Sudah hampir setahun sejak kecelakaan yang membuat Devan amnesia, namun ingatannya masih belum kembali. Laki-laki itu kini sedang sibuk-sibuknya mengurus perusahaan. Banyak yang mengira jika ia ada hubungan spesial dengan Alya, karena mereka tampak begitu dekat. Padahal faktanya hal itu tidaklah benar. Bahkan Devan tak ada rasa sedikitpun pada sekretarisnya. Dirinya hanya fokus menjalankan perusahaan.
Hari ini Devan tidak bekerja, karena hari ini adalah hari pernikahan Arvan. Ya, bukan Devan yang menikah dengan Cahya, namun Arvan. Devan tak tau apa-apa akan hal itu karena memori di otaknya masih terhapus. Setahunya mereka menikah karena memang saling mencintai satu sama lain. Bahkan Devan tak mengenali Cahya, bagaikan orang baru yang ia lihat.
"Akhirnya lo nikah juga. Gue jadi leluasa menguasai rumah tanpa gangguan manusia setengah gembel kayak lo," ucap Devan yang baru turun dari pelaminan untuk mengganti jas.
"Syirik aja sih lo. Makanya jangan kelamaan jomblo, keburu ubanan lo.
"Dih! Mentang-mentang udah nikah belagu. Gue do'ain lo jadi suami takut istri, mampus lo!"
"Astaghfirullah! Mama gak habis pikir sama kalian ini. Ini acara penting, masih sempat-sempatnya buat debat gak penting!" kesal Mama mereka saat datang menghampiri. "Sudah Arvan, mending kamu ganti pakaian terus balik ke tempat kamu. Kalo ladeni Devan gak ada habisnya, darah tinggi iya," lanjutnya.
Sesuai perintah Mamanya, Arvan pun mengabaikan Devan. Sementara Devan tentu saja acuh pada ocehan orang-orang. Lagipula salahnya dimana? Menurutnya apa yang ia katakan itu sudah benar. Devan jadi heran pada orang-orang yang sering emosi tiap kali melihatnya. Padahal dirinya hanya bicara biasa. Apakah dirinya dulu sangat dibenci oleh orang-orang terdekatnya? Entahlah, Devan tak mengerti.
Acara dilangsungkan di sebuah hotel mewah. Tentu saja orang-orang yang datang lebih dominan ke orang-orang terpandang. Keluarga Arvan maupun Cahya sama-sama dari keluarga yang berada. Cahya sangat amat cantik mengenakan gaun putih di acara penutupan. Begitupun Arvan yang tampannya seperti blasteran, padahal asli Indonesia. Acara terakhir adalah acara potong kue pernikahan.
"Permisi Tuan," ujar Alya yang menghampiri Devan.
Devan melihat ke arah Alya. "Kamu baru datang?" tanyanya.
"Tidak Tuan, saya sudah cukup lama disini. Hanya saja tadi makan dulu, sekalian mencicipi macam-macam hidangan disini hehe ...."
"Oh."
"Tuan," panggilnya.
"Hm?"
"Bisa bicara sebentar?"
Alya berani bicara begitu karena acara potong kue baru saja selesai. Devan tak menjawab, hanya berjalan ke arah meja bundar yang terdapat beberapa kursi. Ia duduk di kursi itu, diikuti oleh Ayla. Alya sudah sangat mengerti maksud Devan tanpa Devan bicarakan.
"Mau bicara soal apa?" tanya Devan.
"Jadi begini, Tuan. Minggu depan itu sahabat saya dari kecil menikah. Terus dia bilang kalo saya harus bawa partner. Kalo boleh, Tuan mau tidak menemani saya?"
"Kamu jomblo?"
Alya sudah biasa dengan ucapan menusuk dari Bos-nya itu. Semenjak bekerja dengan Devan, sepertinya Alya jadi lebih bisa menahan emosi dan berusaha untuk tetap sabar sebisa mungkin. Tak hanya sekali dua kali, namun hampir tiap bertemu ada saja ucapan menyakitkan yang Devan lontarkan.
"Saya single."
"Sama saja."
"Beda Tuan, karena saya belum pernah pacaran."
"Kamu mampu bayar berapa untuk menyewa saya di acara itu?"
"Bayar?"
"Facebook aja mode data yang artinya berbayar cuma buat lihat postingan, masa orang setampan saya mode gratis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari [TAHAP REVISI]
Short StoryPertemuan memang merupakan awal dari sebuah cerita. Tapi perpisahan, bukan akhir dari sebuah cerita. Kau dapat mengambil pelajaran dari setiap pertemuan atau perpisahan. Cahayanya sama-sama indah, namun sulit untuk bersatu. Cahaya itu tampak pada s...