Bagian 2 : Lelap dalam Harap

2.9K 351 27
                                    

"Nikmati soremu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
-Margiyolie-

꧁꧂

Tanah kering menjadi pemandangan yang kurang menyamankan penglihatan. Belum lagi jika angin datang menghampiri, membuat kelopak tertutup sebagai upaya perlindungan. Suara gemercik air, menjadi penanda bahwa seseorang tengah beraktivitas. Berdirilah Rasyid dengan tangan kanan mencekal selang hijau, menyirami tanaman serta tanah tandus.

Bulan Juni termasuk bulan kemarau, hujan tiada hadir. Membuat kerongkongan kerap terasa kering dengan keinginan besar meminum air. Badan tegapnya tak dilapisi baju, hanya berbekal celana selutut. Paparan matahari mengenai langsung kulitnya yang eksotis. Tak ada gentar bertelanjang dada di belakang rumah, toh, hanya ada ia di sini.

"Enaknya banget, ya, jadi pengangguran?"

Suara seseorang memancing Pria Adipati melirik, hanya diam tidak menanggapi. Sosok yang berbicara melipat bibirnya ke dalam, merasa sedikit tak enak hati. Sedikit.

"Kenapa ke sini? Saya nggak ada uang, Bang. Saya pengangguran," ujar Rasyid, berjalan mematikan keran. Lelaki kurus yang memiliki wajah hampir serupa dengan Rasyid menyeringai lebar. Rais mengangkat bahu tak peduli.

"Kangen adik tercinta apa salahnya?" Ia kembali masuk ke rumah dinas milik Rasyid. "Kutunggu di ruang tamu. Buatkan es sirup."

Tungkai panjangnya mengikuti jejak sang kakak, Rasyid mencuci tangannya sebelum menuruti permintaan Rais. Punggung lebar kepemilikannya sedikit berkilat, oleh sebab keringat. Adipati Rasyid Prabuswara mengambil kaos secara asal dan menyempirkannya di bahu, menuju ruang tamu membawa minuman segar.

"Tidak biasanya datang siang," celetuknya. Rais belum menjawab, menegak segelas cairan berwarnakan merah bening.

"Tadi kedatangan tamu dari Madiun, temennya ibu," kata Pria Armada singkat. Lisan Rasyid tak memotong pembicaraan, tahu bahwa cerita Rais akan berjalan cukup panjang. "Temennya ibu ini punya anak perempuan, usianya 26 tahun, belum nikah juga. Nggak lama, pembicaraan bertopik tentang aku yang bekum nikah. Mulailah ibu jodoh-jodohin aku sama si perempuan tadi."

Desahan lelah keluar dari bibir, Rais menyandarkan punggungnya, menatap adiknya yang tak memberi respons selain wajah datar. "Tau? Panas kupingku di sana. Ibu itu, lho. Ngebet banget biar aku lekas nikah."

"Ya, wajar. Abang sudah 33 tahun, habis lebaran umur jadi 34 tahun. Perjaka tua," tandas Rasyid, ucapan lelaki itu membuat alis Rais mengerut tak suka. "Tajam sekali," desisnya.

"Menikah butuh persiapan juga, Rasyid. Berani nikah, berani berubah. Aku ini belum belajar banyak membina rumah tangga. Cari perempuan yang tulus itu sulit, aku mau perempuan yang bersedia diajak hidup susah." Rais merebahkan tubuhnya di kursi panjang, menjadikan tangan sebagai alas kepala. Bola matanya memandang ke atas sana, menerawang tak jelas.

Sang Adipati mengangguk mengerti. "Iya, Abang benar. Menikah pasti butuh persiapan batin. Siap menikah beda jauh dengan ingin menikah. Siap menikah berarti siap mengubah kekurangan pasangan menjadi baik, siap menghadapi lika-liku pernikahan. Sedangkan ingin menikah, hanya ingin merasakan kenikmatan dunia pernikahan saja." Suara Rais terdengar bergumam, memberi persetujuan atas tuturan Rasyid.

"Abang pintar dalam bidang menggambar. Sebelum menjadi pelukis yang handal, apa diam menyimak dan menyerap pemahaman sudah cukup?" Mata Rais mengarah pada adiknya yang bersikap tenang. Mengapa pembicaraan tiba-tiba berganti?

"Tentu tidak. Harus ada praktek langsung," jawabnya spontan.

"Pernikahan juga begitu. Belajar membina rumah tangga tidak cukup sebatas pemahaman, tetapi terjun langsung ke dalamnya. Belajar bersama pasangan." Ia memberhentikan ucapan, memainkan lidah di dalam rongga mulut.

Jatukrama Kinasih [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang