Jangan biarkan emosi yang mengendalikanmu. Namun, kamulah yang seharusnya mengendalikan emosi.
~Mentari
______________________________________________Devan membangunkan Mentari setelah mereka sampai. Sejak tak ada percakapan antara mereka di mobil, Mentari pun tertidur. Memang kebiasaan, sehabis menangis gadis itu malah tidur. Untung saja tidak susah untuk membangunkannya.
"Astaghfirullah ... Alhamdulillah, cuma mimpi," ucap Mentari setelah bangun dari tidurnya.
"Kamu mimpi apa? Kok, panik gitu mukanya," tanya Devan.
"Enggak, bukan apa-apa." Tidak mungkin Mentari mengatakan yang sebenarnya. Tidak mungkin ia bilang jika ia akan dinikahkan dengan Devan. Namun, mimpi itu seakan benar-benar nyata.
"Ya udah, yuk, turun."
"Loh, kok, ke rumah kamu?"
"Mama kangen katanya," bohong Devan. Mentari hanya mengangguk, kemudian turun dari mobil.
Mentari mengikuti langkah Devan dan memasuki rumah Devan. Keadaan rumahnya bahkan sangat sepi. Hanya ada satpam yang ada di post satpam rumah Devan.
Mentari berpikir sejenak, bukankah tadi ia sedang marah pada Devan? Tidak. Ia teringat akan mimpinya. Ia tidak ingin hal itu benar-benar terjadi. Lebih baik ia memaafkan Devan, dari pada harus mengambil resiko. Mimpinya barusan seakan benar-benar nyata.
"Devan," panggil Mentari.
"Ya?"
"Kamu, punya mantan, kan?"
"Alhamdulillah punya."
Mentari bingung, "kok, alhamdulillah?" tanyanya.
"Ya, Alhamdulillah udah jadi mantan."
"Oh ... Kok sepi? Mama mana?"
"Gak tau. Kamu duduk dulu aja, aku mau ganti baju," ucap Devan dan diangguki oleh Mentari.
Mentari duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Ia teringat bahwa ia belum sempat izin untuk tidak masuk sekolah. Setelah Devan turun, ia berpikir untuk meminjam ponsel Devan untuk minta tolong pada Cahya agar mengizinkannya. Untungnya Cahaya hari ini sudah diperbolehkan masuk sekolah.
"Handphone kamu, mana?" tanya Mentari.
"Udah gak marah lagi, nih?" Devan balik bertanya pada Mentari sambil ikut duduk di samping gadis itu.
"Enggak."
Devan memberikan ponselnya pada Mentari dan diterima oleh Mentari, "jari mana, pinjem," ucapnya bermaksud menyuruh Devan untuk membuka sidik jarinya.
Tanpa ingat rencananya, Devan membuka sidik jari WhatsApp-nya. Untungnya belum ada pesan dari orang yang meneror Mentari. Mentari pun mengirimkan pesan pada Cahya.
Setelah Mentari selesai mengirimkan pesan, di waktu yang bersamaan masuk pesan dari nomor tak di kenal. Karena kepo, Mentari membuka pesan tersebut. Saat hendak membacanya, ia kalah cepat dengan Devan yang mengambil ponsel itu begitu saja.
"Ih, Devan, kok di ambil," gerutunya.
"Anak kecil gak boleh tau urusan orang dewasa."
"Aku bukan anak kecil. Sini, mau lihat," ucap Mentari sembari ingin mengambil kembali ponsel Devan, namun tidak berhasil. "Devan! Sini, gak," ucapnya lagi.
"Gak."
"Jangan-jangan benar, kamu balikan sama mantan kamu."
"Enggak, Tari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari [TAHAP REVISI]
Short StoryPertemuan memang merupakan awal dari sebuah cerita. Tapi perpisahan, bukan akhir dari sebuah cerita. Kau dapat mengambil pelajaran dari setiap pertemuan atau perpisahan. Cahayanya sama-sama indah, namun sulit untuk bersatu. Cahaya itu tampak pada s...