"Nikmati siangmu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
—Margiyolie—꧁꧂
"Astagfirullah, Bu Intan! Istigfar! Fitnah lebih keji dari pembunuhan. Ini sudah termasuk pencemaran nama baik, ada pasalnya di KUHP, kalau dituntut—" Bu Elok mengangkat telunjuk ke arah lawan bicaranya. Lagaknya tidak sopan memang, tetapi jika melihat perilaku Bu Intan yang sangat lancang, rasa-rasanya tak perlu lagi untuk menerapkan unggah-ungguh.
"Mau apa? Mau melaporkan saya? Atas asumsi dari otak saya? Silakan melakukan oposisi! Tapi, sekali lagi saya ingatkan, kita di negara demokrat. Saya bebas bersuara meskipun masih dalam batas. Kalau ada penyimpangan, ya, saya nggak bisa tinggal diam, dong." Para wanita di sekitar segera mengerubungi ketiganya. Berusaha untuk meredam dan menenangkan pihak yang berkaitan. Anjani menahan sesak, banyak mata yang mencuri pandang dan termakan dugaan dari Bu Intan.
Anjani mangambil sate dan memakannya dengan air mata yang terus menetes. Tak ada yang pernah merendahkannya sehina ini di depan banyak orang. Tak tanggung-tanggung, Anjani mengambil sate yang berada di piring Bu Intan dan melahapnya seperti orang kelaparan.
"Kalau ada sayur daun kelor, saya bisa makan sekarang, Bu." Anjani menutup mulutnya dan bersendawa kecil. Lantas, tersenyum pada Bu Intan yang memalingkan wajah.
"Dari kecil, saya diajari orangtua baik-baik. Ibadah yang benar ..., jaga lisan. Saya nggak pernah diajari aneh-aneh yang masuk dosa syirik. Tapi, ya, sudah. Di negara demokrat, saya nggak bisa bungkam mulut orang yang berpendapat. Tapi, saya masih dapat keadilan. Karena di akhirat waktu hari pembalasan, Gusti Allah sendiri yang menutup mulut semua manusia."
Anjani menunduk, mengusap wajah dengan kerudungnya. Wanita itu beranjak berdiri, mendekati Bu Heny yang ada pada daun pintu. Anjani memeluk Bu Heny seraya berkata, "Mohon maaf, Bu. Saya pulang duluan, nggih. Maaf juga, bikin rusuh di acaranya panjenengan." Wanita Ranjani menyelipkan amplop di saku baju Bu Heny. Wanita dewasa itu mengangguk dengan senyuman sendu, menepuk punggung Anjani, dan tidak mempermasalahkan apa yang Anjani lakukan.
"Nggak. Bu Anjani sudah bener. Maafkan saya, Bu, nggak bisa bantu apa-apa." Anjani melepas pelukan dan mengibaskan tangannya sebagai simbol ia tidak keberatan. Wanita itu membungkuk, melawati sekumpulan Ibu Persit yang menatap nanar punggung Anjani nan makin menjauh. Bu Elok melirik pada Bu Intan dengan sinis, sedangkan yang dilirik masih berperangai tidak bersalah.
"Jujur saja, Bu. Kok, berani Anda membuat pernyataan Bu Anjani pakai susuk? Di depan banyak orang lagi. Apa nggak kasihan sama Bu Anjani, minimal malu sama umur, Bu. Anda yang lebih dewasa, harusnya bisa bersikap bijak dan sesuai usia, dong," celetuk Bu Elok.
"Saya ini sudah bersikap sesuai usia. Bu Anjani masih muda, bau kencur, masih labil-labilnya untuk ambil tindakan yang dimaui, 'kan? Bisa jadi ...," sanggah Bu Intan balik, sengaja menggantungkan kalimatnya. Wanita itu berdiri dan meninggalkan acara tanpa pamit kepada Bu Heny. Berlagak acuh tak acuh atas pandangan tak suka di balik awaknya. Bu Elok mengembuskan kasar napasnya, membuang amarah yang masih memenuhi dada.
Di sisi lain, Bu Windah yang menyaksikan aksi tadi, tak percaya dengan perilaku istri Pak Haris. Ia lebih memihak pada Anjani dan Bu Elok untuk saat ini. Berada pada posisi Anjani pasti sangat sulit untuk dilalui. Bu Windah tersadar, jika perlakuannya saat lalu di depan penjual susu adalah tindakan yang salah dan menyakitkan. Ia terbutakan akan segenap kekurangan Anjani dari sudut pandang pikiran pribadinya. Ia tak melihat bagaimana peliknya usaha Anjani dalam memperbaiki kekurangan tersebut.
