- · -
Cerita berkesinambungan.
Sekuel dari Sigaraning Nyawa Sang Komandan ❗
- · -
Unsur terkuat dari sebuah ketahanan bukanlah cinta, tetapi komitmen. Memang, cinta bukanlah unsur terkuat dalam rumah tangga. Akan tetapi, cintalah yang menjadi unsu...
"Nikmati soremu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya." —Margiyolie—
꧁꧂
Dengan tenang, tangan yang mencekal sandok teh memasukkan gula ke dalam cangkir. Mengaduk kopi yang telah diseduh air mendidih. Sejak kecil, Anjani sudah diajarkan sangat baik untuk membuat kopi oleh mendiang eyang putri. Mengenai bagaimana cara membuat cita rasa kopi yang pas dan nikmat. Berakhir mendapat pujian kecil dari tamu dan cubitan di hidung. Dulu, Anjani selalu mencicipi rasa sebelum dihidangkan pada orang lain. Namun, sekarang rasanya tak perlu lagi, semakin lama, dia seolah tahu betul takaran pas. Yakni meracik sesuai firasat dan perasaan.
Lantas, Anjani tersenyum saat Rasyid mengangkat jempolnya, usai pria itu menegak kopi dari lepek serasa berucap, "Mantap!" Awal hari, suasana hati Rasyid dalam keadaan cerah seperti biasa. Makin cerah ketika melihat menu kulupan daun singkong, sambal terasi, dan tempe goreng tersaji di meja makan. Terlebih, keberadaan nasi hangat serta ikan wader yang membuat Rasyid bertambah ngiler. Sarapan kali ini, eksistensi sendok tidak dibutuhkan.
"Nimas lebih pendiam akhir-akhir ini. Tidak seperti biasanya. Apa ada masalah?" celetuk Rasyid. Anjani seolah lamban dalam menanggapi atau sengaja memperulur waktu. Dan hal itu berhasil membuat Rasyid menghela napas atas perubahan Anjani. "Nimas."
"Memang Anjani biasanya seperti apa?"
Mata Rasyid memandang lama Anjani. Sosok di depannya dengan gemulai menambahkan nasi di atas piring, tanpa ada keinginan untuk membalas tatapannya. Sosok Adipati menekan kuat prinsip untuk tidak membuka luka lama dan mengulang kali kedua. "Kamu tidak boleh membalas pertanyaan dengan pertanyaan, Nimas."
Pandangan mereka bersemuka. Anjani menggigit pipi dalamnya, memaksakan tarikan bibir dengan gantungan asa, mampu mengembalikan suasana baik suaminya. "Ndak. Anjani cuma kangen keluarga di Kidul Wangi, Kangmas. Makanya ... sekarang sering murung."
Tak ada lagi percakapan terlontar, Rasyid tampak fokus menuntaskan sarapan. Sementara Anjani pun demikian. Rasyid selesai lebih dulu. Menegak habis minuman buatan Anjani dan menyisakan ampas kopi. Menjauhi meja makan untuk mencuci piringnya.
"Kangmas tahu, bukan itu alasan utamanya," cetusnya ringkas. Suara gesekan kursi kayu dan lantai tertangkap. Anjani mendusal di sebelah Rasyid, mencuri jarak untuk mencuci tangannya.
Merasa ditatap sedemikian rupa, pria Adipati membalik badannya. Meneliti keadaan Anjani. Rambut gadis itu digulung rapi, anakan rambut mencuat, tampak jelas lantaran terbantu dengan sinar surya yang masuk dari celah rumah. Gaya rambut Anjani menarik Rasyid untuk memutar kejadian silam, di mana ia bertemu Anjani pertama kalinya. Masih dalam balutan sosok gadis pemalu dan mudah bersemu.
"Kalau tau alasannya. Kenapa tanya?" Rasyid tersenyum mendengar penuturan Anjani.
Terpenuhi hatinya dengan perasaan sendu, apa ia terlalu membatasi atau, kah, memang Anjani yang lebih sentimental. "Apa persoalan lalu masih menjadi beban di hati?"
"Lihat. Kangmas membalas pertanyaan dengan pertanyaan. Sejatinya Kangmas yang tidak punya jawaban."
"Anjani," panggil Rasyid dengan selangkah lebih maju. Perawakannya menjulang tinggi dengan proporsi tegap. Anjani bergegas mundur dengan wajah kalut ketika menemukan suara Rasyid yang berbeda. Gelagat itu membuatnya tertampar jauh. Anjani takut padanya, pernyataan itu tak jua membuat Rasyid bangkit dan kian dihantui penyesalan.
