Bagian 14 : Ajakan Ibu Mertua

1.6K 269 7
                                    

"Nikmati siangmu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
—Margiyolie—

꧁꧂


Malam ini, Rasyid meminta ibunya untuk tidur sekamar bersama Anjani. Tidak ada kamar lain yang layak sebagai tempat tidur ibunya. Teramat tidak pantas jika ibu harus tidur di kamar sebelah yang belum cukup terurus. Lain halnya dengan Rais yang bisa tidur di mana saja, asal ada bantal, pria itu mampu tertidur pulas dalam waktu singkat. Dua lelaki dengan usia berbeda sudah menempatkan diri di atas karpet yang dijabarkan pada ruang tengah, ada bantal sebagai alas kepala.

Rais tak kunjung memejamkan mata, lelaki lajang itu masih memainkan gawainya malas. Sementara Rasyid menajamkan pendengaran, saat menangkap bisik-bisik dari suara kamar yang kini ditempati ibu dan istrinya. Merasa tidak perlu tahu tentang apa yang dibicarakan dua wanita tersebut. "Kabar Ayah gimana, Bang?" Rasyid berbicara. Rais mengalihkan pandangan dari ponsel sejenak.

"Ayah masih kuat diajak main futsal bareng teman sosialitanya. Tapi, ya ..., gitu. Kadang ngeluh sakit perut, kalau asam lambungnya kumat pagi-pagi. Kebanyakan minum kopi, sih," ungkapnya jujur. Rasyid mendengung. Satu keluarga Prabuswara adalah pencinta kopi, tetapi ayahnya bukan pencinta lagi, melainkan sudah di tahap pencandu. Wajar saja jika lambung bermasalah. Sejak dini, Rasyid sudah dikenalkan cairan hitam pekat pahit, yang perlahan menjadi kesukaan lidahnya.

"Ayah itu kalau gak diawasin sama ibu, sehari bisa habisin tiga gelas kopi," sambung Rais.

"Kalau belum rasain operasi, ya, mana kapok." Rasyid menghela napas mendengar celetukan Rais. Dulu pernah Rasyid memergoki ibu menyembunyikan toples kopi di lemari baju. Nahasnya, ayah bisa menemukan toples itu dengan mudah. Bak memiliki ikatan batin nan terjalin erat. Perbincangan mereka mengalir calak. Membahas mengenai keluarga, karier, hingga mengungkit pengalaman masa kecil.

"Mulai saat ini juga, Ni, kalau masuk rumah itu dibiasakan salam, pakai kaki kanan. Rumah siapa pun itu, rumah berpenghuni atau yang gak, tetap harus sopan."

Dalam kamar itu, Nur berbicara hati-hati. Tangannya menyentuh kaki Anjani pada bagian yang menggelap. Terasa kasar pada telapak, oleh karena sedang ada di tahap pengelupasan. Sedangkan Anjani menunduk, memasang telinga baik-baik. Ibu Nur beberapa hari lalu mendengar musibah yang menimpa menantunya, Rasyid pun menceritakan bahwa kaki kanan Anjani tersiram air panas. Namun, yang terkena dampak adalah kaki kirinya. Terasa ganjil bagi ibu beranak tiga, dengan itu Nur mengunjungi kyai sepuh yang ada di daerahnya. Kemudian mengungkapkan apa yang dialami Anjani.

Benar saja. Ketika Nur meminta penjelasan lebih lanjut pada Anjani secara langsung. Mengajukan tanya, mengenai apa yang dilakukan Anjani saat pertama kali berada di rumah ini. Cukup membuat Nur berhasil menyimpulkan. Bahwa penunggu rumah kurang suka akan kehadiran Anjani. Lantaran wanita itu masuk ke rumah pada pertama kalinya tanpa permisi dan berhasil mengusik penunggunya.

"Tapi, Anjani masuk rumah ndak serampangan, Bu. Jalannya juga pelan ...," ujar Anjani kecil. Nur tersenyum, menarik tangannya dari kaki Anjani, lalu bersandar pada kepala ranjang.

"Memangnya kamu pernah denger, Ni, orang asing masuk rumah orang lain sambil lari?" kata Nur, "orang asing kalau masuk rumah juga pelan, bedanya mereka pakai salam atau kata permisi." Anjani tak menjawab. Ungkapan ibu mertuanya itu sukses membuat Anjani merasa terpojok dan terbungkam. Nur mengusap lengan atasnya tanpa meluruhkan senyum lembutnya. "Jangan dipikir berat. Yang udah terjadi, ambil sebagai pelajaran, tetap bersikap antisipasi buat masa depan. Ibu bawa satu botol besar isi air, udah didoain sama abah yai. Besok pagi, suruh Rasyid ciprat-cipratin ke seluruh ruangan sambil baca surat tiga Qul. In syaa Allah, rumah lebih adem."

Jatukrama Kinasih [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang