari syok terlalu lama.
Sesampainya di sekolah, Mentari langsung turun dari mobil Devan setelah Devan membuka pintu mobil untuknya. Mentari tersenyum sesaat ke arah Devan. Senyum yang Devan suka dan ia tak suka jika ada laki-laki lain yang menikmati senyum manis itu. Semakin hari sepertinya Devan semakin posesif.
"Kamu kenapa ikutin aku?" tanya Mentari.
"Anterin kamu lah. Mulai detik ini dan seterusnya, jangan kemana-mana kalo gak sama aku atau keluarga kamu." Baru saja Mentari ingin bicara, Devan langsung melanjutkan ucapannya. "Aku gak minta pendapat kamu ataupun penolakan dari kamu." Mentari hanya bisa pasrah jika Devan sudah bicara serius seperti itu.
Devan mengantar Mentari hingga ia benar-benar duduk di bangkunya, memastikan bahwa Mentari sampai di bangku dengan aman. Tak lupa mengecek lagi laci meja Mentari, takut kejadian yang pernah terjadi terulang lagi. Aman.
"Belajar yang rajin. Jam istirahat aku ke sini lagi. Jangan keluar sebelum aku datang," ucapnya sambil mengelus kepala Mentari.
"Tapi kalo mau ke toilet?"
"Minta temenin sama Cahya," ucap Devan sambil melihat ke arah Cahya. Cahya yang dilihat pun kebingungan.
"Kenapa?" tanya Cahya.
"Tolong pantau Mentari. Kalo dia banyak alasan buat pergi sendirian, lapor gue," ucap Devan pada Mentari.
"Oh ... Oke, tenang aja," ucapnya sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari [TAHAP REVISI]
Historia CortaPertemuan memang merupakan awal dari sebuah cerita. Tapi perpisahan, bukan akhir dari sebuah cerita. Kau dapat mengambil pelajaran dari setiap pertemuan atau perpisahan. Cahayanya sama-sama indah, namun sulit untuk bersatu. Cahaya itu tampak pada s...