Bagian 5 : Cara Melembutkan Hati

2.3K 329 33
                                    

"Nikmati soremu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
-Margiyolie-

꧁꧂

Awak tegap nan sehat mendapat sebuah pelukan hangat, sesampainya Adipati di rumah keluarganya di Magelang. Jam pendek berada di pertengahan angka sembilan dan sepuluh. Di luar sana gelap tanpa keberadaan matahari tentunya, menandakan hari telah malam. Sosok wanita yang melahirkannya melepas pelukan, menatap lurus pada rautnya yang terpasang semringah.

"Sudah buka puasa, 'kan? Di mana?" Rasyid digiring masuk lebih dalam. Tangannya yang lebih besar dirangkul oleh lengan keriput yang selama ini menjadi penyokongnya.

"Sudah, Bu. Saya buka puasa di rumah mertua. Bersama Anjani," ucapnya pelan di akhir kalimat. Pernyataan anak tengahnya, membuat Nur terbelalak, terkejut dan bahagia sekaligus memenuhi hatinya.

"Dengan Anjani? Sudah berdamai? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya sekarang?" tanyanya berentet.

Senyum Rasyid melebar, mencium ringkas pipi ibundanya. "Istri saya sudah lebih baik dari sebelumnya, Ibu. Walau Anjani sering merasa gentar ketika berdua dengan saya, saya memakluminya. Karena memang, perilaku saya yang kelewat batas." Nadanya serupa bisikan. Nur menghela napas, mengusap kepala putranya dan mengusap punggung Pria Adipati.

"Udah, nggak apa. Boleh menyesal, tapi jangan terlalu berlarut. Harus ada perubahan lebih baik dan dijadikan pelajaran buat kehidupan kedepannya."

Dibalas dengan anggukan mantap. Rasyid menjawab, "Siap, Ibu."

Keduanya menuju ruang keluarga, ia mendudukkan diri di kursi, dan menyandarkan tubuh. Suara sendi terdengar renyah sekali, membuat sang pria mendesah panjang. Rumah terasa hening sekali, Rasyid mengerutkan dahi. Di mana yang lain? Hendak bertanya, tetapi ibunya seolah mengerti apa yang ada dalam pikirannya.

"Ayahmu pengajian di masjid. Rais sudah pulang ke Grogol setelah salat Tarawih di sini," jelas Nur, membawa kakinya menuju dapur untuk membawa wedang jahe untuk Rasyid.

"Sekar mana? Masih di masjid? Jam segini belum pulang?" tanyanya perihal keberadaan adiknya yang masih gadis.

"Nginap di rumah temannya. Pulang besok siang katanya." Kepala Rasyid mengangguk, walau tak dilihat ibunya. Rasyid memejamkan matanya lelah, sayup-sayup ia mendengar tartil Quran dari sini. Sempat terpikir olehnya, nanti sahur ia akan ikut berkeliling. Hitung-hitung juga mengeratkan hubungan dengan tetangga yang lama tak dijumpa.

"Mau ngimbuh, nggak? Di dapur masih ada opor ayam, nasinya juga baru dimasak." Rasyid menolak dengan halus dengan alasan masih kenyang. Ia kembali menegakkan diri dan memandang ibunya.

"Bu," panggil lelaki bermarga Prabuswara.

"Ya?"

Lidahnya terjulur, membasahi bibirnya yang kering. "Saya bingung, Bu." Nur diam, merasa pembicaraan ini bukan basa-basi dan merupakan topik yang serius untuk diperbincangkan.

"Ibu tahu, saya kena copot jabatan. Tentu ... saya akan pindah satuan dan ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah dari sebelumnya. Pertama, saya bingung untuk menyerahkan pada atasan atau saya yang memilih satuan. Kedua, ini tentang rasa khawatir saya," ucap Rasyid, "saya mengkhawatirkan Anjani, Bu. Awal pernikahan kami, dia sebenarnya cukup kesulitan berbaur dengan lingkungan baru." Rasyid tiada melanjutkan ucapannya. Pria itu menunduk dan menumpukan siku pada paha. Jempol dan telunjuknya mengurut pangkal hidung. Sang Adipati tidak baik-baik saja saat ini.

"Ibu tidak bisa menyuruhmu. Ayahmu lebih piawai mengatasi persoalan nomor satu. Mintalah sarannya besok!" Nur menarik sudut bibirnya, senyumnya yang keibuan dan penuh kehangatan. Seumur-umur, tidak pernah Rasyid temui senyuman secantik itu. Hanya ibunya yang memiliki senyuman tercantik meski wajah makin termakan umur.

Jatukrama Kinasih [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang