Bagian 21: Dua Tusuk Sate

1.3K 206 39
                                    

"Nikmati soremu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
-Margiyolie-

꧁꧂

Tiga hari Anjani lewati tanpa Rasyid di rumah. Selama itu pula harus menelan kegetiran, Rasyid tak kunjung menghubunginya melalui telepon seluler. Wanita Ranjani masih berupaya untuk bersabar, memahami bahwa tugas Rasyid tak semudah yang dikira dan cukup menyita waktu yang tidak sedikit. Baru sekali saja Anjani dikirimi pesan oleh Rasyid, itu pun dikirim nyaris tengah malam, dan Anjani baru membacanya pagi ini.

As-salamu'alaikum, Kekasih hati. Kangmas menduga Nimas sedang tidur dengan mata setengah terbuka. Mohon maaf, Kangmas baru memberi pesan. Kangmas di sini nyaris tidak sempat menyentuh ponsel, karena jadwal yang sungguh padat. Bagaimana hari-hari Nimas? Kangmas harap Nimas makan dengan baik dan sehat. Kangmas di sini makan dengan baik, tidur cukup, sudah tidak sakit lagi. Hanya tersisa rindu berat yang tidak berkesudahan. Ingatkan Kangmas untuk memeluk Nimas sampai puas ketika pulang. Kangmas berharap, Nimas juga rindu. Supaya rindu ini tidak berdiri sendiri. 😊
Kemarin 22.40

Saya mencintaimu. 🙈
Kemarin 22.59

Anjani menggigit bibirnya gemas. Bisa ia bayangkan bagaimana wajah salah tingkah Rasyid ketika mengirim pesan terakhir. Tak dipungkiri, dia pun payah hingga turut merasa salah tingkah. Anjani dengan tanggap membalas pesan tersebut, tarikan tiap sudut bibir menjadi bukti, Anjani sedang berbahagia.

Wa'alaikumus-salam, Suamiku. Anjani baik di sini. Baru saja selesai masak soto ceker ayam dan telur mata sapi. Alhamdulillah kalau Kangmas sudah sehat kembali. Anjani juga rindu sekali. Semangat bekerja, Kangmas! 🤗
Sekarang 06.16

Tak ada balasan setelah pesan terkirim. Anjani menghela napas, tak bisa berharap banyak apabila Rasyid sudah mengedepankan profesinya sebagai abdi negara. Wanita itu melirik jam dinding, ia harus segera mengerjakan pekerjaan rumah dan bersiap. Karena jam sepuluh pagi nanti, akan ada perkumpulan Ibu Persit. Acaranya sekadar halalbihalal dan makan bersama. Tidak wajib untuk diikuti, tetapi Anjani selalu dihantui dengan kata-kata Bu Windah tempo lalu.

Kepala Anjani menggeleng. Ia harus ikut dan aktif dalam kegiatan Persit, apa pun itu. Anjani tak bisa terus-menerus terkurung dalam ketakutan dan bergantung pada satu orang terdekat saja. Ucapan Bu Windah memang benar, meskipun kalimat yang dilisankan menyakiti hati.

Anjani mengambil sapu dan mulai menyapu rumah, dalam pikirnya memutar otak. Apa yang harus ia bawa di acara nanti? Dalam otaknya sudah terbayang-bayang kegiatan hari ini. Anjani mengumpulkan topik-topik ringan dan menyenangkan untuk nanti, tetapi perkara itu, lah, yang membuat Anjani makin berdebar dan menjadikan perutnya mulas.

Anjani menyapu hingga pintu depan rumah. Merogoh debu-debu di bawah kursi hingga bersih. Sesekali Anjani bersin dengan suara kerasnya. Anjani tertular cara bersin Rasyid, dulu ketika masih perawan, Anjani bersin dengan feminim dan sopan di dengar. Namun, sekarang, Anjani bahkan kaget mendengar bersinnya.

"Pakai masker, Bu. Biar nggak ngehirup debu."

Anjani tertawa kecil. Seorang pria memasuki pekarangan rumah dengan membawa sesuatu di tangan. Semenjak Rasyid pergi ke Puslatpur, sosok ini makin gencar ke rumah, sekadar singgah sebentar, hanya untuk memberi pangan atau berbicara ringan. Sebenarnya Anjani pernah bertanya, mengapa tidak ikut ke Baturaja. Namun, ternyata memang lelaki tersebut tidak dititahkan oleh atasan, diberi kepercayaan untuk tetap di markas dan menjalankan kewajiban seperti biasanya.

"Pak Haris ndak bosen, ya, apelin saya terus pagi-pagi?" gurau Anjani. Sedikit gelagapan karena ia tidak mengenakan kain yang menutupi kepalanya. Tak menyangka ia akan didatangi kembali oleh Pak Haris yang berusia lebih tua dari Rasyid, kendati lebih tua, Pak Haris hanya memangku jabatan sebagai Danton perbekalan dan pemeliharaan.

Jatukrama Kinasih [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang