Malam hari, di kediaman keluarga Adnan. Mereka baru saja selesai makan malam, ba'da isya'. Jika melihat keluarga mereka, rasanya tentram sekali. Meskipun memang tidak ada rumah tangga yang tidak mempunyai masalah. Namun, bukan soal masalahnya. Tapi soal bagaimana cara seseorang menyelesaikan masalah tersebut.
"Abang, temenin Dy ke luar sebentar. Dy lupa kalo besok harus bawa cat air. Soalnya yang lama udah pada habis sebagian warnanya."
"Ya udah siap-siap dulu sana."
"Abang gak siap-siap?"
"Engga."
"Yakin mau ke mall pakai sarung?"
"Ngapain ke mall Dy, di supermarket juga ada."
"Engga, Dy mau sekalian cari barang yang lain. Takutnya gak ada di supermarket."
"Ya udah, siap-siap sana. Gak ada larangan juga gak boleh pakai sarung ke mall."
Widya menganggukkan kepalanya, ada benarnya apa yang Farhan katakan. Widya pun menaiki tangga menuju kamarnya untuk mengganti baju. Farhan menunggu Widya di meja makan, masih ada kedua orang tuanya. Umi-nya melihat ke arah Farhan, seperti ada yang ingin dikatakan. Farhan tipikal orang yang cukup peka dengan gerak-gerik seseorang.
"Ada apa Umi?" tanyanya.
"Engga, cuma mau nanya aja. Lulus nanti, kamu mau lanjut ke mana? Maksud Umi, siapa tau kamu ada niatan bantu Abi kamu ngurus madrasah."
"Sebenarnya Farhan ada rencana mau kuliah dulu Umi. Itupun, jika Allah mengizinkan. Tapi, juga izin Umi sama Abi. Kalo gak diizinin, ya Farhan bantu Abi," ujarnya dengan sangat yakin atas apa yang ia ucapkan.
Wanita paruh baya itu menatap suaminya, memberi isyarat agar suaminya yang menjawab dan memberi keputusan. Farhan yang lagi-lagi peka, ikut melihat ke arah Abi-nya. Ia harap, ia mendapatkan izin itu. Jikapun tidak, Farhan tak akan marah ataupun kecewa sama sekali.
"Ada rencana mau kuliah di mana?" tanya laki-laki paruh baya itu.
"Itu belum bisa Farhan pastikan Abi. Intinya, kalo Farhan lulus di universitas yang Farhan daftar ya alhamdulillah."
"Ya sudah, Abi izinkan."
Farhan tersenyum, sangat manis. "Alhamdulillah, terimakasih Abi, Umi," ucapnya. Mengapa ia tidak menanyakan Umi-nya? Karena jika Umi-nya sudah menyuruh Abi-nya yang memberi keputusan, itu artinya keputusan Abi-nya juga keputusan Umi-nya, dan selalu seperti itu.
Selesai dari perbincangan singkat itu, Widya datang menghampiri mereka dengan berpakaian gamis berwarna maroon dan kerudung hitam. Cantik, dan tampak sangat natural. Ditambah lagi pipinya yang chubby dengan tinggi badan hanya 156 cm. Makanya lucu jika Widya jalan bersama Farhan yang tingginya 172 cm. Widya sama seperti Umi-nya yang tidak begitu tinggi. Sementara tinggi Farhan mengikuti Abi-nya.
"Itu bibir kamu berdarah?" tanya Farhan pada adiknya.
"Hah? Engga. Ini tuh liptint, bukan darah."
"Lipstik?"
"Liptint. Beda tau."
"Entah apalah itu, hapus."
"Tap——"
"Widya Khairunnisa Adnan," tegas Farhan.
Jika sudah disebutkan nama panjangnya, Widya tak berani membantah lagi. Begitulah jika Farhan tak ingin ucapannya dibantah. Widya tau bibirnya pink alami, tapi apa salahnya jika ia hanya pakai liptint agar terlihat lebih cerah? Bisa-bisanya Farhan mengira bibirnya berdarah. Lagipula Widya pergi bersama mahramnya, tak mungkin ada yang menggangu. Namun Farhan tetaplah Farhan, peringatannya juga demi kebaikan Widya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari [TAHAP REVISI]
Short StoryPertemuan memang merupakan awal dari sebuah cerita. Tapi perpisahan, bukan akhir dari sebuah cerita. Kau dapat mengambil pelajaran dari setiap pertemuan atau perpisahan. Cahayanya sama-sama indah, namun sulit untuk bersatu. Cahaya itu tampak pada s...