— •• —
Anjani mengunci pintu setelah ia memasuki rumah. Meletakkan tas jinjing dan melepas kerudungnya. Teringat kembali kejadian tadi, membuatnya menangis pilu. Rasa sesak memenuhi dada, Anjani memukul dadanya berkali-kali, napasnya tersendat-sendat, memberitahukan seberapa kacaunya ia hari ini. Ia merebahkan dirinya di atas lantai, tak peduli jika masih di ruang tamu. Kendati masih masai, dinginnya marmer membuatnya sedikit tenang.Anjani mengusap pipinya, menatap atap rumah yang kusam. Anjani tertawa, lantas merengut mengingat wajah Bu Intan yang menduhnya menggunakan susuk.
"Kasihan Bu Intan, ternyata dugaannya salah. Apa perlu aku pakai susuk? Biar Bu Intan benar," monolog Anjani menatap ke atas. Namun, tiba-tiba Anjani bersujud, kepalanya menggeleng. "Ndak boleh, dosa, Anjani. Gusti Allah marah, nanti kalau marah ...."
Wanita itu bangkit, duduk bersila dan memandang perutnya. Kepalanya miring, menusuk perutnya dengan kekehan keras. "Kamu yang diambil."
"Shttt, ndak ..., ndak. Bunda bercanda, jangan nangis." Anjani menggeleng, mengusap perutnya seolah nyawa di dalam sana sungguhan menangis takut. Pikir Anjani, perutnya sungguh mengeluarkan air mata sampai basah, tetapi tidak lantas demikian, cairan bening itu berasal dari netra Anjani yang terus mengalir tanpa henti.
Anjani memandang sekitar, bola mata bergulir lambat, sepi sekali di sini. Ia mulai ketakutan dan menutup wajahnya. Pikirannya mengeluarkan suara berisik seperti pasar, pening menghantamnya, hingga Anjani mengusap kepalanya sendiri menggunakan satu tangan. Berharap kepalanya baik-baik saja.
"Sakit, aduh ...," keluhnya. Anjani menjambak rambut yang membuatnya pusing bukan main. Dengan badan sempoyongan, Anjani pergi menuju dapur. Dicarinya gunting yang akan ia pakai untuk memangkas rambutnya. Wanita itu tanpa bantuan sisir maupun cermin memotong rambutnya, helai-helai rambut hitam berjatuhan.
Namun, tidak sekalipun mengurangi pusing, bahkan ketika rambutnya yang sebelumnya tergerai indah. Kini, hanya sepanjang tengkuk. Belakang kepalanya masih terasa sakit. Anjani menatap ke bawah, rambutnya berjatuhan. Rambut yang sering dicium oleh Rasyid, kesukaan Rasyid. Anjani tersentak, tubuhnya jatuh, kembali menangis penuh sayat ketika ia menghilangkan bagian kesukaan Rasyid.
"Nanti Kangmas marah lagi. Terus ...."
Anjani membelalak, menatap perutnya sekali lagi. Wanita itu menjerit, menarik rambut kepalanya sendiri dengan badan bergetar. Tangisnya tertangkap pilu, wanita Ranjani menanggung sendiri kesakitannya saat itu. Pening di kepala menjadi-jadi, Anjani menutup kepalanya sendiri. Suara-suara asing semakin nyaring, Anjani tersengal-sengal di dapur dengan badan mengerut seperti bayi.
Kumandang azan Zuhur menyurutkan suara Anjani, tersisa sesenggukan dan tatapan dari jiwa kosong yang memandang benda sekitar tak jelas. Ia menyamankan dirinya, memeluk perut yang sudah tampak membuncit apabila diperhatikan dengan jelas. Aroma rempah dari dapur membuat mata Anjani memberat, rasa kantuk menghampiri. Secara berangsur, suara-suara bising mulai lenyap, tersisa lantunan muazin juga beranjak mengecil, seiring kelopak mulai terpejam.
{To BeContinue}
Kritik dan saran =>
![](https://img.wattpad.com/cover/278233041-288-k410637.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama Kinasih [Discontinue]
Ficção Geral- · - Cerita berkesinambungan. Sekuel dari Sigaraning Nyawa Sang Komandan ❗ - · - Unsur terkuat dari sebuah ketahanan bukanlah cinta, tetapi komitmen. Memang, cinta bukanlah unsur terkuat dalam rumah tangga. Akan tetapi, cintalah yang menjadi unsu...