Satu Hal Yang Pasti || 6 🎶

91 58 112
                                    


Suara bel berbunyi di seluruh pengeras suara yang tersebar luas di sekolah, pertanda jam istirahat. Faren tak ingin memakan makanan apa pun. Sudah lama ia tak berteman dengan buku yang bertema musik. Keinginannya untuk menulis lagu dan menyanyikan lagunya sendiri dipanggung yang besar masih menjadi cita-cita terbesar. Namun, ia selalu tak sanggup untuk bernyanyi di atas panggung. Keinginan dan keberanian Faren selalu berlawanan, itu sebabnya ia selalu menyembunyikan suaranya yang indah dibalik gitar cokelat tua yang Faren punya sedari SD.

"Faren ..., makan, yuk," ajak Permana yang melihat Faren berdiri, siap untuk keluar kelas.

"Gue mau ke perpus."

"Yah, temani gue dong," bujuk Permana yang tak ingin makan sendirian.

Faren menghela napas, melontarkan sorot kesal tapi tak bisa menolak. Perilaku Permana yang seperti anak manja, dan tak punya teman membuat Faren tidak bisa menolak.
"Iya, udah. Tapi, selesai lo makan, gue langsung cabut, ya."

"Wokey," jawab Permana sambil tersenyum lebar.

***

Di depan pintu kantin, langkah Faren terhenti melihat pria yang berkelahi kemarin, tegak di antara kerumunan para siswa. Raut masam berada di wajah Faren. Ketika mereka saling berhadapan, sorot mata kebencian kian berbicara. Sepuluh detik keadaan tak berubah, jemarinya mencengkeram kuat, Faren kian tersentak.

"Hoi," panggil Permana yang sedari tadi merasakan hawa yang panas melihat tatapan Faren dan Alfino. "Ayok, kita makan." Permana menarik kuat tangan Faren.

Kantin itu sangat luas, meja makan yang panjang berwarna putih terisi penuh dengan siswa yang kelaparan. Melihat siswa yang ada di pojok kiri beranjak dari meja tersebut, Faren langsung mengambil alih dan Permana pergi memesan makanan di kasir. Saat sudah duduk pun, Faren dan Fino kembali saling tatap-tatapan, walau dari jarak yang berjauhan. Sorot mata Faren kemudian teralih pada wanita yang bersuara cempreng dan manja. Faren merasa geli mendengar suara tersebut.

"Dasar gak tahu malu," gumam Faren melihat Shasha duduk menempel di samping Fino.

Kemudian, Permana duduk disebrangnya, belum pria itu makan sesuap nasi, Faren sudah langsung ingin pamit.

"Lo makan sendiri aja, ya. Gue pergi dulu. Malas banget gue di sini yang ada gue sakit mata," ucap Faren ngeloyor pergi.

"Woi! Jangan pergi," teriak Permana dengan nasi yang masih ada di mulut. Tapi, Faren merasa tak acuh dan terus jalan menjauh.

***

Di pojok pohon yang teduh, Tisya duduk sambil menonton video tari persembahan. Sudah waktunya, ia memilih murid kelas sepuluh untuk mengisi acara perpisahan. Sedang asyik-asyiknya mengikuti gerak tangan yang ada divideo, tiba-tiba seseorang datang menganggu. Mata dan perhatian Tisya teralih.

"Oi, Bodoh."

Tisya menghela napas dalam sambil memejamkan mata. "Berhenti panggil gue bodoh!"

"Gak mau, itu kan panggilan sayang gue ke elo." Rendu tersenyum sambil membesarkan mata membuat Tisya ingin memukul wajah sahabatnya itu.

"Kalau cuma mau nganggu, pergi sana. Gue lagi fokus. Bentar lagi kan perpisahan anak kelas tiga."

Rendu memajukan bibir dan sorot matanya mengarah pada layar hape Tisya. "Tari persembahan? Elo nanti nampil tari apa?"

Terdiam sejenak. Bahkan Tisya belum berpikir dia akan menari apa. "Belum tahu. Elo, besok megang alat musik apa?"

"Mmm ... Gue mungkin beralih ke drum ... Bosan megang piano dan keyboard. Kalau gitar katanya udah ada yang ngisi, anak baru yang dikelas sebeles empat. Gue belum lihat cowok itu, sih. Penasaran gue."

For My First Love [SUDAH TERBIT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang