"Nikmati siangmu dengan cerita puristis ini, Tuan, Puan! Janganlah membisu apabila dikau menemukan kesalahan di dalamnya."
—Margiyolie—꧁꧂
Gerisik daun kering dan suara langkah kaki terdengar gelisah. Pintu rumah tertutup rapat dan tidak terdengar apa pun di dalam pada jam satu siang ini. Bu Elok mengetuk pintu rumah berwarna hitam, memanggil nama Anjani berulang-ulang, tetapi tak ada sahutan. Wanita itu pikir, mungkin Anjani sedang tidur siang. Namun, terselip rasa khawatir jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kepalan tangannya mengetuk pintu lebih keras, suaranya meninggi, Bu Elok bergeser ke arah jendela. Mencoba mengintip ke dalam sana di antara celah selambu. Perasaannya makin kalut setelah menemukan kain kerudung yang Anjani pakai di acara tadi. Bu Elok percaya, Anjani tidak mungkin dengan asak meletakkan barang di tempat yang tidak seharusnya.
"Apa Bu Anjani di rumah?"
Bu Elok menegakkan badan dan menengokkan kepala. Alisnya mengernyit menatap Bu Windah yang entah sejak kapan sudah berada di sini dengan tangan tertaut.
"Bu Windah ada keperluan apa, ya?" Bukannya menjawab, Bu Elok justru balik bertanya pada Bu Windah yang tampak tercenung.
"Saya hanya khawatir sama Bu Anjani." Bu Elok menarik napas dan mengembuskannya dalam diam. Wanita itu kembali mengetuk pintu rumah, lagi-lagi tak ada sahutan. Bu Windah mendekat, menyarankan Bu Elok untuk membuka knop pintu. Alhasil, pintu terbuka. Bu Elok mendecak sendiri, pikirannya begitu masai hingga tak berpikir untuk mencoba membuka pintu.
"Bu Anjani ...," panggil Bu Elok lantang. Langkahnya hati-hati menuju kamar, mengetuk, lalu membukanya perlahan dengan segan. Tak ditemukannya siapa pun di dalam. Bu Windah tak bersuara, ia kembali mengikuti langkah Bu Elok yang mencari keberadaan Anjani.
"Astagfirullah, ya Allah, Bu ...," gumam Bu Elok terkesiap melihat seseorang terkapar di lantai. Rambut-rambut berserakan dengan gunting. Keduanya mendekati Anjani, mengguncang tubuh wanita tak sadarkan diri itu yang nahasnya tidak ada respons.
"Bantu dibawa ke kamar, Bu," kata Bu Elok dengan raut khawatir tercetak jelas. Bu Elok mengangkat bagian atas Anjani, sementara Bu Windah bagian bawah. Anjani dibaringkan di atas kasur dengan hati-hati. Tak terasa mata Bu Elok berair melihat kondisi Anjani, wajah wanita yang masih belia itu tampak sembab dan pucat.
"Bu Anjani sepertinya pingsan. Tolong lepas kaos kaki sama resleting rok dilonggarkan, Bu," ucap Bu Windah. Matanya menilik sekitar, berjalan ke arah meja rias untuk mencari minyak kayu putih dan tisu.
Belakang telinga Anjani diberi sapuan minyak kayu putih dan hidungnya dibaui dengan aroma menghangatkan. Bu Elok dan Bu Windah bertatap-tatapan sejenak, kemudian menurun, memandangi kondisi Anjani yang sedang tidak baik-baik saja. Bu Elok berdeham, berdiri dari kasur dan beranjak untuk membuka jendela kamar, supaya udara di kamar berganti lebih sejuk.
"Saya ke dapur dulu, Bu, mau buatkan Bu Anjani teh biar bisa diminum setelah sadar. Bu Windah mau juga?" tawarnya tetap bersikap baik.
"Nggak usah, Bu." Bu Elok mengangguk. Meninggalkan Bu Windah yang duduk di samping.
Kini dalam kamar yang senyap, hanya jam yang aktif bersuara. Semilir angin memasukki jendela, menghantar kesejukkan sesaat. Tangannya naik, mengusap dahi lembap Anjani. Rambut yang tidak rapi sama sekali, dia berpikir Anjani memotongnya dengan gegabah. Ia mulai menerawang, dengan tatapan yang tak lepas untuk menilik fisik Anjani. Mengingat kembali kejadian beberapa waktu lalu, wanita yang masih lugu dan muda mendapat perlakuan nan sangat tidak mengenakkan di depan umum. Perasaan bersalah melambung tinggi, Bu Windah sadar, ia pun ikut andil dan menyakiti hati Anjani. Namun, dirinya benar-benar bersumpah, jika ia tidak menduga jika Bu Intan begitu tega mempermalukan dan menuduh Anjani melakukan hal yang tidak-tidak. Mungkinkah hal itu membentuk trauma mendalam bagi Anjani?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatukrama Kinasih [Discontinue]
Ficción General- · - Cerita berkesinambungan. Sekuel dari Sigaraning Nyawa Sang Komandan ❗ - · - Unsur terkuat dari sebuah ketahanan bukanlah cinta, tetapi komitmen. Memang, cinta bukanlah unsur terkuat dalam rumah tangga. Akan tetapi, cintalah yang menjadi unsu...