Setelah dirawat selama 2 hari, Mentari diizinkan untuk pulang. Meskipun terkadang lengannya sesekali terasa nyeri. Kata Dokter, itu wajar karena luka Mentari belum begitu pulih. Mentari hanya perlu menjaga aktivitasnya agar tidak melakukan hal-hal yang terlalu berat. Tentu saja itu membuat Devan lebih siap siaga pada gadis itu. Dan pastinya jadi lebih protektif lagi.
"Devan, kamu kek orang lagi jualan tas keliling, tau gak sih," ucap Mentari saat Devan mengantarkannya ke kelas.
"Kamu gak dengar apa kata Dokter? Jangan lakuin hal yang berat dulu. Lengan kamu belum pulih."
"Iya, tapi kamu dilihatin orang-orang, tau."
"Gak peduli."
Bagaimana tak menjadi pusat perhatian, Devan membawa 2 tas sekaligus. Devan mendukung tasnya di belakang, dan tas mentari di depan. Hal itu tentu saja membuat Devan menjadi pusat perhatian. Bukannya mengejek, mereka malah iri pada Mentari. Devan yang semengerikan itu, jadi bucin saat bersama Mentari. Awalnya mereka kira mustahil untuk mudah meluluhkan Devan. Namun ternyata, itu tidak benar. Mentari benar-benar berhasil menjadi pawang seorang Devan.
Hingga sampai ke kelas Mentari pun, Devan terus menjadi pusat perhatian. Mentari sudah lelah meminta Devan untuk berhenti melakukannya. Namun sikap keras kepalanya muncul lagi, dan lagi.
"Udah ya, kamu ke kelas gih," ucap Mentari setelah sampai di tempat duduknya. Cahya pun sudah ada di sana.
"Jangan berbuat yang aneh-aneh kalo gak mau kelas ini aku hancurin," ucap Devan penuh peringatan.
"Coba aja kalo berani. Kelas ini gak ada hubungannya ya."
"Gak terima alasan." Setelah mengatakan itu, Devan langsung pergi. Itu artinya ia tak ingin mendengar bantahan apapun dari Mentari. Ia ingin Mentari menuruti ucapannya. Mentari hanya bisa menurut. Lagian, itu juga demi kesembuhannya.
Untuk pelaku yang sudah hampir membuat Devan kehilangan gadisnya, biar Devan sendiri yang menghabisinya. Sudah cukup ia memberi kesempatan pada beberapa pelaku yang sudah menyakiti miliknya. Ia tak peduli jika Mentari marah besar padanya. Karena kali ini, kelakuan pelaku itu sudah sangat keterlaluan. Devan tak akan membiarkan orang itu lolos. Ia pastikan, secepatnya ia akan menemukan pelaku itu. Setidaknya, pelaku itu harus mendapatkan pelajaran yang setimpal dengan apa yang sudah ia lakukan pada gadisnya. Tak ada yang boleh menyakiti Mentari. Menjauh dari miliknya, atau hidup orang itu dalam pengawasan Devan.
Saat jam istirahat, Devan langsung menghampiri Mentari. Saat Mentari sedang berbicara dengan Aya, entah mengapa Aya malah pergi dengan alasan ada urusan penting. Mungkin memang ia sedang ada urusan dan kelupaan, pikir Mentari.
"Gadis nakal masih aman, 'kan?" tanya Devan.
"Aman Om."
"Heh?"
"Apa?"
"Om? Siapa yang kamu maksud Om?"
"Kamu lah. Kamu kan mirip Om-om. Om galak yang suka maksa."
"Bawel. Udahlah, yuk, ke kantin aja."
Mentari dan Devan pun pergi ke kantin. Devan akan selalu siap siaga menjaga Mentari. Mungkin terdengar berlebihan, namun itu keputusannya. Disaat Mentari sedang bersamanya saja, masih ada yang berani menyelakai gadis itu. Apalagi jika Mentari tak bersamanya.
Di kantin, Mentari kembali bertemu dengan Cahya. Namun, lagi-lagi Cahya pergi begitu saja. Mentari yakin, jika tadi Cahya melihatnya. Perasaan, tadi Cahya baik-baik saja. Lantas, mengapa sekarang ia seperti canggung begitu? Seperti ada yang ia sembunyikan. Tapi apa? Apa Cahya marah karena semenjak bersama Devan, mereka jadi jarang main bersama? Tidak, itu tidak mungkin. Bahkan, Cahya sendiri juga sering bersama pacarnya. Lalu mengapa tiba-tiba Cahya seperti itu. Beberapa menit lalu ia baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari [TAHAP REVISI]
Historia CortaPertemuan memang merupakan awal dari sebuah cerita. Tapi perpisahan, bukan akhir dari sebuah cerita. Kau dapat mengambil pelajaran dari setiap pertemuan atau perpisahan. Cahayanya sama-sama indah, namun sulit untuk bersatu. Cahaya itu tampak pada s...