Tuntas

193 23 4
                                    

Aku melarang, itu demi kebaikan. Jika kamu risih, aku tak akan melakukannya lagi. Namun ingat, jangan cari perhatian itu lagi saat aku sudah tak memberikannya lagi padamu.

~Mentari
______________________________________________

Keesokan harinya, Devan menyuruh Mentari untuk tetap di rumah saja sementara waktu. Hal itu tentu saja kesempatan untuk Devan mencari tau lebih pasti siapa yang berani menyelakai gadis itu. Ia harus mencari bukti yang jelas, agar tidak sembarangan menuduh orang.

Ketika di perjalanan menuju sekolah, Devan mendapat panggilan masuk. Panggilan itu tak lain adalah dari Rendi. Sepertinya hari ini ia akan kembali menjadi Devan yang tidak Mentari sukai jika gadis itu tau. Devan memutuskan untuk tidak masuk sekolah dan memutar balik motornya menuju tempat tongkrongannya.

Sesampainya di tempat tongkrongan, ia melihat teman-temannya sudah ada di sana. Rasanya sudah lama sekali ia tidak nongkrong di tempat itu, di pagi hari. Setelah mengambil sebatang rokok milik Rendi, ia ikut duduk bersama teman-temannya. Lagi-lagi Devan melanggar perjanjiannya dengan Mentari untuk berhenti merokok.

"Cewek lo, gak ikut?" tanya Rendi.

"Gak," jawab Devan, lalu menghembuskan asap rokoknya. "Gue pusing," lanjutnya.

"Tumben, banyak amat masalah lo?"

"Tari di teror lagi, dan gue belum tau siapa pelakunya. Ya, meskipun, gue udah tau pelaku teror sebelumnya."

Mereka sibuk memperhatikan Devan, laki-laki itu sepertinya sedang banyak pikiran. Mereka pun tau jika Mentari tidak suka jika Devan merokok. Namun, tidak ada yang berani menegur Devan. Mereka tau saat ini Devan sedang tidak bisa diganggu, meskipun hanya dengan teguran sekalipun. Sepertinya hanya Mentari yang bisa menjinakkan laki-laki keras kepala itu.

"Sebenarnya, gue nyuruh lo ke sini, karena mau kasih info bagus," ucap Rendi sambil meletakkan rokoknya yang sudah hampir habis.

"Apaan?"

"Zila kecelakaan, terus anaknya gak selamat. Terus terang, gue kasihan sama anaknya, bayi itu gak bersalah. Cuma, ya udah lah, mungkin itu teguran buat dia karena udah fitnah lo." Devan menganggukkan kepalanya tanpa berbicara sepatah kata pun.

Selama beberapa menit, mereka hanya saling diam dan sibuk pada kegiatan masing-masing. Setelah itu, Devan mendapat telepon dari Mentari.

"Jangan ada yang bicara," ucap Devan memperingati yang lainnya.

"Halo," ucapnya menjawab telepon dari Mentari.

"Kamu gak sekolah?"

"Sekolah."

"Kenapa bisa angkat telepon. Jam segini udah mulai belajar, Devan."

"Izin ke toilet."

"Gak lagi bohong?"

"Enggak."

"Ya udah, video call sebentar."

Devan terdiam, ia bingung harus apa. Ternyata gadis itu sulit untuk dibohongi. Tidak mungkin ia video call dengan Mentari, sementara dirinya sebenarnya sedang berada di tempat tongkrongan.

"Hm!" Deheman Mentari dari balik telepon pun menyadarkan lamunan Devan.

"E-eh, gak usah video call, nanti aja pulang sekolah. Aku mau balik ke kelas dulu. Kamu istirahat, nanti pulang sekolah aku mampir."

"Tapi--"

"Dah, sayang."

Tut ... Tut ....

Mentari [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang