Menjagaku, tidak harus berlebihan seperti itu. Mungkin, itu salah satu bentuk kepedulianmu padaku. Namun, menyelesaikan masalah tidak harus dengan kekerasan.
~Mentari
____________________________________________Gadis itu perlahan sudah mulai tak risih lagi, pada laki-laki aneh yang bernama Devan tersebut. Pagi ini, seperti apa yang laki-laki itu katakan, bahwa ia akan menjemputnya. Pukul 06.40 pagi, mereka sudah berangkat ke sekolah. Gadis itu mengecek semua tugas yang Devan kerjakan. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ternyata laki-laki itu pintar, bahkan sepertinya apa yang dikerjakan laki-laki itu benar semua. Untungnya tulisan laki-laki itu cukup rapi, jadi dirinya tak perlu menyalin ulang.
"Gimana? Gue gak bohong, kan?" ucap Devan, setelah Mentari memasukkan buku-buku itu ke dalam tasnya.
"Hm ... Makasih, Kak," ucapnya sambil tersenyum ke arah Devan. Senyum itu, andai saja Devan sedang tidak menyetir mobil, rasanya enggan untuk berpaling dari senyum manis gadis itu.
"Iya, sama-sama," ucapnya kembali fokus menyetir mobil. "Nanti, bel istirahat tunggu gue," lanjutnya.
"Maksudnya?"
"Jangan ke kantin, sebelum gue datang ke kelas, lo."
"Kok gitu?"
"Gue gak suka di bantah, Tari," ucapnya sambil melihat ke arah Mentari.
"Ya udah, iya," pasrah gadis itu.
Kapan Mentari bisa menolak ucapan laki-laki itu, satu kali saja. Sepertinya, sulit baginya untuk membantah laki-laki itu. Sebenarnya, Mentari bisa saja terus-terusan membantah dan menolaknya. Namun, ia sudah berutang budi pada Devan. Laki-laki itu sudah membantunya mengerjakan tugas.
Keadaan kembali sunyi, hingga mereka sampai di sekolah. Mentari turun dari mobil, setelah Devan membukakan pintu untuknya. Mentari merasa canggung akan hal itu, padahal ia bisa buka pintu sendiri. Mentari pun turun dari mobil. Setelah turun, Devan tiba-tiba menyelipkan jari-jarinya diantara jari-jari gadis itu. Hal itu lagi-lagi membuat gadis itu kaget. Mengapa sikap laki-laki ini selalu saja membuat Mentari kaget.
"Kak, apa-apaan, sih," cicit mentari tapi terdengar oleh Devan. Ia merasa tak nyaman jika nanti dilihat oleh orang-orang.
"Biar lo tetap aman," ucapnya.
"Kak, lepasin," ucap gadis itu lagi, sambil berusaha melepas genggaman tangan Devan. Namun usahanya sia-sia, genggaman Devan tak dapat dilepas. Ditambah lagi tangan Mentari itu kecil dibanding tangan Devan, bahkan sangat jauh berbeda.
Devan itu terus berjalan sambil menggenggam tangan Mentari, hingga mereka sampai di depan kelas Mentari. Mentari merasa lega, karena Devan akhirnya melepaskan genggaman tangannya. Mentari menatap heran ke arah Devan, mengapa ia tak kunjung pergi.
"Kak, kok masih di sini?" ucap Mentari.
"Ingat pesan gue, apa?"
"Jangan ke kantin, sebelum Kak Devan ke sini. Gue ingat kok, Kak. Udah ya, mending lo ke kelas."
"Pintar," ucapnya sambil tersenyum. Mentari tak menyangka, ternyata laki-laki itu bisa senyum juga. Pikirnya, laki-laki itu bawaannya terlalu serius dan dingin. Setelah itu, Devan pergi dari hadapan Mentari, menuju kelasnya.
"Tari! Ya ampun, Tar, gue kangen banget sama, lo," ucap Cahya sambil sedikit berlari ke arah dimana Mentari berdiri.
"Tari juga kangen sama Aya," ucap Mentari, mengikuti gaya bicara Cahya sambil terkekeh.
"Ih, Tari! Tar, lo tau gak."
"Enggak, kan gak di kasih tau."
"Sabar dulu napa? Lo tau gak, kemarin, gue jadian sama Kak Roy! Ya ampun, Tar, gue seneng banget," ucapnya dengan penuh semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari [TAHAP REVISI]
القصة القصيرةPertemuan memang merupakan awal dari sebuah cerita. Tapi perpisahan, bukan akhir dari sebuah cerita. Kau dapat mengambil pelajaran dari setiap pertemuan atau perpisahan. Cahayanya sama-sama indah, namun sulit untuk bersatu. Cahaya itu tampak pada s...