Takdir

114 18 5
                                    

Seperti biasa, sepulang dari sekolah, Devan langsung ke rumah Mentari. Namun sesampainya di rumah gadis itu, Mentari sedang tidak ada di rumah. Akhirnya Devan memutuskan untuk pulang. Ada perasaan yang mengganjal di hatinya, tapi ia tak tau itu apa.

Sesampainya di rumah, ia merasa moodnya hancur. Hari ini ia tak bertemu dengan Mentari sama sekali. Entah mengapa ia serindu itu dengan gadis itu. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. Tapi ia tak tau pasti itu apa. Pikirannya sekarang hanya memikirkan Mentari.

"Kenapa lagi?" tegur Papa Devan.

"Devan khawatir sama Mentari, Pa. Kenapa jadi gini Pa? Semuanya di luar dugaan Devan. Argh! ...." Setelah mengatakan itu, Devan langsung pergi ke kamarnya.

Di dalam kamarnya, Devan langsung menghubungi Mentari. Berkali-kali ia menghubunginya, namun tidak di angkat. Hingga akhirnya, Mentari menjawab panggilan yang entah sudah panggilan ke berapa. Mendengar suara gadis itu langsung membuatnya merasa sedikit lega. Setidaknya rindunya terobati.

"Tari--"

"Maaf Devan, aku mau kita putus. Aku minta, kamu gak usah cari aku lagi dan gak usah hubungi aku lagi."

"Enggak Tari! Apa maksud kamu ngomong gitu?! Kamu gak bisa nentuin keputusan secara sepihak. Salah aku apa, Tari? Bilang Tari, bilang!" Devan benar-benar kaget mendengar perkataan serius dari mulut gadis itu.

"Gak usah bohongin aku lagi Dev, aku capek. Aku capek dibohongin kamu terus, aku capek maafin kamu terus, aku capek Dev, capek hiks ... Udah cukup buat semuanya, cukup buat rasa sakit yang kamu kasih ke aku."

"Tari ... Aku masih gak ngerti sama yang kamu bilang."

"MAU BERAPA LAMA LAGI KAMU BOHONGIN AKU?! KAMU GAK USAH PURA-PURA GAK TAU SOAL PERJODOHAN ITU!"

"Tau dari mana kamu soal perjodohan itu?"

"Gak penting aku tau dari mana. Intinya sekarang kamu gak usah cari aku lagi, gak usah hubungi aku, pokoknya gak usah!"

Tut ....

Mentari langsung memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Devan langsung mengacak-acak kamarnya untuk meluapkan kekesalannya. Semuanya jadi runyam, ia kehilangan gadisnya. Mentarinya, Mentari milik Devan. Devan tak mau kehilangan gadis itu, tidak.

"ARGH! ... KENAPA JADI GINI SIH?! APA INI HUKUMAN BUAT GUE KARENA GUE EGOIS? GUE BUTUH LO TARI, GUE MOHON DENGAR PENJELASAN GUE!" Devan benar-benar frustasi. Tidak tau harus berkata apa lagi. Pikirannya benar-benar kalut, ia tak bisa berpikir jernih. Mentarinya telah pergi, Devan tak akan pernah rela.

Devan mengambil kunci motornya, mengambil jaket hitamnya dan langsung pergi ke luar tanpa mengganti seragam sekolahnya. Ia mengendarai motor dengan kecepatan penuh, hatinya hancur, perasaannya kacau, tujuannya sekarang adalah menemui gadisnya. Ia tau jika Mentari ada di rumah, namun gadis itu sengaja menghindar darinya.

Sangking kencangnya mengendarai motor, Devan hampir menabrak orang beberapa kali. Namun Devan sangat tidak peduli akan hal itu. Tiba-tiba, Devan kehilangan keseimbangan saat menghindari anak kecil yang tiba-tiba menyebrangi jalan. Dan ....

BRAK!

Devan terpental sangat jauh dari motornya. Tubuhnya sudah dipenuhi dengan darah, terutama kepalanya. Beberapa detik setelah itu Devan langsung hilang kesadaran. Ia sempat tersenyum, lebih baik ia mati, pikirnya. Setelah itu barulah matanya benar-benar terpejam sempurna.

Devan langsung dikerumuni banyak orang. Seseorang mencoba mengecek keadaan Devan, masih hidup. Ternyata harapan Devan tak benar-benar terwujud. Belum waktunya untuk ia berpulang. Orang-orang itu pun langsung menghubungi ambulance. Setelah ambulance datang, Devan langsung segera dilarikan ke rumah sakit.

Mentari [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang