Bagian 11 : Kehangatan Pagi

2.1K 271 14
                                    

"Nikmati malammu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
-Margiyolie-

꧁꧂


"Lihat! Kangmas menghabiskan sarapan sampai ludes. Masakan istri memang juara, rasa-rasanya bisa mengalahkan koki internasional."

Suara berdengkus Anjani sebagai pengalihan, tidak mau tertangkap basah jika ia begitu gampangnya salah tingkah atas pujian Rasyid yang terdengar pasaran. "Kangmas itu, lho, hiperbola. Kan, cuma tempe penyet sama telur ceplok," jawaban Anjani ditanggapi Rasyid dengan tarikan bibir.

Mereka memang belum sempat membeli kebutuhan pangan bulanan. Keduanya hanya membawa bahan pangan seperti beras, rempah-rempah, bawang merah, bawang putih, cabai, gula, garam, mi, dan telur. Sengaja tidak membawa sayur serta buah dari Kartasura, takut-takut jika tak segar lagi setelah sampai di tanah Garut, oleh karena lamanya perjalanan. Anjani pun mulanya mengira, akan ada penjual sayur keliling di sini. Sayang sekali, ternyata tidak ada. Alhasil, wanita tersebut menggunakan bahan seadanya untuk sarapan. Sempat terbesit meminta Rasyid membeli kebutuhan di pasar, berakhir tak rela, tahu jika Rasyid juga belum mengenal dengan baik lokasi yang baru ditempati.

"Hah ..., padahal Kangmas berharap mendapat reaksi senyuman malu-malu atau cubitan genit di perut." Rasyid memiliki suara yang lantang juga berat. Agaknya percuma saja lelaki itu berbicara dengan suara lirih. Karena Anjani masih bisa mendengar dengan jelas. Tangan yang baru selesai mencuci piring, kini dibilas bersih. Menepuk dada Rasyid dibarengi mimik jemawa.

"Sadar umur, Kangmas. Kayak anak ABG baru kasmaran aja," cibir Anjani dibumbui nada mengejek.

"Justru itu, masa ABG tidak sempat menikmati kisah percintaan karena fokus pendidikan. Sekarang sudah punya istri, Kangmas mau puas-puasin hal yang tertunda." Rasyid tertawa ketika Anjani sungguhan mencubit perutnya. Ngilu, tetapi wajah merona nan menarik tersebut, membuat Rasyid tak mengindahkan rasa nyut-nyutan di perutnya. Ia kembali mendudukkan diri pada kursi kayu, bermaksud menghabiskan kopi buatan Anjani.

Melihat Rasyid yang begitu menikmati paginya. Pikiran Anjani masai, takut apabila ia mengacaukan suasana hati Rasyid dengan pernyataan sekaligus pertanyaan yang ingin ia suarakan.

"Em, Kangmas."

"Ya?" sahut Rasyid sembari meletakkan gelas, hanya tersisa ampas kopi di dalamnya. Lantas, seluruh perhatian, ia tujukan pada Anjani yang berdiri dengan tangan bertautan. Rasyid berusaha keras memasang wajah menyenangkan, tidak ingin menambah keresahan Anjani yang mudah terbaca dari bahasa tubuh. "Kenapa, Nimas?"

"Mangke Anjani badhe nderek Bu Elok—garwanipun Pak Ronny¹." Hati Rasyid berdesir mendengar logat Anjani. Pria itu berdeham, mengusir rasa tersipu yang menggelikan.
[¹(Jw): Nanti Anjani mau ikut Bu Elok—istrinya Pak Ronny]

"Mau ke mana?" tanya Rasyid. Tidak sama sekali melarang Anjani untuk keluar bersama tetangga baru. Justru ada rasa senang pada diri Rasyid, saat Anjani menunjukkan tanda kemajuan dalam interaksi.

"Di ajak ke pasar, Kangmas. Kalau ndak gitu mampir ke toserba. Beli ... keperluan?" Kalimat akhir Anjani tertangkap ragu. Bahkan seperti pertanyaan yang dihadapkan pada Adipati. Tiada memerlukan waktu lama untuk mengerti maksud tersirat sosok istri, ia mengangguk paham. Berdiri dan meminta Anjani untuk ke kamar.

Keduanya memasuki kamar yang dipatenkan sebagai ruangan intim pasangan suami–istri. Lemari tinggi dibuka dengan tenang. Rasyid merogoh sesuatu di bawah lipatan baju. Mengambil beberapa lembar uang biru untuk diberikan pada Anjani. "Kangmas tahu, Nimas adalah wanita cerdas. Bisa membedakan mana kebutuhan mana keinginan. Semoga ini cukup."

Jatukrama Kinasih [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang