"Nikmati soremu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
-Margiyolie-꧁꧂
Ketika anak panah menancap pada sasaran, bekas tidak akan luput, meski anak panah telah tercabut. Begitulah perumpamaan hati wanita. Luka boleh mengering, tetapi bentuk tak sesempurna lalu; cacat.
Ibu dari dua anak menghela napas sedih. Menatapi punggung kurus dari anak sulung yang tiba-tiba beranjak dari duduk, di saat mendengar suara mesin kendaraan yang dihapal. Pintu kamar tertutup, perawakan putrinya tenggelam di dalam sana. Menyembunyikan diri. Sebelum kemudian, perhatiannya terpusat pada suami yang sama diamnya, menyaksikan sikap Anjani yang berubah drastis.
"Rasyid datang."
Dua kata yang keluar dari lisannya. Abah mengangguk, mengerti apa yang harus dilakukan. Detik berikutnya, pria berwibawa dengan uban pada kepala berjalan ke arah teras. Mimik teduh berganti dengan suka cita, menyambut kedatangan Pria Adipati Rasyid Prabuswara. Ditemukan menantunya yang berdiri di depan pintu, enggan melangkah masuk sebelum pemilik rumah mengizinkannya.
"Nak Rasyid, masuk aja," sila Abah dengan bibir terangkat lebar. Memeluk tubuh tegap laki-laki dewasa di hadapan, tangannya menepuk punggung sebagai ucapan rindu. Tiada kalah dibalas sama erat, lantas memberi buah tangan yang sengaja dibawa pada ayah mertuanya.
"Saya bawakan gudeg sama ayam bakar, bisa untuk makan siang," ujarnya antun. Diterima sebagaimana mestinya oleh abah tanpa lupa mengucap terima kasih. Kedua pria tersebut berjalan seiringan mendekat pada kursi yang terletak rapi di ruang tamu.
Kemunculan Saras tampak dengan wajah tak enak hati. Perempuan setengah abad menyalami Rasyid dengan tenang, sebelum ikut duduk di samping suaminya. "Tumben, Le¹, datang hari Sabtu. Biasanya hari Ahad," kata Saras sarat akan kelembutan.
[¹(Jw) : Nak; panggilan untuk anak lelaki]"Bukan apa, Bu, lagi mau datang. Di rumah nggak ada kerjaan. Saya juga masih dicutikan," cakapnya diikuti tawa kecil. Abah turut terkekeh bercampur ringisan, kakinya menyenggol Saras untuk tidak bertanya hal yang sekiranya menyinggung hati.
"Kados niku² ...," gumam Saras. "Ibuk mau ke belakang dulu, mau buatin kopi."
[²(Jw) : Seperti itu]Tersisa dua laki-laki dalam keadaan hening. Mata Pria Adipati meliar, memandang perabotan klasik yang masih dirawat di sini. Wayang-wayang beserta gunungannya pun terpasang apik pada dinding bata merah. Lukisan minyak bergambarkan peperangan.
"Abah minta maaf atas nama Anjani, dia belum berani bertemu sama kamu, Le," ucap abah mengaburkan sunyi. Atensinya beralih pada lawan bicara yang ia hormati lagi segani, kemudian pandangannya menunduk. Saling mengaitkan jemari. Merasa kecewa, bukan pada sosok wanita yang didambakan akan kembali padanya, melainkan pada diri sendiri.
"Seharusnya saya yang meminta maaf, Abah. Anjani sudah memaafkan saya, tetapi belum bisa menghapuskan trauma. Adalah tindakan benar ketika Anjani memberi jarak untuk sementara waktu, guna menata hati." Rasyid tersenyum tenang. Sekali lagi menatap pada pintu kamar Anjani yang terlihat olehnya.
"Abah tidak berhak ikut campur, ini urusan rumah tangga kalian. Kejadian masa lalu, jadikan sebagai pelajaran, Le. Banyak yang bisa membangun rumah tangga, tetapi segelintir yang bisa mempertahankannya. Yang bisa kami lakukan hanya berdoa untuk hubungan kalian." Kerongkongan Rasyid terasa nyeri, matanya memerah dan terasa panas. Tampak berkaca-kaca, upaya kuat untuk menahan air mata luruh. Bibirnya ia lipat ke dalam, bersama dengan bola mata yang segera ia alihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama Kinasih [Discontinue]
General Fiction- · - Cerita berkesinambungan. Sekuel dari Sigaraning Nyawa Sang Komandan ❗ - · - Unsur terkuat dari sebuah ketahanan bukanlah cinta, tetapi komitmen. Memang, cinta bukanlah unsur terkuat dalam rumah tangga. Akan tetapi, cintalah yang menjadi unsu...