Bagian 3 : Temu

2.4K 365 19
                                    

"Nikmati soremu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
-Margiyolie-

꧁꧂


Hari pertama dalam bulan suci Ramadhan. Semua pemeluk agama Islam diharuskan menahan nafsu, baik berupa makan, lisan, maupun syahwat. Tatkala matahari beranjak naik, rumah joglo jompongan dihampiri kembali oleh Lelaki Adipati untuk yang kesekian kali. Tak ada ubahnya, sosok wanita muda akan berjalan cepat, guna meraibkan diri di dalam senthong¹.
[¹(Jw) : Kamar]

Saras mendesah lelah. Segera mendekati pintu utama, menyambut kedatangan rutinan dari menantu. Suaminya tak sedang di rumah, anak bungsunya pun lepas entah ke mana. Tarikan kedua sudut bibir terangkat percuma, menatap Rasyid yang berdiri di ambang sana.

"As-salamu'alaikum, Ibu."

"Wa'alaikumus-salam. Ayo, masuk, Nak!" Tanpa meluputkan rasa hormat, Rasyid menyalami wanita yang akan menjadi sosok sesepuhan. Pundaknya mendapat usapan hangat, membuatnya kembali menegakkan awak kokohnya. "Duduk aja, Nak. Ibuk mau ke dapur. Tak buatin es teh," sambungnya penuh semangat.

Ditanggapi dengan kekehan. Sembari menyamankan diri pada kursi berbahan jati, Rasyid menggeleng. "Lupa, nggih, Bu? Lagi puasa."

"Haduh! Maaf. Ibuk supe²," ujarnya sesal. Saras pun duduk berhadapan dengan Rasyid. Keduanya saling diam selama beberapa waktu, menjadi bingung apa yang harus dicakapkan. Tak ada jamuan, membuat suasana sedikit canggung.
[²(Jw) : Lupa]

"Tadi sahur sama apa, Le?" Sosok ibu memecah hening dengan sebuah pertanyaan kecil. Pria bermarga Prabuswara membasahi bibir bawah, kemudian tersenyum tipis. Ia menggelengkan. "Saya tidak sempat sahur, Bu. Bangunnya waktu Subuh."

Ringisan tak bisa ditahan, raut Saras terpasang sendu dan iba. "Ya Allah. Kok, bisa, to, Le ... Le. Udah niat?"

Rasyid menunjukkan senyuman tenangnya. Kepalanya bergerak untuk mengangguk. "Sudah, Bu."

Kesenyapan terulang kembali. Hilir angin menyelinap masuk, sang Adipati melirik ke bilik kamar yang diyakini ada sosok yang didambakannya untuk keluar. Suara ayam-ayam di depan rumah mencari pangan, sayup-sayup daun bergesekan diterpa secara halus oleh angin. Kendatipun angin terasa jelas, udara kali ini cukup kering. Memberi kesan tidak nyaman bagi penciuman.

"Sebenarnya, niat saya di sini juga ingin bertemu Mbah Sujari," celetuknya, "apa ... Ibu tahu beliau?"

Kedua mata sipit Saras menatap ke atas. Mengingat-ingat di mana rumah sosok sepuh yang disebut Rasyid. "Oh, Mbah Jari? Kenal, lah .... Mbah Sri Warni itu garwanya³. Mau ke rumahnya?"
[³(Jw) : Istri]

"Iya," jawabnya lekas. Mulut Saras terbuka, nyaris membeberkan alamat rumah dari Pak Jari. Namun, dengan keadaan seperti ini, ia harus mengambil sebuah kesempatan baik. "Bu?" teguran dari Rasyid membuyarkan lamunan.

Wanita dengan uban yang mendominasi memasang senyum. "Ibuk lupa, mau jahit baju lebaran pesanan tetangga sebelah. Diantar Anjani aja, nggih—"

"Ndak! Anjani ndak mau, Ibuk!" Sebuah teriakan nyaring membuat dua insan di ruang tamu terjingkat. Tatapan yang menunjukkan keterkejutan, hingga salah satu pasang mata tajam berubah teduh. Memberikan efek tangan berkeringat bagi Pria Adipati, rungunya kembali mendengar suara yang dirindu, walau kalimatnya menyesakkan kalbu.

"Tidak perlu, Bu. Saya bisa ke sana sendiri, Ibu bisa memberikan alamatnya saja. Saya pasti bisa menemukan," tutur si lelaki dengan tenang. Mencoba tak mengindahkan debaran luar biasa. Lawan bicaranya menggeleng tiada setuju, berganti berdiri dan menghampiri Adipati. Tangannya menyentuh pundak keras tersebut penuh harap.

"Sudah lebih dari dua minggu, Nak. Mencoba untuk usaha lebih dulu nggak salah. Dekati Anjani dengan pelan. Ibuk juga berpesan, jangan meninggikan suara dan memasang wajah keras di sekitar Anjani. Buat dia kembali terbiasa di dekatmu."

Seolah tersihir, tungkai panjang sang pria berjalan menuju bilik yang tertutup rapat. Tak ada suara yang ditimbulkan dari langkah. Gemuruh di dada tak sanggup disembunyikan, semua mengalun dengan begitu hebat. Susah payah menelan ludah, matanya menatap lurus pada daun pintu. Ketukan pertama tak ada sahutan dari dalam.

Ketukan kedua.

Ketukan ketiga.

Ketukan keempat.

Pintu terbuka kecil, memberi sedikit celah untuk mengintip. Rambut hitam muncul di baliknya, disusul paras ayu milik sang istri yang menjadikan respirasi Rasyid terhenti. Dua bola netra jernih itu mengarah pada pelaku ketukan pintu. Makin membuat Rasyid tiada daya untuk berkutik. Suara dobrakan pintu yang tertutup membuat tubuh tersentak.

"Nimas."

Jemarinya kembali mengetuk, bersamaan dadanya berdebar begitu kencang. Tak ada sebuah balasan, Rasyid menumpukan dahinya pada pintu, kembali mengetuk dan menyebutkan panggilan kesayangannya untuk Wanita Ranjani. Napas panjang keluar dengan penuh sesal, hatinya sesak melihat gelagat Anjani yang takut bersitatap padanya.

"Kangmas memohon maaf," bisik Rasyid.

Di balik pintu mata Anjani terpejam erat, tubuhnya ia sandarkan pada pintu, sementara tangannya meremas baju untuk meredakan debaran anomali yang melanda. Bukan kegentaran yang bersemayam pada diri ketika aroma sang pria mampu ia bau. Melainkan rasa sarat rindu. Namun, bayang-bayang wajah penuh murka Rasyid, membuatnya segera menghapus kasar pipinya yang tiba-tiba dialiri cairan bening.

"Anjani belum siap, Kangmas. Maaf." Anjani menutup mulutnya, matanya terpejam erat.

Ingatan itu, ingatan itu kembali menyiksanya. Seolah tayangan kembali terlihat pada mata, dirinya yang diperlakukan secara kasar, menghilangkan sosok nyawa suci yang didambakan oleh keluar, menciptakan luka fisik dan jiwa yang dibuat oleh Pria Adipati. Isakan dari luar menambah pilu di hati Ranjani. Keduanya sama-sama tersiksa dengan jalan yang berbeda, dalam penyesalan dan ketakutan.

Mendengar sosok yang dicintai adalah kelemahannya. Sang wanita memantapkan pilihannya.

Sekat antar mereka terbuka, pemandangan menyedihkan menyapa penglihatan. Anjani menatap lekat pada keberadaan awal Adipati dengan mata berlinang. Sosok di hadapan terpaku, menatap dengan bibir kering yang menjadi beku untuk sekadar berucap. Keduanya saling memandang untuk menilik keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja.

Hingga akhirnya awak Rasyid ditubruk kuat, kedua lengan kecil yang memerangkap pinggangnya. Air mata layaknya tengah berlomba, tiada letih untuk jatuh pada pijakan. Tubuh feminim yang begitu diinginkan di tiap malam, ada pada dekapan. Kehangatan membaur penuh syahdu juga pilu yang membelanggu. Tangan Pria Adipati terangkat lamban, merangkap Anjani dalam pelukan sarat akan asih.

"Maafkan Kangmas. Maafkan ...," racaunya.

Tangisan Anjani kian tertangkap jelas, merasakan lengan melingkupi dan memberi rasa tenang yang sempat hilang. Buliran bening sang suami mengenai kepala yang bertumpu di dada. Tangan Anjani mengepal erat, mencengkeram pakaian kelabu dengan wajah terbenam. Rasyid menghirup rakus aroma rambut istrinya dengan penuh kasih, menghujamkan kecup padanya tanpa bosan. Dengan suara parau, sang wanita menyuarakan begitu lirih.

"Katakan pada Anjani, Kangmas. A-anjani harus bagaimana? Katakan." Rasyid menggeleng kuat, tubuhnya bergetar. Kehabisan kata, ia pun tak kuasa untuk menjawab.

"Apa Kangmas tersiksa?" tanyanya kembali dengan suara serak teredam tangis. Rasyid mencium lama dahi berpeluh Anjani, matanya terpejam dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Telapaknya yang lebar lagi kasar menyentuh rahang kecil sang istri, memandangi mata basah Anjani yang dipenuhi siratan luka. Membawa bilah bibir untuk memberi kecupan pada kelopak yang menutup. Solah berupaya guna menghentikan sebuah tangis yang menimbun goresan di kalbunya.

"Katakan pada Kangmas, Nimas. Pria mana yang tidak tersiksa ketika berpisah atap bersama wanita terkasih?"

꧁꧂

{To Be Continue}

Diketik sembari mendengarkan lagu India. Harap-harap tulisan ini bisa sampai ke hati pembaca. 

Sampai jumpa di bab berikutnya
♡´・ᴗ・'♡

Jatukrama Kinasih [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang