Bagian 25 : Singgungan

1.4K 184 8
                                    

"Nikmati siangmu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
—Margiyolie—

꧁꧂

***

"Tentu, tentu menghasilkan dampaknya. Stress ringan saja membawa pengaruh negatif bagi bayi dalam perut, bayi bisa merasakan apa yang ibunya rasakan. Perkembangan bayi, dominan ditentukan gaya hidup ibunya. Jika si ibu mengidap gangguan seperti halnya kasus Bu Anjani, calon bayi berkemungkinan juga terganggu dalam perkembangan fisiologisnya. Bisa juga bayi lahir berat badan rendah, lahir prematur, kecacatan fisik, atau anak tumbuh dengan emosi yang tidak stabil. Memang ..., berusaha untuk sehat dan waras itu nggak mudah, tapi semua layak diperjuangkan jika hadiahnya adalah sembuh."

***

Bu Windah menutup mulutnya mendengar cerita panjang yang keluar dari lisan Bu Elok. Semakin terkejut pula mengetahui fakta Anjani tengah membawa gumpalan bernyawa dalam perut.

"Bu Anjani jangan dimarahi dan dikasih pertanyaan berat, Bu. Kita ajak bicara santai aja," nasehatnya disetujui Bu Elok dengan pertanda anggukan kepala pasti. 

"Iya. Saya juga nggak setega itu nyalahin Bu Anjani. Gimana pun, Bu Anjani punya banyak pengalaman buruk, apalagi terkait hamil. Tapi, tetap aja harus periksa kandungan juga. Cuma saya lagi bingung ...." Bu Elok menatap Bu Windah, lalu mengalihkan pandangan, menatap pigura dinding yang terpasang foto pernikahan Anjani dan Rasyid. Tampak senyuman semringah dan malu-malu di sana, tangan yang terkait mesra dengan latar belakang yang berwarna mewah.

"Apa kita harus mengatakan perihal ini sama Pak Rasyid? Ya, saya juga tahu, Bu Anjani menyembunyikan kehamilannya juga karena takut ..., takut kalau kejadian silam terulang kembali. Tapi, untuk saat ini keluarga terdekat di sini hanya Pak Rasyid," keluh Bu Elok. Napas panjang keluar dari bibirnya. "Saya sebenernya kasihan banget sama Bu Anjani. Di tempat ini, yang menjadi sosok terdekat Bu Anjani itu Pak Rasyid selaku suaminya. Tapi, Pak Rasyid apa pun upaya yang dilakukan, nggak akan terhapus bayang-bayang kesakitan Bu Anjani menerima perlakuan Pak Rasyid. Bu Anjani ini ..., udah, saya kehabisan kata buat menjabarkan kesabarannya."

Bu Elok mengusap pipinya yang basah. Keadaan petang hari dan suasana sepi, membuatnya mampu dengan jelas meresapi penderitaan yang dialami. "Saya kalau di posisi Anjani, mungkin saya udah di bawah tanah, Bu."

Lawan bicaranya hanya mampu diam. Melirik pintu kamar yang terbuka setengah. Anjani berada di dalam sana, injeksi obat penenang masih membuat wanita itu mengantuk setelah beraktivitas kecil dengan Bu Elok di belakang rumah. Mengisi kolam kecil dengan ikan hias yang dibeli sepulang dari rumah sakit.

"Sudah, Bu. Sekarang kita harus banyak-banyak aktif, ajak Bu Anjani buat bangkit dari keterpurukan," ucap Bu Windah, "saya berpikir bahwa kita juga harus memberitahukan hal ini dengan keluarga Bu Anjani. Meminta dukungan mereka untuk kesembuhan Bu Anjani, keluarga itu dampaknya besar bagi perkembangan psikologis manusia," sambungnya memberi saran.

"Kita berdua nggak bisa 24 jam terus-menerus menemani Bu Anjani. Pasti ada waktu, di mana kita sibuk mengurus urusan sendiri dan keluarga masing-masing." Dalam hati Bu Elok, setuju dengan penuturan Bu Windah. Mereka manusia yang tiap diri memiliki urusan sendiri. Akan tetapi, Bu Elok telah berjanji pada diri sendiri, bahwa ia akan membantu Anjani semampu yang ia bisa lakukan. Lebih dari tetangga, kendati tak sedarah, telah ia anggap Anjani layaknya seorang adik.

— •• —

Terhitung tujuh hari telah dilalui dengan bahagia. Semenjak itu pula rumah dinas bernuansa Belanda yang telah mengalami renovasi, mendapat kunjungan dari Ibu Persit lain. Anjani lebih dari mampu untuk membuka dirinya dan menangkap umpan positif dari orang-orang yang peduli dengannya. Pasti ada saja yang datang sekadar memberikan bingkisan makanan dan barang atau oleh-oleh dari luar pulau.

Jatukrama Kinasih [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang