Ingin marah pun, aku tak berhak. Jika kau benar-benar menghargai kehadiranku, maka jagalah perasaanku.
~Mentari
______________________________________________Sejak selesai dan rapih dengan seragamnya, Mentari sudah berapa menit mencari ponselnya. Namun, ia tetap tidak menemukan ponselnya. Seingatnya, semalam ponselnya ia letakkan di atas nakas. Mengapa pagi ini ponselnya sudah tidak ada. Masalahnya, hari ini ia membutuhkan ponselnya. Karena jam pelajaran pertama harus menggunakan ponsel. Jika ponselnya tidak ada, bagaimana bisa ia mengikuti pelajaran.
"Abang, lihat handphone Bila?" tanyanya pada Reynand saat duduk di meja makan.
"Lihat."
"Mana?"
"Tadi malam, kan, abang lihat," ucap Reynand sambil menyantap rotinya.
"Ih, Abang! Kalo itu, Bila juga tau," kesalnya.
"Udah-udah, sarapan dulu," lerai Mama Mentari.
Mereka kembali fokus pada sarapan masing-masing. Meskipun, Mentari masih bingung harus bagaimana. Sudahlah, itu bukan masalah serius, pikirnya.
"Oh iya, lusa, Papa mau berangkat buat beberapa hari," ucap Papa Mentari setelah mereka selesai sarapan.
"Berangkat lagi? Pa ... Papa baru empat hari loh, pulang. Kok udah berangkat lagi aja," ucap Mentari.
"Ya, gimana lagi. Papa gini juga buat kalian, 'kan?"
"Iya sih ... Berapa lama?"
"Dua hari doang."
"Beneran, dua hari doang? Awas aja lebih." Mentari ingin Papanya lebih sering di rumah.
"Iya."
Seperti biasanya, Mentari di jemput oleh Devan. Semenjak dengan Mentari, Devan lebih sering pakai mobilnya dari pada motor.
Ketika di perjalanan, Mentari baru ingat jika ia lupa meminjam ponsel Reynand. Niatnya tadi, ia ingin meminjam ponsel Reynand saja. Lalu bagaimana sekarang, ponselnya entah kemana.
Devan melihat wajah gelisah dari Mentari "Kenapa?" tanya Devan yang membuyarkan lamunan Mentari.
"Lupa pinjam handphone abang. Soalnya hari ini butuh, gimana dong," ucap Mentari.
Devan hendak membuka mulutnya untuk meminjamkan ponselnya pada Mentari, namun ia teringat sesuatu. Jika ia pinjamkan ponselnya pada Mentari, sama saja Mentari akan tau apa yang sedang ia rencanakan. Tidak ada cara lain selain mengganti sidik jari WhatsApp nya, agar Mentari tak bisa membukanya. Devan pun mengatur ponselnya agar notifikasi pesan tidak muncul di layar.
"Nih," ucapnya memberikan ponselnya. Mentari masih tidak mengerti maksud dari Devan. Ia terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya agar ia tetap bisa mengikuti pelajaran. "Pakai handphone aku, Tari," ucap Devan agar gadis itu mengerti.
"Loh, emang kamu lagi gak butuh?"
"Enggak."
Vania mengambil ponsel Devan. Sebenarnya ia takut memakai barang orang lain, namun apa boleh buat. Ternyata ponselnya tidak di kunci oleh Devan. Mentari terkejut saat melihat wallpaper ponsel Devan adalah fotonya. Dari mana Devan mendapatkan foto itu?
"Sayang," panggil Mentari.
"Hm."
"Kamu, dapat foto aku, dari mana?" tanyanya.
"Bang Rey."
"Ih, abang apaan sih," gerutunya. "Boleh, aku buka galeri?" izinnya pada Devan.
"Asal jangan buka aurat aja," jawab Devan ngasal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari [TAHAP REVISI]
Historia CortaPertemuan memang merupakan awal dari sebuah cerita. Tapi perpisahan, bukan akhir dari sebuah cerita. Kau dapat mengambil pelajaran dari setiap pertemuan atau perpisahan. Cahayanya sama-sama indah, namun sulit untuk bersatu. Cahaya itu tampak pada s...