"Saya tahu Nimas ingin bekerja, meniti karier. Teramat tahu apa tujuan Nimas. Tidakkah cukup jika saya yang mencari nafkah untuk kita? Saya hanya tidak ingin menambah beban pada pundakmu. Tahu betul, menjadi seorang istri bukanlah hal yang mudah. Tidak mencakup status, tetapi juga tanggung jawab. Bekerja itu tak hanya sehari, dua hari, Nimas. Melainkan dalam jangka yang lama. Apa pun tindakan memiliki konsekuensi. Dan tiap konsekuensi, akan kembali pada diri sendiri."
Rasyid membasahi bibir. Ia selalu mencoba berhati-hati dalam bersikap. Memberikan Anjani kenyamanan dan memberikan pelayanan terbaik yang ia mampui. "Nimas sudah merenungkannya?"
Anjani menggeleng dengan raut yang tak mampu ditebak. Pada netra, tersirat tatapan kecewa dan miris. "Kangmas yang menekan Anjani untuk bersembunyi di balik bayangannya Kangmas. Itu karena Kangmas ndak benar-benar percaya sama Anjani. Kangmas cuma termakan rasa takut, takut Anjani ndak bisa."
"Ni—"
"Ndak apa. Ya, wajar. Orang Anjani cuma lulusan SMA. Iya, tho, Kangmas? Ndak ada gawean¹, pinter banget, ya, bukan. Bisanya cuma dapur, sumur, pupur. Selain itu jadi orang lholhok. Apa-apa gantung sama Kangmas, persis kayak orang cacat aja." Anjani tertawa, tangannya yang mengepal meninju main-main pundak keras Rasyid. [¹(Jw): Kerjaan]
"Lama-lama, kok, lucu Kangmas ini. Mau aja punya istri lholhok. Harusnya Kangmas nolak Anjani dulu." Tangan Rasyid menangkap kepalan rapuh itu. Dirematnya dengan tatapan mata yang menghunus tajam. Anjani makin tersenyum lebar, amarah Rasyid seolah menjadi ketakutan dan kepuasannya. Ini perasaan yang sulit dijabarkan oleh Anjani.
Namun, semua berubah ketika Rasyid menariknya ke dalam rengkuhan. Kehangatan tubuh pria itu seolah menyalurkan afeksi yang menyesakkan. Anjani menggigit bibir bawah hingga rasa besi terasa di lidah. Matanya memanas merasakan usapan lembut di kepala. Bukan. Bukan reaksi ini yang Anjani harapkan dari Rasyid.
"Jika kamu memancing saya untuk marah. Ya, saya sudah menangkap umpanmu, Anjani." Lelaki Adipati memberi jarak. Meraih rahang Anjani untuk menatapnya. "Saya marah."
Rasyid mengikis jarak. Menempelkan bibirnya pada bilah bergetar Anjani. Turut merasakan setitik cairan merah yang keluar. Rasyid memendam rasa kecewa pada dirinya, tatapan kosong Anjani membuatnya terperosok. Terdengar biadab ketika ia tak tahu seberapa banyak kesakitan yang dialami Anjani, selama menjadi teman hidup yang sangat ia kasihi—jatukrama kinasih.
Rasyid menutup kedua telinga Anjani menggunakan tangannya. "Penilaian orang lain, tidak bisa dihentikan, karena itu hak tiap manusia. Kamu bisa menutup dua lisan manusia menggunakan kedua tanganmu ini. Tapi, tidak mustahil lagi jika muncul penilaian buruk dari orang yang berbeda. Kamu hanya perlu menutup kedua telinga menggunakan kedua tangan, Nimas."
"Hm?" Anjani tersenyum lemah. Hancur, Rasyid menangis melihat keadaan Anjani. Menusuk diri menggunakan banyak hinaan. Statusnya sebagai seorang suami. Rasyid sendiri pun ragu, pantaskah ia menyandang titel suami. Sementara sang istri banyak mengalami tekanan batin tanpa ditemani olehnya. Remuk redam perasaannya ketika wanita Ranjani masih membalas senyuman kendati binar kelam tampak redup, penuh keputusasaan.
"Apa bertahan menjadi pasangan saya adalah hal yang paling menyiksa, Nimas?" Sudut bibir Anjani yang tertarik ke atas, perlahan mengendur ke bawah. Terlukis wajah tanpa emosi di sana, tak ada lagi sosok ceria yang mudah tersipu ketika berduaan dengannya.
"Apa Anjani boleh menyerah, Kangmas?"
{To Be Continue}
/kabur/
Sebelum itu, aku mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan kalian terhadap cerita amburadul ini. Dan doa kalian sebelumnya. Karena, alhamdulilah, aku lolos SNMPTN kemarin. 😭😭
Semoga di bab ini dapat feels-nya, ya. :")
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.